Tersesat di Paris (1)

Berada di Eropa adalah sebuah mimpi untuk anak kampung seperti saya. Mimpi yang dirajut oleh konstruksi tentang negeri-negeri yang sama sekali berbeda itu hanya terangkum melalui film-film seperti Paris Je t'aime, Run Lola Run, The Baader Meinhof Complex, Amelie, Amour, Before Sunset, The Diving Bell and Butterfly, When in Rome, dan semacamnya yang kebanyakan berlatar di Perancis. Ditambah waktu kuliah sarjana dulu, ada mata kuliah khusus yang saya ambil: HI Eropa dan ekskursi bahasa Perancis di luar kampus. Selain itu, saya tertarik dengan para pemikir dan penulis dari Perancis. Sebut saja Descartes, Rodin, Sartre, dan Beauvoir. Jadilah saya seorang francophille. Otomatis Perancis adalah negara Eropa yang ingin paling saya kunjungi.

Dengan adanya kesempatan studi di Belanda, saya mencoba backpack ke Paris dengan titik awal keberangkatan dari Amsterdam. Sebelumnya saya sudah booking hotel di www.hostelbookers.com dan tiket megabus di www.megabus.uk. Kedua websites ini merupakan penyedia akomodasi yang paling murah yang saya temukan. Megabus adalah penyedia bus yang paling murah. Dengan tiket seharga £12, saya sudah bisa berangkat ke Paris dalam enam jam. Padahal jika menggunakan kereta langsung dari stasiun hanya memakan waktu tiga jam dengan tarif yang lebih mahal. Kami memutuskan untuk mengambil keberangkatan pukul 23.00. Megabus ini hanya memiliki dua jadwal keberangkatan Amsterdam - Paris dalam sehari. Sedangkan untuk hostelbookers.com, banyak sekali hostel dan juga apartemen yang murah di sekitar Paris. Teman saya menemukan sebuah apartemen dengan dapur seharga €23/hari. Saya memilih apartemen karena lebih hemat saat pergi bergerombol. Saya juga dapat menghemat pengeluaran dengan masak sendiri. Perlu diingat bahwa pembayaran hostelbookers dan Megabus akan lebih mudah jika menggunakan kartu kredit. 

Rencana saya untuk pergi ke Paris ini ternyata mendapat respon yang lumayan bagus dari teman-teman kampus saya. Setelah pergantian personil siapa yang ikut dan siapa yang tidak, ada 12 orang yang memutuskan backpack dengan saya. Semuanya orang Indonesia. Hal ini justru lebih menyenangkan untuk saya. Perjalanan akan menjadi lebih mudah dan menyenangkan jika kita bepergian bersama teman setanah air. Satu lagi, biaya perjalanan pun akan menjadi jauh lebih murah jika dibagi oleh banyak orang. Tanggung jawabpun menjadi lebih merata. Satu orang bertugas masak, satu mengurusi hotel, satu mengurusi tiket, dan satu mengurusi itinerary. 

Setelah semua urusan booking selesai, Rabu siang kami kumpul di Amsterdam. Sebelumnya kami jalan-jalan di sana untuk membeli bekal, atau sekadar mengunjungi toko-toko di sekitar. Saya sendiri penasaran masuk ke dalam Sex Museum dekat Stasiun Amsterdam Centraal. Teman-teman yang lain agak terkejut saya masuk ke museum tersebut. Tanpa susah payah menjelaskan saya hanya menjawab penasaran. Sebenarnya selain penasaran, saya ingin tahu bagaimana sejarah membentuk kontruksi seksualitas di Eropa ini. Ini bukan zaman ratu Victoria, yang mengekang para libertad. Dan lagi, saat kuliah sarjana, ada mata kuliah yang benar-benar wajib diikuti: Gender dan Seksualitas dan membuat saya penasaran dan tertarik dengan seksualitas. Pada akhirnya, saya masuk ke museum ini (Bakal ada di postingan berikutnya).

