Satu malam, aku menangis tanpa meneteskan sebulir air mata. Yang ada hanya kebulan asap rokok plus total mengumpat. Aku tidak tahu bahwa kesedihan yang begitu dalam dapat menyetir kita untuk melakukan sesuatu yang kita tidak sukai. Aku tidak suka merokok. Tidak juga mengumpat. Yang pertama seperti membakar uang, udara, dan juga kesehatan. Yang kedua seperti penolakan atas asumsi Derrida. Metafora dan kata tidak mewakili makna. Karena untuk menuju makna, kita diatur oleh tanda. Berteriak anjing, goblok, tai, bangke, sama halnya seperti kau meracau saat seks. Nikmat, tapi tak ada satu kata pun yang bisa merepresentasikannya. Sedih sebenarnya. Aku dengan mulutku sendiri, mengumpat. Kepuasan yang diberikan mengumpat tidak sedikitpun berbanding dengan kepuasanku berdoa. Mencoba mencari kata yang mewakili apa yang aku rasa tapi aku tidak menemukannya, makanya aku mengumpat, meracau.
Doa dan Pertanda
Mengenai berdoa, aku juga bukan sesosok lelaki yang rajin menghembuskan harapan melalui puja dan puji kepada Beliau (seorang sahabat menggunakan kata ganti Beliau, menunjukan bahwa kita sedang membicarakan-Nya, dengan sepengetahuan-Nya, melibatkannya secara tidak langsung, hmmm apapun itu, entahlah, aku suka menggunakan kata Beliau untuk-Nya). Namun semalam, aku berdoa khusyuk meminta pertanda yang selama ini sering aku abaikan. Aku kehilangan pertanda-Nya. Or maybe i’ve lost capability to feel it. Aku percaya, dengan semiotika ataupun logika, pertanda itu selalu ada. Tapi pertanda yang bersifat personal dan vertikal, sifatnya berbeda. Ia lebih mistis. Doa yang kupanjatkan semalam adalah semoga Ia memberi tanda bahwa apa yang aku kerjakan adalah makna dari pertanda-Nya. Bagaimana aku memahami pertanda-Nya, bahwa itu merupakan tanda dari-Nya? kau tanyakan itu padaku. Sama kawan, aku juga tidak memahami mekanisme Dalang kita ini. Tapi yang jelas aku merasakannya. Sama seperti kita bernafas. Kita mungkin mengerti mekanisme bernafas. Bagaimana respirasi manusia yang begitu kompleks terjadi melalu exhale dan inhale. Dunia medis memahami mekanisme komrehensifnya. Namun coba berhenti sebentar : Tarik nafas dalam-dalam dan keluarkan perlahan, rasakan jeda yang ada saat udara terhisap ke paru-paru dan dikeluarkan secara perlahan melalui mulut, lakukan lagi dengan mata terutup.
Apa yang kau rasakan ?
Aku merasa lega dan menyejukan Santai dan tenang. Tentu akan semakin khidmat dengan teh daun hijau dan dua buah aliagrem setelahnya. Aku menyadari bahwa bernafas adalah hal yang kompleks namun kita tidak menyadari kompleksitasnya saat melakukannya. Ga keliatan kompleks toh. Yang ada hanyalah perasaan memahami bahwa ada sesuatu yang dihisap dan dihembus tanpa kita tahu bahwa setiap organ yang terlibat dalam proses respirasi ini memberikan tanda satu sama lain –Nih Dung, giliran gua udah beres, keluarin lewat lu ya (paru-paru berbicara)- dan akhirnya berharmonisasi.
Selama ini “udara” ini tidak bisa aku inhale dan exhale dengan baik. Tidak seperti bernafas lega seperti yang baru aku lakukan. Harmonisasipun rusak. Aku tidak bisa menangkap pertanda apalagi menerjemahkannya karena aku sedang tidak mampu. Terjerumus dalam lautan kemanjaan kota yang membuat aku berpaling pada pertanda yang seharusnya aku terjemahkan. Aku mati rasa. Aku bagai seorang tarzan yang seumur hidup tinggal di hutan dan keesokan harinya menginjakan kaki di PVJ. Tidak mengerti apapun.
Doa yang kupanjatkan, semuga terkabul bagi kita semua. Semoga setiap orang menemukan pertandanya.
