Maraton Film Jepang: Mengenang Masa Lalu


Apa yang biasanya kamu lakukan di waktu luang?

Buat saya waktu luang itu penting. Ia adalah saat saya bisa kabur dari rutinitas dan melakukan yang saya senangi. Biasanya saya habiskan dengan jogging, berenang, baca buku, atau sekadar jalan-jalan. Di sini saya tak bisa menghabiskan waktu luang seleluasa seperti di Bandung. Di Bandung, saya bisa berenang di Sabuga minimal satu kali dalam seminggu sementara di sini, apalagi saat musim dingin, sulit. Serupa dengan jogging. Beberapa kali saya jogging di sini tapi mendekati musim dingin suhunya semakin jatuh dan anginnya bertambah kuat. Saya menyerah mengikuti budaya orang Belanda yang suka lari saat (menjelang) malam hari. Satu-satunya yang menyenangkan di sini adalah perpustakaan kota yang hanya lima menit jalan kaki dari tempat tinggal saya. Tapi walaupun saya ke sana, saya jarang membaca buku kuliah. Saya langsung pergi ke rak barisan filsafat atau sastra. Yang lebih jarang lagi adalah menonton film. Biasanya saya bisa pergi menonton film tiga kali dalam seminggu untuk pergi ke bioskop. Tapi di sini tiket bioskop agak mahal  €9 - €12 yang bikin saya harus puas lihat poster film-film terbaru di studio. Padahal saya seorang moviegoer. Menonton menurut saya sama seperti membaca buku atau mendengarkan lagu. Saya bisa menyelami pemikiran, ide, pengalaman, atau pesan yang tertuang di film tersebut. Baru-baru ini saya menonton beberapa film, bukan di bioskop tapi di kamar. Film-film yang saya tonton berasal dari Jepang. 


-------- 1. Ghost in the Shell (1996) 

Film pertama berjudul Ghost in The Shell (1996). Film ini menceritakan tahun 2029 yang digambarkan sebagai dunia yang serba cyber dan robotik dengan saling keterhubungan/keterikatan dalam jaringan yang memuat hampir semua informasi. Major Motoko, seorang polisi cyborg (manusia buatan), harus menginvestigasi kejadian-kejadian yang membuat panik pemerintah karena berhubungan dengan Puppet Master, yang dituduh sebagai biang keladi. Yang menarik dari film ini adalah perkembangan jiwa seorang robot. Setiap robot diceritakan memiliki dua bagian: the shell dan the ghost. Selama ini the shell atau cangkang adalah tubuh buatan yang mengikuti morfologi manusia yang diciptakan melalui bahan-bahan sintetis, tapi bagaimana the ghost atau jiwa yang dimiliki manusia? apakah bisa ditiru juga? Jawabannya adalah ya! Selamat datang di 2029 saat jiwa bisa dibuat dengan Artificial Intelligent atau Kecerdasan Buatan. 

Movie Poster
Film ini juga menengahkan persoalan dualisme yang diusung Descartes. Realitas menurut Descartes terdiri dari tiga bagian yaitu benda material terbatas (seperti meja, handphone, tas, komputer, televisi, tubuh manusia), benda mental-nonmaterial terbatas (ide, pikiran, jiwa), dan benda mental tak terbatas (tuhan). Pemisahan jiwa dan raga yang disebut dualisme ini menjadi bingkai dalam pengkarakteran film ini. Tapi dalam film ini juga saya menemukan beberapa kritik tentangnya, salah satunya interaksi antara jiwa dan raga. Konflik di film ini sangat terasa, yaitu tentang eksistensi kesadaran sendiri (self-consciousness) dan juga living form yang hadir dari arus informasi atau data. Bagaimana bisa benda material terbatas apalagi buatan manusia, cyber pula, bisa memiliki kesadaran dan bentuk kehidupan tersendiri? Saya jadi ingat buku The Selfish Gene (1976) karya Richard Dawkins yang menceritakan meme satuan unit kultur yang serupa dengan gen. Jika gen yang biologis bisa diturunkan, maka meme yang kultural (ide, pikiran) juga bisa beregenerasi dari satu pikiran ke pikiran lainnya. Film yang didukung oleh sinematografi dari Hisao Shirai ini membuat 82 menit perjalanan di tahun 2029 menjadi sangat cepat.  Film ini saya beri lima bintang di rottentomatoes.