Pukul 20.00 saya bergegas menuju tempat pertemuan dekat hotel Krasnapolsky. Beberapa menit menunggu teman-teman yang lain, kami pun berangkat menuju port keberangkatan Megabus yang berada di Zeeburg P&R Coach Park di Zuiderzeeweg. Karena saya (dan kawan-kawan) melihat lokasi coach park ini hanya berada 3 Km dari stasiun, kami memutuskan jalan kaki. Setelah 30 menit jalan, kami tidak menemukan lokasi tersebut. Setelah tanya sana-sini dan juga mengandalkan google maps, kamipun mengetahui kenyataan bahwa lokasi Megabus tersebut berjarak 8 Km dari stasiun. Karena yang ada hanya jalan ke depan, kami menempuh jarak 8 Km dengan sukarela (mungkin beberapa ada yang terpaksa). Saya haturkan kekaguman saya kepada teman-teman senior dalam perjalanan kaki ini. Walaupun mengeluh capek dan membawa ransel yang sangat berat. Hal ini berkat google maps dan juga keberanian kami dalam bertanya sana-sini. Jika teman-teman tidak suka jalan, lebih baik menggunakan bis. Cukup merogoh kocek 2 Euro dapat menghemat energi yang dikeluarkan selama 2 jam, sejauh 8 Km. Namun, saya menemukan hal unik pada orang-orang Indonesia alias kawan-kawan saya ini. Saya pikir mereka pasti akan menolak jika mereka tahu bahwa jarak antara stasiun dan coach park ini ternyata 8 Km. Karena 8 Km dicicil menjadi beberapa tahap mereka tidak ngeh kalau mereka sudah berjalan sejauh itu.

A: "Berapa jarak dari sini ke kandang Megabus?"
P: "Cuma 3 Km."

---setelah jalan 3 Km-----

B: "Dip, kok belum nyampe?"
P: "Itu, satu kilo lagi."

---setelah jalan 4 Km-----

C: "Gimana tadi tanya orang? Berapa jauh lagi?"
P: "Katanya sekilo lagi."

-----Setelah jalan 5 Km dan energi mulai terkuras-----

D: "Dip, kok kagak nyampe-nyampe?"
P: "Jalan 30 menit lagi pasti nyampe."
A, B, C, D, dll: "serius!!!!"

-----Setelah jalan 7 Km dan harapan sudah mulai pupus-----

P: "Udah deket kok. Tuh lihat, bisnya!!"


Tekad untuk mengejar keberangkatan bis yang pukul 23.00 ini ternyata bisa menjadi bensin bagi kami untuk menggerakan kaki di tengah malam yang sudah larut dan juga dingin. Kami tiba di Zeeburg P&R Coach Park di Zuiderzeeweg pukul 22.00 lewat sedikit. Ternyata P&R Coach Park ini adalah taman untuk parkir bis dan mobil (Park & Ride). Banyak bis dan mobil yang berjajar entah itu menunggu penumpang ataupun hanya sekadar parkir. Letak Coach Park ini berdekatan dengan tempat kemping dan juga aktivitas outdoor. Hati-hati jika ada yang kebelet ke toilet. Karena toilet umum yang ada di sana sering kali tutup pada malam hari. Jangan bayangkan pool Megabus seperti pool travel Cipaganti atau X-Trans yang dilengkapi sofa, kafetaria, dan juga mushola plus toilet. P&R Coach Park benar-benar taman yang luas. Pilihan saya hanya dua saat itu: menahan sampai bis berangkat atau pipis di semak-semak. Akhirnya saya memilih yang paling logis dan nyaman. Kami harus menunggu di taman terbuka yang dingin. Karena kedinginan dan juga kelaparan, kami membuka bekal yang telah kami siapkan sebelumnya sambil menunggu keberangkatan.