Pahitpekat
Semalam aku terbawa suasana melankolis nan dramatis barat. Kegagalan menjadi pemicu untuk merokok dan mengumpat. Barat selalu memberikan excuse ketika kegagalan tumbuh dan bersemai. Lantas, untuk melipur lara, ada sekotak obat yang mampu mengurangi sakitnya. Rokok, mengumpat, mabok, seks, berdoa, olahraga, mati. Ada luka insecure dan obat secure. Seperti aku yang mengalami depresi yang menukik dalam dan untuk mengobatinya aku harus memuntahkan lukanya melalui tulisan. Tapi apa berarti setiap aku harus menulis aku juga harus mengalami kegagalaan dan kepedihan yang dalam ? Aku tidak mau menulis jika begitu. Dan aku tidak akan secara naïf percaya bahwa ketika aku mengalami kepahitan pekat, tulisanku dapat mengurangi pahitpekat ini. (Poin penting, kenyataannya aku lebih suka menulis daripada merokok dan mengumpat, bagaimana dengan kau ? )
Jujur, aku mengalami kegagalan yang berulang. Hujamannya tidak terlalu dalam karena aku pernah mengalaminya. Namun ada sesak yang melebihi segalanya. Keburukanku, aku tidak pernah benar-benar menelan pahitpekat ini dan mengeluarkannya melalu kencing. Gara-gara kekasih, orang tua, ipk turun, penolakan beasiswa, kepura-puraan komred, patah hati bertubi, masih meninggalkan ampas. Karena patah hati selanjutnya, dalam keburukanku, membawa segenap perasaan patah hati sebelumnya. Rasa sesaknya menjadi berpuluh kali lipat. Pahitnya semakin pekat. Tapi syukur, itu cuma temporer. Dan secepatnya, aku berharap bisa memuntahkan si pahitpekat atau menelannya bulat-bulat, kemudian yang berguna di cerna oleh tubuh dan sisanya dibuang dalam kencing, kentut, ataupun berak. Sulit ? tentu tidak, aku tidak kesulitan kentut, kencing apalagi berak. Tapi saat aku bisa benar-benar berak ampas pahitpekat, aku butuh sesuatu yang bisa menenangkan jiwa. Sedative therapy.
Amnesia. Aku butuh amnesia. Seperti menekan reset handphone atau memformat ulang komputer. Seperti lagu Rocket Rockers – Ingin Hilang Ingatan.
Lucunya, lupa bukanlah akhir permasalahan. Kita, aku dan kau, adalah walking audio-video recording . Amnesia. Aku pikir aku butuh amnesia. Kita kertas putih yang baru. Digoresi lagi. Goresan memadu kata. Kata memadu cerita. Cerita berulang kembali, dengan different cover version. Seperti mendengarkan Syahrini menyanyikan lagu Nieke Ardila, Aku Tak Biasa. Kita tentunya tidak akan tahu bahwa kita pernah mengalami patah hati kan ? lantas kepahitan pekat ini akan melekat kembali dalam ingatan kita. Amnesia : pilihan buruk. Lantas apa lagi ? Mati. Kau mati, persoalan terselesaikan. Tapi tidak dengan mematikan diri sendiri. Bunuh diri. Bedanya mati dengan bunuh diri apa ? toh dua-duanya mati. Aku tidak perlu membahas ini. Tapi jika sungguh kau bertanya, maka aku menjawab : Dia memberikan kau hak untuk mati, pastilah melalui rencana-Nya, bukan rencana kau apalagi aku. Aku terlahir dari sperma unggul ayahku dan ovum pilihan ibuku. Bukan kehendak aku untuk lahir. Begitu juga mati.
Aku pernah ingin amnesia juga mati. Di situ aku tahu, aku benar-benar pandir. Betapa tidak, setiap kali aku merasakan pahit pekat ini, aku pasti ingin amnesia dan mati. Aku benar-benar nyinyir.
Kawan, percayalah amnesia dan bunuh diri bukan solusi sama sekali. Sama seperti kau, yang sering bingung dan juga penat menghadapi hidup, tapi coba kenanglah sesuatu yang bikin kau tersenyum. Satu-satunya solusi adalah jalani. Deal with it. Terlihat melelahkan dan tanpa ujung, tapi ketika kita menikmati semuanya dengan apa adanya kita –tanpa harus merokok juga mengumpat, tapi sungguh merokok itu nikmat jikalau bukan untuk pelarian– semuanya akan berjalan nikmat. Tidak perlu mengumpat dan meracau, rasakan saja. Kau boleh mengerang. Pada akhirnya, aku sadar, selain pahit pekat, hidup juga punya perawis manis. God, SMYW !!
Dan ternyata…
09.34 Aku meminta hujan pada Beliau. Dalam diam, aku merapal : tolong, jika Kau perkenankan aku untuk kembali menegakkan daguku setelah tertunduk kalah, biarkan aku menangis, berduka, dan menghayati lara ini. Dan saat hujan berhenti, aku siap kembali maju.
09.40 Menulis
10.49 Hujan
11.03 berhenti
11.04 mandi.
Comments
Post a Comment