Kita (Manusia) dan Lingkungan

Ternyata postingan terakhir saya menuai respon dari seorang teman yang ia ejawantahkan ke dalam sebuah tulisan yang berjudul Korelasi antara Praktek Kanibalisme terhadap Langkanya Jumlah Pohon di Dunia. Penulis menjawab pertanyaan yang saya posting sebelumnya melalui kerangka berpikirnya sendiri. Judul postingannya  mungkin agak vulgar tapi santai, tidak ada deskripsi gore atau horror di dalamnya. Ia mendeskripsikan proses kanibalisme yang mungkin terjadi akibat degradasi lingkungan. Di akhir tulisannya ia menyajikan pertanyaan yang menggelitik untuk dijawab. Pertanyaan tersebut adalah:

Apakah dalam situasi seperti ini 7 miliar manusia kemudian akan berdoa berharap suatu keajaiban? Atau berusaha realistis, dengan menjadi kanibal untuk dapat bertahan?

Berpijak dari permasalahan lingkungan yang terjadi, intervensi manusia sangat memengaruhi kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. Intervensi itu menjadi salah satu faktor yang kadang muncul dalam permasalahan lingkungan. Contoh sederhana adalah pengolahan minyak bumi (SDA) menjadi bbm yang kemudian menimbulkan polusi. Di sisi lain kita berusaha keras untuk mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan sehingga anak cucu kita nanti masih bisa hidup meskipun pembangunan tetap digenjot. Dengan pembangunan yang begitu mengedepankan modernisasi dan pasar bukan mustahil apa yang dibayangkan oleh teman saya menjadi kenyataan di masa yang akan datang, manusia saling makan-memakan untuk bertahan hidup. Tidak usah menunggu lama karena banyak penelitian  lingkungan telah menunjukan tanda-tanda bahwa bumi memang dalam keadaan krisis. Ada lebih dari tujuh milyar orang yang ada di bumi, berdesak-desakan mencari penghidupan. Hal ini menimbulkan lonjakan footprint. Dan hal ini merupakan salah satu faktor penyebab iklim suhu di bumi meningkat empat derajat celcius. Hal ini beriringan dengan ancaman kepunahan satu juta spesies pada penghujun tahun 2050 karena perubahan iklim. Apakah isu lingkungan ini baru terjadi sehingga masyarakat mengampanyekan slogan go green ? Kita bisa mundur sepuluh tahun untuk melihat bahwa hanya sepertiga lahan yang tersisa yang bisa dijadikan habitat makhluk hidup lainnya selain manusia akibat konversi lahan yang terjadi karena revolusi. Atau kita bisa mundur lebih jauh, pada tahun 1872 Robert Angus Smith mengemukakan fenomena hujan asam dan bahayanya namun baru ditanggapi seratus tahun kemudian. Yak, sama seperti pembersihan nama Sokrates oleh pengadilan Yunani (saat itu Sokrates dihukum mati karena dituduh telah mencemari masyarakat dengan ide dan etikanya), Smith harus merasakan diabaikan oleh masyarakat meskipun ia tidak disuruh minum racun karenanya. Apa yang bisa kita ambil dari pengalaman kedua orang penting itu? bahwa kita, manusia, adalah makhluk yang bebal dan abai. Bumi telah memberikan tanda melalui mekanisme alamiahnya agar kita sadar. Namun butuh tamparan yang sangat perih bagi kita untuk mahfum bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi. Masyarakat kita saat ini sangat konsumtif. Gaya hidup kita yang juga ignorant malah menjadi prioritas. Contoh yang konkret adalah pandangan kita yang cenderung merendahkan pemulung sampah. Kita merasa superior karena sampah bekas kita saja menjadi sumber penghidupan mereka. Padahal dalam siklus daur ulang masyarakat mereka adalah termasuk elemen yang penting. Bayangkan jika sampah yang kita buang (sembarangan) tidak dipilah, dikumpulkan, dan disetor untuk didaur ulang oleh mereka. Bandung, misalnya, akan menjadi lautan sampah. Dan kenyamanan kita akan sangat terganggu. Namun pemulung sampah itu tidak sadar bahwa mereka adalah bagian dari siklus daur ulang. Keinginan sederhana mereka hanyalah bagaimana untuk hidup hari ini. Kita jarang mengapresiasi mereka sebagaimana layaknya. Dari sini sebenarnya kita dapat mengetahui buat apa kita membuang sampah sesuai jenisnya. Untuk mempermudah mereka dan kita dalam menjaga lingkungan. Ah tapi untuk hal yang mudah itu saja kita susah. Kita sendirilah yang menyebabkan ecocrisis senada dengan perkataan Erazim Kohak, "we are too numerous, demanding, and powerful." Dalam tiga puluh tahuh ke depan sekitar dua belas persen spesies burung dan dua puluh lima persen mamalia diprediksi punah. Hal ini karena kita yang mengganggap diri kita paling utama di antara spesies lainnya. Ya, ternyata bukan hiu putih atau harimau afrika yang menjadi top predator di bumi, tapi kita, manusia.

