Wisata Kota Nestapa (Bagian I)



Teman, aku ingin mengajakmu bertamasya ke sebuah kota. Ia bukan persepolis, metropolis, atau akropolis. Jangan harap juga ia adalah kota yang sekarang kau diami atau pernah kau singgahi. Kau tahu ia ada. Ia adalah sebuah kota di mana hiburan melumer menjadi komoditas yang mudah ditemukan di pinggir jalan dan komitmen menyaru di antaranya lantas kabur ke dalam selokan yang mengalir menuju limpasan harapan yang tak bisa lagi kau temukan lagi wujudnya. Ia adalah kota bagi para avonturir untuk melepas penat dan mengambil rehat sejenak. Ia adalah kota bagi manusia filantropis untuk menjejakan kaki dan menebarkan darmanya. Ia adalah kota tamasya bagi kita untuk ditangisi keberadaannya.

Kita akan mulai tur ini dengan janji. Janji yang tak akan pernah kau ucap dua kali dan jangan pernah kau sesali. Janji yang kita untai ini akan menjadi penolong ketika kelak kita tersesat di kota ini. Kita perlu jejak untuk selalu bisa pulang, bukan? janji ini adalah jejakmu untuk selalu pulang bersamaku. Mudah saja. Kau hanya perlu berjanji untuk terus bersamaku. Apapun yang terjadi. Aku anggap anggukan itu bukti persetujuanmu. Kau sudah mengucap janji, kau sekarang memegang konsekuensi.

Tujuan pertama kita adalah kantor walikota. Setiap kota memiliki walikota. Seperti yang kita tahu, ia adalah figur sebuah kota. Seperti motor yang kita tumpangi ini, ia adalah setiap unsur yang merekatkan semua bagian mesin dan akhirnya bisa berjalan sesuai fungsinya. Kita adalah tamu yang baik: mengetuk pintu saat masuk dan berterima kasih saat keluar. Karena itu kita harus berkunjung ke kantor walikota. Setiap rumah memiliki keramahtamahan tersendiri. Untuk diterima dengan baik, kita harus membawa sesuatu untuk tuan rumah. Di sini kita diwajibkan membawa pohon uang dan seribu gigi anak kecil. Tak usah khawatir, aku sudah mempersiapkan semua itu sebelumnya. Jangan kau tanya dari mana, kau akan pingsan jika mendengarnya. Dan aku takut kau tak akan bangun lagi. Kau dan aku adalah orang yang ramah, dengan membawa hadiah ini, ia akan melunak pada kita karena ku dengar,  tuan rumah kota ini haus akan madah. Seperti yang aku yakini selama ini. Kau kerap bertanya siapa tuan rumah kota ini. Jangan ragu dan jangan kaku. Tuan rumah kota ini jelas saja walikota. Bukan orang-orang yang kita lihat mengantri di jalanan membawa jeriken untuk diisikan cinta. Bukan pula orang-orang yang memungut serpihan harapan yang empuk dan gurih. Jangan juga kau sangka tuan rumah itu adalah mereka yang menarik langit dan menangkap angin hangat saat memejamkan mata di gorong-gorong. Apalagi mereka yang memikul karung penuh duka di sudut kota. Kau lihat mereka semua berserakan tak berarti saat menuju kemari. Harus kau ingat! hadiah ini bukan untuk mereka karena mereka bukanlah tuan rumah kota ini. 

Kau hanya mengangguk saja sambil mengenggam kantung yang berisi seribu gigi anak kecil itu. Kau sebenarnya sedih. Rupanya ada beberapa gigi yang kau kenal.

Kita sudah mengunjungi kantor walikota. Kau lihat! Ia menyukai hadiah dari kita. Ia menganggap kita orang yang ramah. Memang! Saking gembiranya, ia langsung menanam pohon uang pemberian kita dan menyiramnya dengan air mata. Air mata siapa, aku tak sempat tanya. Yang jelas, air mata itu bening, hangat, dan berkilauan seperti  yang aku lihat keluar dari matamu tempo hari. Ia memberikan kita sepuluh koin untuk masuk ke dalam wahana yang populer di kota ini. Aku dan kau tersenyum berbarengan. Sudah banyak duka yang kita hirup dan semoga wahana ini bisa mengembuskan rasa yang kita berdua cari.

Kita menuju selatan kota. Ada kebun binatang yang terkenal di sana. Kau selalu tertarik pada etalase kehidupan liar. Aku paham itu, hutan beton sudah mengakar di mana-mana. Kau rindu masa kecilmu. Saat kau bermain di padang rumput bersama gajah yang hampir menginjak tanganmu yang mungil. Kau malah tertawa jenaka. Aku paham itu, kebun binatang seperti ini adalah bagian darimu yang rindu akan alam liar. Masa lalu yang menghangatkan masa kecilmu. Kau juga butuh pengingat bahwa alam adalah tempat kita bernaung. Kau selalu berkata seperti itu kepadaku. 

