Lebaran Kali Ini

Bagi banyak orang Ramadhan memang menuai banyak kenangan dan kebahagiaan. Ramadhan yang dari tahun ke tahun secara kultural diasosiasikan dengan barang-barang baru seperti baju dan sepatu ini memberikan cerita yang berbeda bagi saya tahun ini.

Saya mengalami cerita yang berbeda pada bulan puasa kali ini, Ramadhan 1433. Tiap umur bertambah (atau malah berkurang) saya sadar suasana bulan puasa pun berubah. Karena saya sekolah di semacam madrasah, saya terlibat dalam banyak kegiatan religi di sekolah sejak kecil. Bulan puasa pun digenjot dengan mengintensifikasikan kegiatan-kegiatan pesantren kilat, pengajian bersama, lomba adzan, lomba baca al-qur'an dan lomba menghapal surat pendek/hadits. Saya senang dengan kegiatan tersebut karena selain menambah pahala (dulu diimingi-imingin berlipat sampai tujuh kali), puasa pun jadi tidak terasa aka ngabuburit. Dan kegembiraan tersebut berlangsung hingga malam: tetap meriah. Dengan adanya buku kegiatan Ramadhan, saya dan teman-teman merasa bertanggung jawab untuk mendokumentasikan ceramah tarawih dan kuliah subuh. Setelah tarawih kami sering kali jajan baso atau cilok dekat mesjid sambil main petasan. Dan ketika nuzulul qur'an, saya dan teman-teman berbondong-bondong datang ke mesjid. Baik untuk sholat malam maupun itikaf. Hal seperti itu yang melekat dalam ingatan saya. Perasaan menyenangkan seperti itu hinggap hingga saya duduk di bangku SMA. 

Dan saat kuliah, perasaan tersebut berangsur memudar. Tidak ada lagi buku agenda Ramadhan yang harus diisi, ini kali pertama saya merasa terbebaskan dari aturan seperti itu. Di sisi lain saya juga merasa ada keprihatinan terhadap diri saya sendiri karena tidak ada 'buku' yang harus saya isi. Beberapa hari pertama puasa, saya masih sempat sholat tarawih di mesjid namun hari-hari berikutnya sangat sulit untuk sholat tarawih di mesjid. Hal itu tersita oleh pengerjaan tugas kuliah yang menumpuk. Saya harus pulang malam karena kegiatan kampus ditambah karena kampus saya di Jatinangor yang lumayan memakan waktu. Setelah itu, itikaf pun berkurang dan tergantikan oleh buka bareng (bukbar) dengan teman-teman kuliah (ada teman-teman BEM, HIMA, UKM), teman-teman SMA (ada teman-teman OSIS, Teater, Kelas IPA), teman-teman SMP dan SD, teman main, teman komunitas, dan sahabat-sahabat tercinta. Fuh
  
Kesibukan itu tidak berkurang saat saya dan keluarga pindah ke Cimahi pada akhir tahun 2009 sehingga saat bulan puasa tiba, tidak ada lagi atmosfir masa kecil saya yang menaungi saya. Tapi tenang, saya masih merasa tenteram karena ada sahabat-sahabat saya yang masih bisa diajak buka bareng. Hal yang seperti itu benar-benar memengaruhi kondisi psikologi saya dalam menjalani bulan puasa. Saya sering mengalami momen "loh ini udah hari ke dua puluh ya?" padahal saya masih merasa hari dua puasa.

