Sabtu kemarin salju sudah mulai turun tapi tidak seberapa banyak. Angin juga sedang ribut, entah berkeluh kesah apa tentang hidup. Tempat yang paling nyaman: kamar. Spesifiknya kasur. Saya bergumul dengan kasur seharian di bawah selimut yang hangat. Malas berbuat apapun. Tapi badan ini menuntut untuk bergerak. Saya penuhi tuntutannya dengan menulis-nulis ringan. Saya pikirkan apa yang saya lakukan di minggu ini. Tidak ada yang menarik. Apa yang saya lakukan untuk akhir pekan. Tidak ada yang menarik. Apa yang saya pikirkan. Tidak ada yang menarik. Tunggu. Sebenarnya ada yang menarik dan mengganggu pikiran saya kala lengang.
----
Bulan lalu jurnalistik dunia maya di Indonesia digegerkan oleh fenomena Jilbab Hitam. Jika tidak membuka linimasa twitter, saya pasti tidak akan bisa menduga siapa Jilbab Hitam dan apa yang dilakukannya. Jilbab Hitam adalah akun anonimus yang membuat sebuah tulisan di sebuah situs blog untuk publik yang berisi tuduhan pemerasan Bank Mandiri oleh Tempo dan Katadata. Yang jadi persoalan adalah ketika postingan tersebut menghidangkan informasi yang dianggap tidak benar dan cenderung ofensif. Hal ini terbukti dengan, beberapa jam kemudian, tulisan tersebut hilang dari kanal informasi tersebut. Hal ini berarti dua hal; 1) ada usaha untuk membungkam sebuah kanal informasi; 2) tulisan tersebut dianggap melanggar kebebasan/hak orang lain. Saya juga sempat bingung apakah tulisan tersebut masuk dalam kategori Hate Speech atau Freedom of Speech. Hate Speech karena tulisannya tidak bisa diverifikasi dengan akun anonimusnya. Jika terbukti tidak benar, tulisan ini bisa menyinggung semua orang yang berafiliasi dengan Tempo. Dengan begitu banyak orang yang mengemukakan tulisan Jilbab Hitam yang dianggap didasari asumsi tanpa bukti hanya menjadi fitnah. Tapi hal tersebut juga bisa dikatakan freedom of speech dengan akun anonimus jika hal tersebut bisa menjadi cara untuk mengartikulasikan opininya saat keselamatan narasumber terancam. Maka dari itu, sama seperti akun wikileaks, akun Jilbab Hitam ini menjadi perdebatan apakah ia informasi yang dapat dipercaya ataupun tidak. Terlepas dari itu setiap informasi yang kita dapat memang harus dibuktikan apalagi jika informasi tersebut muncul ke permukaan dengan grasak grusuk. Seperti kata Montaigne, "He who establishes his argument by noise and command, shows that his reason is weak."
Terlepas dari riuh rendahnya opini orang di Twitter, saya kembali flashback ke zaman saya kuliah. Majalah Tempo adalah salah satu majalah yang harus dibaca oleh mahasiswa. Terutama mahasiswa ilmu politik dan sosial. Jangan heran tiap kali majalah itu tiba di etalase tempat fotokopian fakultas, tidak butuh waktu lama mahasiswa silih berdatangan membelinya. Dan tidak jarang pula, badan pers dan jurnalistik di berbagai kampus mengadaptasi struktur organisasi dan metode penulisan Tempo.
----
Beberapa minggu setelah isu Jilbab Hitam reda karena terbongkarnya siapa di balik akun tersebut dan juga klarifikasi dari pihak yang dituduh (Bank Mandiri, Tempo, Katadata), twitter sudah mulai ramai lagi. Saat saya membuka Twitter ternyata ada kasus yang menjerat Sitok Srengenge (SS), salah seorang budayawan dan penyair Indonesia. Setelah saya telusuri dari berbagai media, saya mendapatkan sebuah kronologi kasar yang menyimpulkan bahwa ia terlibat kasus 'perbuatan tidak menyenangkan' yaitu menghamili seorang mahasiswi. Lagi-lagi kasus ini menuai banyak asumsi. Yang membela SS tidaklah sedikit. Yang membela korbannya juga tidak sedikit. Percekcokan tentang hal yang jauh dari esensi juga terjadi di twitter seperti mengapa korban baru melapor setelah tujuh bulan hamil atau usia korban kan sudah cakap hukum, apa kalau tidak hamil akan tetap melapor, kenapa harus merasa dirugikan, sampai jawaban lucu terhadap pertanyaan kenapa memakai argumen budaya patriarki untuk melihat bahwa laki-laki bisa mengintimidasi wanita. Saya sendiri yang awam dan jauh dari pusaran informasi akan perkembangan kasus tersebut memilin asumsi-asumsi dari informasi yang didapatkan. Respon tersebut sebagian ada yang menguatkan korban dan sebagian justru mencela, yang membuat saya tertawa miris, sedih.
Mungkin tujuh bulan adalah lamanya ia untuk mengumpulkan keberanian memberitahu dunia akan hal yang terjadi padanya, mungkin perlu tujuh bulan baginya untuk mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang untuk menuntut keadilan. Dan tidak perlu di bawah umur untuk melaporkan tindakan-tindakan asusila atau tidak menyenangkan apalagi sampai menghamili. Terlepas dari kemungkinan itu, faktanya adalah ada seorang mahasiswa yang hamil tujuh bulan yang pasti dibanjiri air mata dan diliputi kebingungan. Ada seseorang yang butuh dikuatkan.
