Solitude #17


Malam kali ini temaram tak seperti biasanya. Bulan berselimut awan tanda setuju. Seolah lelah, lampu jalan sudah beberapa kali ikut saru dalam gelap karena tak ada lagi pengguna jalan untuk ditemani. Udara pun ikut berkontemplasi menyebarkan gigil. Beberapa sudut kota sudah terlelap dalam gelap. Anak-anak sedang menyulam mimpi dan pasangan sedang memeluk erat harapan mereka. Kota ini begitu sepi. 

Aku mencoba melangkah tanpa bersuara. Menelusuri jejakmu yang menyatu dengan debu. Memburu napasmu yang bercampur dengan angin pilu. Menggamit kenangan bersamamu yang kian semu. Tapi aku masih ada di sini. Mencarimu. Tak ingin aku membuat gaduh kemudian bertanya kepada seisi kota akan kehadiranmu. Aku percaya kau masih ada di sini. Seperti aku yakin saat ini kau hadir di sela-sela pandanganku.

Siapa yang sangka malam di kota ini bisa begitu dingin. Mungkin karena angin yang mondar-mandir gelisah mencari tempat singgah. Kota ini juga menjadi begitu sepi. Entah karena hiruk pikuk sudah menjelma menjadi bunga tidur. Atau mungkin tak ada lagi yang terjaga. Sesekali ada harmoni binatang malam yang kadang menangis sesenggukan bersahutan dengan suara angin. Mungkin tidak sesepi yang aku kira. Tapi sekarang aku merasa sendu dan pilu.

Kususuri jalan setapak yang melintang di tengah kota. Kusadari ada embun sisa hujan yang bertengger di setiap daun telinga orang-orang yang sedang tidur. Aku perhatikan dengan saksama. Aku tahu kadang kau bersikeras hadir dalam keping-keping harapan atau kepercayaan yang sudah terkoyak-koyak.

Aku berjalan semakin jauh. Menjauhi kota yang kuyakini ada kehadiranmu di sana. Aku terus berjalan mencarimu. Meninggalkan gemerlap lampu yang menuai banyak pujian. 

Comments