Pada tahun 2010 hal yang benar-benar membuat saya sedih terjadi. Nenek saya meninggal. Saat itu seminggu sebelum puasa, beliau sudah tidak bisa bergerak lagi dari kasur. Makan dan mandipun harus dilbantu oleh alat dan orang lain. Sebelum memasuki bulan puasa, nenek masih sehat bugar dan berniat untuk ikut puasa. Puasa tahun lalu, nenek juga berpuasa dan berhasil tamat. Karena itu beliau terdorong untuk melakukannya lagi. Namun sayang, beberapa hari pertama puasa nenek terpeleset di kamar mandi. Kepalanya mengalami memar ringan. Karena itulah kesehatannya mulai menurun drastis. Awalnya tidak bisa bergerak, disusul oleh tidak bisa bicara. Ia hanya bisa mengangguk dan menggeleng. Saya merasa sedih melihat kondisinya seperti itu. Seminggu sebelum lebaran, nenek sudah tidak mau makan ataupun minum. Ia juga tidak mau dibawa ke rumah sakit. Akhirnya ia dirawat jalan, menggunakan infus. Bapak meminta kami sekeluarga untuk minta maaf kepada nenek dan menjaganya bergantian. Iapun mengabari adik-adiknya. Adik-adik bapak bergegas datang ke Bandung. Yang satu tinggal di Tegal, satunya lagi di Malang. Sehari setelahnya, adik papa yang pertama dan keluarganya datang untuk menjenguk.  Satu hari sebelum lebaran, si bungsu dan keluarganya belum juga datang. Mereka terjebak macet. Kondisi nenek pun tidak menunjukan perubahan apapun. Hanya desah napasnya yang terdengar. Akhirnya adik papa itu datang saat fajar tiba menjelang sholat Id. Mereka agak kelelahan jadi hanya menengok nenek dari belakang pintu kemudian bergegas mandi untuk sholat Id di mesjid. Setelah sholat id, si bungsu dan keluarganya memohon maaf kepada nenek yang sedang berbaring tak berdaya. Kemudian mereka bergabung bersama kami di ruang tamu. Saat sedang bercengkrama di ruang tamu, ibu mengecek keadaan nenek. Dan saat itu mama menjerit sambil menangis, sontak saya pun bergegas ke kamar. Ternyata nenek sudah mengembuskan napas terakhirnya setelah bertemu ketiga anaknya. 

Beliau adalah sosok yang dekat dengan saya. Perannya seperti ibu. Dari kecil, beliau yang mengasuh saya ketika ibu dan bapak sedang kerja. Saya senang berada di dekat beliau. Saya ingat sebelum tidur, beliau senang menceritakan kampung halamannya dulu, Panjalu. Betapa senang ia pernah tinggal di sana. Saya juga senang tertidur di sampingnya sambil mendengarkannya membaca al-qur'an atau sekadar wirid. Menjelang dewasa tidak heran saya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan nenek. Kepergian nenek saat lebaran membuat perasaan saya bercampur aduk. Di hari yang fitri itu, saya bersyukur nenek bisa kembali ke pangkuan-Nya dengan tenang. Namun ada duka yang mendalam buat saya. Saya kehilangan salah satu booster dalam hidup saya. Setiap lebaran tiba, pasti ada selapis tipis perasaan sedih di mata saya. Ada perasaan kesal dan sesal yang membuat dada saya sesak. 

Saya belum bisa membanggakan nenek saya. Saya belum sempat wisuda dan foto studio dengan beliau. Saya belum bisa .......

Sebelum sidang sarjana pada 12 Januari 2012, saya sudah berniat untuk mengunjungi makam nenek di Panjalu. Namun karena berbagai macam kendala, akhirnya baru kesampaian setelah lebaran tahun ini tepatnya H+2 setelah lebaran.  Saat tiba di makam, air mata tak sanggup saya bendung dan berjatuhan di nisan beliau. Seraya menghaturkan doa dan membaca yassin, saya bercerita banyak tentang apa yang beliau lewatkan. Bercerita bagaimana saya bertemu banyak orang yang menyayangi saya, bagaimana saya terjatuh berulang kali dan mencoba berdiri lagi. Saya juga menceritakan bagaimana momen Ramadhan tahun ini tidak bisa saya genggam. Iya, saya kuliah, kadang sambil kerja. Padahal sebenarnya saya bisa mencuri waktu untuk tetap tarawih dan itikaf. Meski samar, muncul ingatan saat nenek pulang dari mesjid selesai tarawih dan memarahi saya yang waktu kecil sering berisik di mesjid. 



Semoga saya menjadi anak (cucu) yang soleh yang memberikan manfaat bagi orang banyak dan menjadi pahala yang tak putus bagi mu. Amin. 

Al-fatihah.

Comments