Moving Forward



where to go Dip?




Subuh tadi tiba-tiba saya inget obrolan saya sama guru BK (Bimbingan dan Konseling) waktu SMA sekitar empat tahun yang lalu. Waktu itu saya masih kelas tiga dan dipersiapkan untuk lulus UAN dan lulus SPMB. Tiap siswa dikasih kesempatan untuk bimbingan lebih intens sama guru BK supaya mereka bisa tahu mau ke mana mereka setelah lulus SMA. Semua siswa kecuali saya. Saat itu saya dua kali dipanggil guru BK untuk konseling minat jurusan kuliah nanti, sebut saja ibu L yang manggil saya. Saya kerap bertanya apakah si ibu itu tahu kalo di antara siswanya ada yang tidak akan meneruskan kuliah. Bisa aja saya juga ga nerusin kuliah kan. Akhirnya setelah melihat teman-teman dekat yang sudah konseling, saya pun terpacu untuk ikutan. Sebenarnya saya agak bosan kalo lagi ngobrol sama teman-teman tiba-tiba satu di antaranya nyeletuk, "Eh Dip, abis lulus kamu mau ke mana? atau "Kamu mau ngambil apaan ntar?" atau "Nanti pengen kuliah di mana?" Dan saya cuma bisa senyum masam. Beneran ga tahu harus jawab apa. Akhirnya suka jawab sekenanya. Hmmm..kedokteran? planologi? itb? unpad? fikom?

Akhirnya saya pergi ke ruang BK untuk ketemu ibu L. 
Nah sesi konseling dengan ibu L pun dimulai.

Saya: assalamualaikum. bu L ada?
bu y: oh lagi keluar dulu, tunggu sebentar.
*basa-basi*
bu L: eh pradip, ada perlu apa?
saya: saya mau konsultasi tentang minat jurusan bu.
bu L oh sok atuh. kamu minat ke mana emang?
saya: ga tau.
bu L: emang cita-cita pradip apa?
saya: ga tau bu.
bu L: *nampak mulai berpikir* kalo dilihat dari jurusan mah, pradip kan kelas IPA mungkin lebih bagus kalo masuk jurusan eksak aja.
saya: tapi saya kan pengen masuk IPS bu.
bu L: kenapa?
saya: lebih nyaman aja bu. oh iya bu, kalau teman-tema yang nanti yang ga nerusin kuliah gimana?
bu L: ya mereka lanjut kerja atau kursus gitu.
saya: kalau saya ikutan kaya gitu gimana bu?
bu L: ya pradip sebenernya cari apa. kalau cari kerja, ya berarti harus ikutan kursus keahlian penunjang kerja. tapi kalau mau tambah ilmu berarti harus lanjut kuliah lagi.
saya: ga tau bu, bingung.
bu L kalau pradip ga tahu apa yang pradip cari berarti ga masalah atuh kalo disodorin pilihan A atau B. tinggal pilih aja, jalani aja apa adanya. apapun pilihannya itu berarti jodohnya.
saya: .... (udah ada bakat-bakat galau sejak SMA *sigh) 


Kebiasaan saya kalo udah mikir, pasti mikirnya ampe serius banget. Entah karena kadar laktosa dalam darah saya lagi tinggi atau karena kemarin abis dari KFC dan sempet shock ketemu mbak kasirnya yang tiba-tiba nyapa, "Apa Kabar?" dan sejenak saya sempat berpikir untuk menjawab, "kabar buruk! ternyata hidup itu capek geuningan. kamu capek ga?" tapi saya urungkan untuk ngjawab pake kalimat tadi karena sesat berikutnya si mbak itu nyambung kalimatnya dengan, "ada yang bisa dibantu? untuk sendiri apa berdua? ada paket kombo berdua? dapat dua free goceng lho kak."

saya kecewa, ternyata saya berhadapan dengan nothingness yang disebut Ritzer sebagai antitesisnya terhadap globalisasi. KFC yang mengubah karakter orang menjadi bukan-orang yang bikin mbak kasir tadi berada di quadran empat dalam gambar hubungan glokal-grobal tanpa tahu bahwa ia sebenernya dijejali false consciusness. Yah tapi apalah guna saya bersimpati doang. toh Marx bilang simpati tanpa aksi itu ga ada gunanya.

Well, back to me, pertanyaan si mbak kasir bikin saya harus merunut pertanyaan-pertanyaan lainnya yang muncul dalam benak saya. kaya "Kamu lagi ngapain sih sebenernya dip?" atau "kamu tahu ga kalo kamu udah tahu apa yang kamu cari?". Lantas hubungannya ama pertanyaan bu L apaan? saya juga ga tau. saya cuma ngrasa ada benang tipis setipis jaring laba-laba yang nyambungin saya, pertanyaan-pertanyaan itu, dan keadaan saat ini. saya sadar kalo ternyata pertanyaan-pertanyaan itu ga bisa jawab dan berarti saja juga memang ga harus jawab pertanyaan-pertanyaan itu.

saya sekarang paham apa yang dulu ibu L bilang. butuh hampir lima tahun buat saya mengerti. Waktu SMP, pola interaksi sosial saya adalah individual. Waktu SMA, pola interaksi saya berubah menjadi komunal yang artinya saya cenderung lebih menghargai (atau termakan dan terbuai?) human companionship. entah itu pacaran atau sahabatan. sistem pendidikan kita membuat saya merasa disuapi terus menerus dengan kenyamanan dalam satu paket pelajaran. kelas 1 smp naik kelas 2 smp lanjut kelas 3 smp naik kelas 1 sma lanjut kelas 2 sma terus naik kelas 3 sma. abis itu beres. berakhir di kelas 3 sma. terus apa? padahal saya kan pengen terus-terusan belajar sambil menikmati indahnya human companionship yang nampak abadi itu. saya pikir harus ada kelas 4 sma kelas 5 sma kelas 6 sma. kenyataannya ga ada. abis kelas 3 sma, kita kuliah, kita kerja. semua orang  tersebar mengikuti jalan hidupnya masing-masing. saya merasa seperti semut kecil yang mengerubungi gula bersama kerumunan kelompok besar saya dan seketika itu juga ada batu yang dilemparkan ke arah kami. kami lari kalang kabut ke segala penjuru. terpisah-pisah.

buat saya yang cukup sensitif dan suka berepistemologi (baca: ngelamun), switch on/off dari interaksi individual ke komunal ke individual adalah lonjakan terekstrem yang pernah saya hadapi. saya ngrasa ga punya paket GPS dalam otak saya setamat SMA. it must be left somewhere else.

tapi pertanyaan dari bu Leni bener-bener bikin saya paham. buat orang kaya saya, yang belum tahu mau ke mana, ngjalani hidup apa adanya adalah jawaban. tempuh apa yang ada di depan mata. saya punya banyak rencana yang berisi banyak cita-cita. i might not have one full life to try one by one which suits me the most. tapi ya dengan pasrah, suatu  saat saya bakal nyampe juga di sana. toh, selama ini juga begitu. 
Moving forward!

Comments

  1. Hidup mah dibawa asyik aja, jangan terbawa arus bergalau-galau he he he...
    Btw, paragraf terakhir akhirnya terungkap juga siapa nama ibu L itu he he he...

    ReplyDelete
  2. You haven't quite changed Dip, a thinker.
    It's very who you are :)

    I deliberately miss highschool too \m/ and never guess you had that convo with Ms. Leni.

    ReplyDelete
  3. @farrel: it's just who i am hehe.

    @anonym: whoa, we shared the same highschool!

    ReplyDelete

Post a Comment