Adegan favorit: Makoto menyelam di sela waktu luangnya

-------- 2. 5 Centimeters per Second (2005) 
Berarlih dari film yang metafisis, saya menonton film yang agak melankolis, 5 Centimeters Per Second (2005) atau dalam bahasa Jepangnya Byôsoku 5 Senchimêtoru. Film ini sudah ada di harddisk saya sejak tahun 2011. Sayangnya saya (sok) sibuk dan melupakan film ini. Sampai saya bersih-bersih harddisk dan menemukan film ini. Saya tonton dan merasa menyesal setelah menontonnya. Kenapa tidak dari dulu saya tonton film ini.


Official Movie Poster
Film ini menceritakan Tono Takaki dan Shinohara Akari sebagai dua sahabat sejak kecil yang mesti dipisahkan karena Akari harus pindah ke kota yang agak jauh. Saat jauh dari masing-masing, keduanya menemukan fakta bahwa mereka saling menyukai dan menyayangi. Namun saat email dan telepon genggam adalah hal yang belum umum (dan telepon antarkota masih mahal tampaknya), apakah saling surat menyurat masih bisa menjaga hubungan mereka?

Plot dan penokohan yang sama-sama kuat diilustrasikan melalui animasi yang super duper indah. Serius, film benar-benar indah. Setiap gambarnya pantas untuk dijadikan lukisan atau wallpaper di komputer. Apalagi jika menonton dengan format blueray/HD, setiap detik akan memunculkan perasaan takjub. Selain itu scoring yang memukau telinga juga menjadi kelebihan film ini. Kita tidak akan dijejali cerita yang membingungkan karena dalam film ini dibagi menjadi tiga babak: Cherry Blossom, Cosmonaut, dan babak yang tak berjudul (saya anggap ini epilog).

Adegan favorit: how far should we go?
Bunga sakura yang berguguran



Menonton film ini, siapapun akan dibawa kembali mengingat masa kecilnya. Kebanyakan orang mengalami cinta monyet saat kecil. Saat kita menemukan sosok pertama yang kita sukai dan sayangi namun harus terpisah karena memang tidak ada kesempatan. Jarak bisa memindahkan sekolah, kota, namun apakah jarak bisa memindahkan hati? Geniusnya (atau kampretnya) Makoto Shinkai mengabungkan unsur Jarak dengan Waktu. Sebenarnya film ini biasa saja karena mengangkat kehidupan sehari-hari yang biasa. Namun justru kehidupan biasa yang diangkat itu membuat orang-orang berpikir 'ceritanya gw banget'. Saya tidak termasuk. Serius. Bener. Kita dibawa melihat perkembangan perasaan Akari dan Takaki dari kecil hingga dewasa dalam 63 menit saja. Film ini tidak menjungkirbalikan emosi kita namun meracuni emosi kita pada saat waktu tertentu kita merasa sesak. Jarak dan waktu yang dimainkan Makoto Shinkai menjadi kombinasi yang mematikan bagi pasangan yang sedang menjalani hubungan jarak jauh aka LDR. Judul 5 Centimeters per Second ini merupakan representasi hubungan manusia yang diambil dari kecepatan kelopak bunga sakura saat gugur/jatuh. Dalam satu bunga terdiri dari beberapa kelopak. Saat belum mekar, kelopak tersebut selalu berdekatan sampai akhirnya gugur dan akhirnya berpisah. Inilah yang menjadi analogi hubungan Takaki dan Akira.

Tidak seperti 500 Days of Summer yang menekankan cerita ketidakpastian dalam hubungan yang baru seumur jagung, film ini menyuguhkan hubungan yang dalam karena terjalin sejak kecil. Film ini menyuguhkan pesan tersendiri bagi saya.