Saya berusaha adil dalam pikiran.
SS adalah penyair yang karyanya saya sukai. Setidaknya saya harus menemukan sudut pandang dia. Dari yang saya baca, ia melontarkan kalimat suka sama suka sebagai bagian dari pembelaannya. Dan pembelaannya yang lain adalah usahanya untuk menemui korban dibatasi atau setidaknya tidak dimediasi. Ia juga menuduh bahwa usahanya untuk bertemu dengan korban seolah dihalangi oleh mediatornya padahal dari jauh hari dia siap bertanggung jawab. Dalam melihat kasus seperti ini, saya ingin bersikap netral. Mungkin ada hal yang tidak saya ketahui, namun diketahui kedua pihak tersebut (atau kepolisian). Jadi buat apa saya membela salah satu pihak? Saya juga toh tidak mengenal keduanya.
Tapi di sini saya harus mengambil sikap. Mengapa? Pertama, saya tumbuh bersama sastra. Sejak kecil sastra sudah menjadi sebuah dunia tempat saya mengasingkan diri. Saya menemukan kebebasan sekaligus pemberontakan dalam puisi. Termasuk puisi-puisi SS yang pernah saya bacakan di depan kelas sewaktu SMP dulu. Buku-bukunya juga saya miliki di rumah. Saya merasa dekat dengan sastra, salah satunya ya karena karya SS. Namun begitu, ada hal yang lebih besar dari sekadar tumpukan buku tersebut. Ada seseorang wanita yang telah 'dicederai'. Saya tak habis pikir bagaimana jika wanita tersebut adalah orang yang saya kenal. Saya berdoa semoga korban mendapatkan keadilan yang dicarinya. Lucunya, ada media yang secara khusus menggunakan eufimisme yang menurut saya berlebihan dalam membingkai berita-berita tentang SS. Beritanya menjadi lunak dan 'enak' dibaca. Well, saya tidak akan membahas itu lebih dalam.
---------
Hari Minggu yang tenang.
Setelah beres kuliah penuh satu minggu dan juga ujian, saya berhak untuk bermalas-malasan.
Sambil berleha-leha, saya berpikir bahwa tentu saja banyak yang berubah seiring berjalannya waktu. Persepsi kita terhadap sesuatu berubah. Mentalitas kita juga berubah. Dulu, saya ingin sekali terjun di dunia jurnalistik sebagai wartawan. Menonton peran wartawan di film The Hunting Party (2007), Balibo (2009), Good Luck, and Good Night (2005) dan The Killing Fields (1984) memicu keinginan saya untuk menjadi wartawan. Namun mendengar beberapa teman yang mengeluh bahwa beberapa berita-berita yang didapat harus sesuai dengan framing tempat dia bekerja membuat saya berpikir ulang. Hal tersebut memang wajar, apalagi wartawan juga memiliki perspektif tersendiri dalam menangkap realitas yang ada (subjective realism). Dulu, saya beranggapan bahwa sastrawan memiliki idealismenya sendiri. Entah ia memotret kehidupan pada zamannya melalui prosa ataupun lari dari zamannya melalui proses, menjadi penyair dan menulis adalah bagian dari diri saya yang tak mungkin dihilangkan. Agak naif jika kejadian akhir-akhir ini menjadi generalisasi tentang apa yang ingin saya menjadi. Namun contoh adalah contoh. Masyarakat merekam itu semua.
Jadi apa saya tetap ingin menjadi seorang jurnalis atau sastrawan? Saya sendiri belum tahu. Setidaknya saya masih punya waktu berpikir hingga saya selesai kuliah. Terlepas keprofesian, saya masih menyukai kedua dunia tersebut.
Sambil berleha-leha, saya berpikir bahwa tentu saja banyak yang berubah seiring berjalannya waktu. Persepsi kita terhadap sesuatu berubah. Mentalitas kita juga berubah. Dulu, saya ingin sekali terjun di dunia jurnalistik sebagai wartawan. Menonton peran wartawan di film The Hunting Party (2007), Balibo (2009), Good Luck, and Good Night (2005) dan The Killing Fields (1984) memicu keinginan saya untuk menjadi wartawan. Namun mendengar beberapa teman yang mengeluh bahwa beberapa berita-berita yang didapat harus sesuai dengan framing tempat dia bekerja membuat saya berpikir ulang. Hal tersebut memang wajar, apalagi wartawan juga memiliki perspektif tersendiri dalam menangkap realitas yang ada (subjective realism). Dulu, saya beranggapan bahwa sastrawan memiliki idealismenya sendiri. Entah ia memotret kehidupan pada zamannya melalui prosa ataupun lari dari zamannya melalui proses, menjadi penyair dan menulis adalah bagian dari diri saya yang tak mungkin dihilangkan. Agak naif jika kejadian akhir-akhir ini menjadi generalisasi tentang apa yang ingin saya menjadi. Namun contoh adalah contoh. Masyarakat merekam itu semua.
Jadi apa saya tetap ingin menjadi seorang jurnalis atau sastrawan? Saya sendiri belum tahu. Setidaknya saya masih punya waktu berpikir hingga saya selesai kuliah. Terlepas keprofesian, saya masih menyukai kedua dunia tersebut.
Comments
Post a Comment