Ini satu lagi contoh bahwa kita tidak terbiasa berpikir jauh ke depan. Mental dan wawasan lingkungan kita hanya dipatri untuk berpikir sekarang. Tanpa pikir panjang, beli sekarang, setelah rusak ya buang. Tanpa memikirkan tentang layanan purnajual atau tanggung jawab kita sebagai konsumen yang ramah lingkungan. Hal seperti itu terus terjadi hingga akhirnya tanpa kita sadari karena ada tuntutan akan kebutuhan kita yang tak terkendali, sumber daya akan semakin menipis. 

Lantas apa kita sudah memanjatkan 'semoga biodiversity kita tetap terjaga dan pembangunan berkelanjutan segera terwujud' dalam doa? saya yakin pasti jarang. Jangankan pertanyaan itu, pertanyaan yang lebih sederhana yang perlu kita ajukan adalah, apakah kita berdoa? 

Well, berbicara tentang keyakinan sudah di luar konteks, mari kita lanjutkan bicara yang ringan-ringan saja.
Kita pasti ingin memperoleh keajaiban. Meski banyak orang ragu hal tersebut eksis. Manusia tidak percaya bahwa mereka bisa terbang. Wright bersaudara kemudian membuktikan bahwa manusia bisa terbang. Manusia. Kita akan terus mencari jalan untuk bertahan hidup. Dari dulu sampai sekarang, kita memiliki kemampuan adaptasi yang sangat tinggi. Entah itu secara morfologis, fisiologis, ataupun tingkkah laku (kultural). Kita beradaptasi melawan perubahan cuaca, kondisi geografis yang tidak menguntungkan, dan juga konflik sosial yang ada. Sepintas adaptasi merupakan cara yang paling hebat bagi kita untuk melanjutkan kehidupan. Unfortunately, adaptation can goes wrong too. Maladaptasi. Maladaptasi adalah cara manusia untuk bertahan hidup namun dengan menurunkan kualitas penghidupan. Contohnya adalah masyarakat yang tinggal di tepi sungai *********ng yang kotor terbiasa mencuci baju di sana. Bahkan menggunakan airnya yang bewarna kecoklatan itu untuk mandi. Awalnya mereka terserang penyakit kulit namun lama kelamaan mereka menjadi imun. Bagus? Hm. coba googling mutan di film X-Men (komik favorit saya  semacam nightcrawler atau beast. Tanpa kekuatan super, mereka adalah contoh maladaptasi ekstrem (banget). Beberapa gambar mereka:
beast X-Men
Nightcrawler X-Men


Kita boleh bangga mengakui bahwa kita adalah ras yang hebat. Kita bertahan. Dan akan terus menemukan sebuah cara untuk bertahan. Namun apakah suatu saat nanti kanibalisme itu akan menjadi salah satu cara kita untuk bertahan? Kanibalisme merupakan kondisi di mana manusia saling memakan untuk bertahan hidup tentunya dengan cara yang sadis dan kejam dan melawan hak asasi manusia dan juga norma yang berlaku. Jika kita sependapat dengan definisi itu, bukankah perang merebutkan kekuasaan, minyak, tanah, merupakan hal yang sama? yaitu mencoba 'memakan' bagian dari manusia lain untuk bertahan hidup. Perang menuai korban jiwa dan erusakan lingkungan yang hebat. Selain itu, kita juga saling 'memakan' secara moral melalui senjata runcing rasisme, vandalisme, diskriminasi, dan korupsi. Atau bahkan kita membiarkan orang lain untuk 'dimakan' oleh orang lain dengan pura-pura tidak melihat atau tidak tahu, dengan menutup nurani kita sendiri agar kita selamat. Jadi sebenarnya bibit-bibit kanibalisme memang sudah tertanam dalam diri kita. Serem!

Kalau begitu apakah kita yang memiliki bibit kanibalisme dan berperilaku destruktif terhadap bumi ini layak untuk diperjuangkan?



Dan tiba-tiba pengen nonton Resident Evil: Retribution. 

Comments