-------- 3. Only Yesterday (1991)
Film selanjutnya adalah film klasik Jepang yang berjudul Omohide Poro Poro atau Only Yesterday dalam bahasa Inggrisnya. Film bergenre drama ini menceritakan seorang wanita bernama Takeo yang bekerja di Tokyo dan belum menikah meski sudah saatnya dia menikah karena sudah berusia 27 tahun. Saat musim panas, ia memutuskan keluar dari tempatnya bekerja untuk membantu para petani memetik safflower sekaligus berlibur di sebuah desa di Yamagata.
Official Movie Poster

Film ini sangatlah sederhana. Baik dari segi animasi maupun plot. Hanya saja yang memukau dari film ini adalah penokohannya. Penokohan Taeko sangat kuat di film ini. Konflik yang terjadi pun hanya berkisar pada diri Taeko dan masa lalunya. Namun saking kuatnya penokohan dan konflik internal, saya diseret melihat masa lalu Taeko dan bagaimana masa lalunya mempengaruhi cara pandangnya mengenai kekinian. Kadang kala sebagai orang dewasa kita masih dihantui oleh masa kecil kita. Inilah yang dialami Taeko. Kemanapun ia pergi, masa kecilnya selalu membuntutinya dekat. Sampai suatu hari ia belajar untuk melepaskan semua masa lalu dan bebannya. Taeko berkutat dengan prinsip-prinsip sewaktu kecil. Selain itu juga ia dihadapkan pada suatu pilihan untuk tinggal di kota atau di desa.

Scene favorit 
Meskipun animasinya sederhana dan gambarnya juga ceria, menurut saya film ini cocoknya untuk dewasa. Cerita yang mendalam pada masa lalu Taeko membuat film ini bukan berkisar pada hal kanak-kanak namun pada proses maturasi dirinya. Anak-anak yang menonton film ini aka mengalami kesulitan untuk memahami menjadi dewasa, sebaliknya orang dewasa akan sangat mudah memahaminya karena memiliki masa kecil. Dalam film ini juga dilukiskan budaya Jepang dalam berkeluarga. Seorang ayah atau kepala rumah tangga memiliki kekuasaan yang absoluti. Hal ini tergambar pada saat Taeko mendapat tawaran akting namun tidak mendapatkan izin dari ayahnya karena ayahnya menganggap akting bukanlah sesuatu hal yang menjanjikan.

Taeko Menyanyi

Taeko menyanyi lagi
Keluarga Taeko cukup mencerminkan gambaran umum keluarga di Jepang yang memiliki sistem hirarki yang sangat ketat. Dalam keluarga, seorang anak juga memiliki tanggung jawab tersendiri walau dalam masa pertumbuhan. Seperti adegan Taeko yang ingin mencicip buah nanas dan membuat sekeluarga penasaran. Namun ketika mereka mencobanya, ternyata nanas tidaklah seenak yang ada dalam ekspektasi mereka. Untuk mempertahankan ekspektasi tersebut, Taeko berusaha memakan nanas tersebut walaupun tidak enak. Dari adegan-adegan sederhana inilah saya berpendapat bahwa tidak semua keluarga harus hangat dalam menunjukan kasih sayangnya.

Selain itu gambar pedesaan di Jepang sangat membuat saya ingin pergi ke Jepang khususnya Yamagata. Kadang saya suka pusing dan penat tinggal di kota yang banyak sekali gedung pencakar langitnya. Saya lebih suka berkunjung ke hutan asli dibandingkan hutan beton.

Yamagata
Hal lain yang saya suka adalah lagu dan scoring dalam film ini. Di akhir film ini saya menemukan satu buah lagu yang sangat dalam sekali liriknya. Membuat saya berpikir ternyata orang Jepang memang pandai membuat lirik yang puitis. Judul lagunya adalah Ai Wa Hana, Kimi Wa Sono Shushi (Love is A Flower, You're the Seed).


Some say love, it's a river
that drowns the tender reed
Some say love, it's a razor
that leaves the soul to bleed
Some say love, it's a hunger,
and endless, aching need
I say love, it's a flower
and you, its only seed

 Lagu tersebut sukses bikin saya gak tidur semalaman.


Itu tiga film animasi Jepang yang saya tonton semalaman. Ternyata selain kompleks, orang Jepang juga bisa menjadi sangat puitis. Dan kisah yang mereka tulis tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Hal yang sederhana bisa dimaknai dengan dalam oleh orang Jepang. Ini yang membuat saya jatuh cinta pada budaya pop Jepang. Saya jadi teringat pada salah satu sastrawan Jepang yang bernama Ryunosuke Akutagawa yang menjadi sastrawan Jepang pertama yang novel dan cerpennya saya baca. Semenjak dari situ saya menyimpan perhatian khusus pada sastra dan budaya Jepang.

Comments