Empat Setengah Tahun (1)

Lima hari yang lalu, tepatnya tanggal 12 januarik 2012, akhirnya saya telah menempuh ujian sidang sarjana dan dinyatakan lulus dengan  predikat Cum Laude. Alhamdulillah. Sebenarnya saya agak sedih saat mengetahui saya akan sidang sebelumnya. Bukan sedih karena pengujinya killer, bukan sedih karena skripsi saya hanya 100 halaman, tapi sedih karena saya akan meninggalkan dunia kuliah. Sebuah dunia yang sangat sulit untuk saya jejaki. Sebuah dunia yang terlalu mahal untuk dibungkus dalam mimpi.


Setelah sidang bersama sahabat: (kiri) Yanresa, saya, Thioretta, Solpamili




Pradipta Dirgantara, S, IP 

Kurang lebih empat setengah tahun lalu.,saat lulus bangku SMA, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan. Alasan utama adalah karena ekonomi. Saat itu keadaan finansial keluarga sedang kolaps. Sungguh keterlaluan kalau saya menuntut hal yang mahal seperti kuliah. Lulus SMA saja sudah syukur alhamdulillah. Mengetahui keputusan saya, orang tua lantang tidak setuju. Ditambah nenek saya yang mengharuskan saya kuliah. Alasannya sederhana, orang kuliah tingkat kesejahteraannya akan meningkat dibandingkan orang yang tamat SMA. Itu kata orang tua saya, realistis memang. Nenek saya berkata lain, menurutnya dengan kuliah, pikiran saya akan menjadilebih terbuka terhadap hal-hal yang tidak saya tahu sebelumnya. Saya sebenarnya tidak sependapat dengan mereka. Pertama, banyak orang yang tidak kuliah namun sukses sejahtera dan tajir tujuh turunan, Bill Gates contohnya. Kedua, menurut saya pengetahuan seseorang tidak diukur oleh tingkap pendidikan yang mereka enyam. Belum tentu orang kuliah itu lebih berpengetahuan dari lulusan SMA. Yang saya tahu saat itu, banyak juga orang kuliah yang kerjanya hanya clubbing, bolos kuliah, drop out, dan hanya menginginkan titel instan. Cih, cuma kata itu yang saya pikirkan awalnya.

Hanya saja, kekeraskepalaan saya akhirnya runtuh dengan dukungan orang tua.Setiap saya berkelit kenapa harus kuliah, mereka pasti menjawab ada jalannya. Saya sebenarnya takut suatu saat putus kuliah karena biaya yang mahal. Tapi orang tua saya tetap optimis, kalau memang saya kuliah di PTN pasti ada jalannya. Lahaula aja. Mereka berdoa supaya saya masuk PTN dan diberikan jalan sama Allah. Saya pun mengaminkan doa mereka.

Saya bukan orang yang bright. Tapi orang tua saya percaya saya berkemauan keras. Like old saying, there's a will there's a way.

Hap! saya tetapkan untuk belajar demi masuk PTN, ga ada gunanya juga terus-terusan ragu dan mengkhawatirkan hal yang belum terjadi. Untuk jurusan, orang tua saya ingin sekali saya masuk Fakultas Kedokteran (FK) karena di keluarga besar baru hanya ada tiga orang dokter jadi kalaupun saya nanti menjadi dokter akan bisa berguna. Saya pun sebenarnya ingin sekali masuk FK, jadi dokter ilmunya aplikatif dan secara langsung bisa membantu masyarakat banyak. Pilihan kedua akhirnya jatuh pada Hubungan Internasional (HI). Ini atas rekomendasi saya sendiri. Saya mengambil Ilmu Pengetahuan Campuran (IPC) yang memungkinkan saya mengambil pilihan jurusan IPA dan IPS. Saya memilih HI karena saat itu saya kira lulusan HI akan bergelar diplomat, sama seperti FK yang akan bergelar dokter. Sungguh naif. Pilihan ketiga adalah Planologi ITB. Saat itu Planologi merupakan jurusan dengan passing grade terendah yang ada di ITB. Jadi pilihan pertama adalah FK UNPAD, kedua HI UNPAD, dan ketiga Planologi ITB.

Singkat cerita, hari penentuan tiba dan saya berhasil lolos pilihan kedua, Jurusan Hubungan Internasional UNPAD. Perasaan saya campur aduk. Antara senang dan juga kecewa. Kecewa tidak bisa jadi dokter tapi juga senang karena saya bisa juga mencicipi bangku kuliah.

bersambung....

Comments