Kebun binatang memang jadi tempat wisata favoritmu. Kita tiba di sana saat bulan purnama. Mereka yang dikandang tidak lagi pulas tertidur namun meraung, mengaum, dan menjerit kesetanan. Aku heran, mana mungkin binatang bisa kesetanan.  Ternyata mereka memang kesetanan. Beberapa petugas berusaha menenangkan mereka. Ada yang sedang menggigit leher sesamanya lalu kemudian memakannya. Petugas itu tampak benar-benar ketakutan hingga ia menembakinya sampai mati. Namun di sisi kandang bagian kiri, kau perhatikan betinya yang kau kira sedang berak. Kau perhatikan lagi dan ternyata apa yang ada di depanmu adalah betina yang sedang melahirkan tiga bayi yang masih hitam kemerah-merahan. Ia kemudian pergi di tengah bayi-bayi yang menyanyi dan menangis bersamaan. Beberapa saat kemudian muncul yang lainnya dan melahap ketiga bayi tersebut. Mereka tetap menangis dan bernyanyi dengan nada yang lebih tinggi. Kau pun terlihat menegang. Tanganmu mencengkram kandang besi dengan kuat. Petugas-petugas lainnya masuk dan mencoba menembaki mereka. Satu di antara petugas itu berteriak, belum pernah melihat mereka menjadi liar seperti setan ini. Kau menggelengkan kepala sambil berbisik, ini bukan kebun binatang.

Aku mengajakmu ke bagian kebun binatang yang lebih sepi. Aku tahu kau butuh sepi. Tapi kau harus hati-hati dengan sepi, ia bisa merongrongmu dari dalam tanpa sempat kau sadari. Kau mengangguk saja. Kau berlari-lari kecil menuju kandang yang penghuninya tertidur lelap. Kau kenal dia. Kau meneriakinya untuk bangun dan pulang, mengajaknya mencari seteguk udara segar di luar. Kau menggapai-gapaikan tanganmu untuk menyentuhnya. Ia bergeming. Tidak tampak seperti hidup, membatu dalam gelap. Kau bilang masih bisa merasakan detaknya. Kau tak berhenti berteriak. Memukul-mukul besi kandang dengan batu hingga tanganmu berdarah. Kau terus seperti itu hingga siang tiba. Kau menjadi iba. Duka yang paling dalam keluar dari napasmu dan terhirup olehnya. Ia membuka kelopak mata. Tak ada mata di situ. Kau pun lihat dengan jelas pasir keluar dari lubang telinganya. Kau iba. Kau terus iba dan ia menghantuimu. Ia tak bisa berkata karena tak ada mulut di situ. Kau iba. Kau terus iba dan ia menghantuimu. Kau meminta pergi dari sana. Tak ada lagi yang bisa kau cerna sebagai masa kecilmu yang indah. Gajah, jerapah, dan kuda nil yang biasa kau temani di tengah hari yang panas. 

Kau mulai mengubur masa lalumu.

Ban motor kembali berputar di jalanan. Aku masih bisa melihat duka dan iba keluar dari matamu. Warnanya seperti darah namun lebih hitam kelam. Seperti malam tanpa kehadiran apapun, malam saat aku terjebak. Kau meminta pergi ke utara. Jika selatan membuatmu berduka, maka utara bisa menghadirkan suka. Kau suka berasumsi. Itulah yang kau lakukan. Optimisme adalah keahlianmu. Kau menatap angin yang menggores kulit mu perlahan. Angin di utara lebih tajam dan membawa kerikil pedih yang menghilangkan harapan masa depan. Aku bisa merasakan harapan di dalam diriku tererosi perlahan-lahan. Kau menutup mata dan menggantikanku mengendarai motor. Aku juga menutup mata, mengikutimu refleks. Sedetik kemudian kami sudah berada di sudut paling utara di kota ini. Burung-burung besi bersarang di sana-sini. Kau takjub dan memberikan koin kepada Penjaga Utara. Angin berhembus sangat kuat. Semua yang kita kenakan terbang terbawa angin. Koin-koin berhamburan dan kau tangkap dua. Aku menangkap satu dan sisanya terbang terbawa angin. Koin-koin sisa kau pegang erat supaya tidak terbawa. Kita masuk dengan telanjang. Awalnya kau tak mau masuk tanpa pakaian. Tapi aku meyakinkanmu bahwa kulit adalah pakaian kita yang sebenarnya. Tak ada yang bisa melihat kita tanpa mengibiri. Kau mengangguk dan berjalan   ke dalam. Ada banyak orang di sini. Memalu, memacul, menuai, menggembala, membajak, menanam, memotong. Semua melakukannya tanpa jeda. Orang terus memalu besi-besi yang dialihkan kepadanya. Banyak yang kita pendam tapi aku yakin lebih banyak lagi yang mereka pendam. Ku lihat hitam pada mata mereka hilang entah ke mana. Kau melihat banyak rumah besi mengalirkan air hitam pekat yang panas dan asam ke sungai-sungai. Baunya sangat pekat. Seperti kotoran kita yang digabung dengan najis-najis lainnya. Aku hendak muntah namun aku berhasil berlari keluar sehingga muntah yang berada di ujung mulut berhasil ku telan balik. Kulihat kau sudah menungguku di atas motor. Ayo, serumu.

Comments