Pukul 23.00 sopir Megabus mendekati para penumpang yang sedang duduk-duduk kedinginan. Ia berteriak dengan aksen Britishnya, "Tujuan Brussels dan Paris, merapat sini!" Saya dan beberapa teman sempat nyengir karena sopirnya mirip Hagrid di film Harry Potter. "Hagrid, take us to Paris, would ya?" bisik saya sambil ketawa. Kayaknya sih dia denger. Soalnya abis itu saya disuruh simpan tas di bagasi. Padahal ukuran tas saya tidak terlalu besar, hanya tas dailypack biasa. Hagridpun memeriksa tiket online yang sudah diprint dan mempersilakan kami menaiki Buckbeak, Megabus. Di dalam, interior busnya tidak terlalu mewah namun juga tidak jelek. Sangat standar dan ergonomis. Kami harus menunggu setengah jam karena ada penumpang yang datangnya telat. Saat dia datang, semua penumpang langsung lempar tomat, dia meminta maaf karena telat dan akhirnya perjalanan pun dimulai.

Enam jam tidak terasa di dalam bus karena pukul 05.30 saya sudah tiba di P+R Porte Maillot Paris. Perjalanan tidak terasa karena dilakukan malam hari dan untung karena saya tukang tidur. Saya hanya bangun saat transit di Brussels setelah itu tidur lagi. Sebelum turun dari bus, pastikan sudah berkunjung ke toilet yang ada di bus. Ini yang paling penting. Karena lima menit saya turun dari bis dan menjauhinya, sesaat itu pula busnya sudah hilang. Jangan..jangan?? Ya karena harus kejar setoran. Jadi saya harus menahan ritual pagi-pagi itu. Di sana saya ketemu teman sekelas saya dari Kolombia yang baru akan pulang. Dia bilang di Porte Maillot tidak ada toilet. Memang benar apa yang dia bilang. Karena Porte Maillot suasananya serupa dengan Zeeburg P&R Coach Park. Toiletless.

Kami memutuskan untuk mencari toilet terdekat terlebih dahulu. Eforia Paris mesti tertunda karena persoalan ini. Saya menemukan subway atau yang lebih akrab dengan sebutan Metro dekat Porte Maillot. Masuk ke stasiun bawah tanah, loket masih tutup. Dan kami tidak menemukan toilet sama sekali. Ada teman dalam rombongan yang pernah ke Paris tapi dia juga lupa seluk beluk Paris. Sambil menyadarkan diri di sana -beberapa foto map Paris dan Subway, beberapa cari makan-minum- saya mencari toilet. Karena untuk masuk ke dalam stasiun harus menggunakan karcis, saya harus berpikir dahulu. Karena sebelumnya saya baca di http://www.ratp.fr/ (berguna untuk memahami sistem transportasi di Paris, map juga tersedia) bahwa harga tiketnya bervariasi dan paling murah €1.7 untuk zona tertentu dalam satu hari. Sayang jika menggunakan tiket hanya untuk mampir ke toilet. Saat saya sedang berpikir keras untuk beli tiket 'toilet' atau tidak, tiba-tiba beberapa orang berkulit hitam melompati mesin tiket. Beberapa temannya malah masuk melalui pintu keluar. Saya bengong. Di saat saya bengong, ada orang Cina yang menggunakan satu tiket untuk dua orang. Mereka masuk berdempetan. Di saat saya sedang bengong, tiba-tiba seorang teman saya sudah berada di dalam. Dia masuk melalui pintu keluar. "Dip, mau cari toilet kagak?"

Dengan mengumpulkan keberanian, saya masuk melalui pintu keluar. Mudah-mudah tidak terekam CCTV dan tidak dilaporkan ke kedutaan RI. Saya mengajak teman lain yang ingin pergi ke toilet. Di dalam stasiun metro memang serupa dengan kereta bawah tanah yang selalui dipotret di film-film dengan setting kota besar. Lorong agak gelap yang panjang dan juga mencekam. Mungkin karena asing jadi persepsinya didramatisasi. Tapi setelah 15 menit muter-muter lorong subway (sempat nongkrong lihat kereta bawah tanahnya dulu), ternyata tidak ada toilet di dalam stasiun! GAWAT!! Untuk memastikan, saya tanya seorang bapak dengan bahasa Perancis.

P: "Pak, di sini ada toilet gak sih?"
Bapak: "Kagak ada di sini mah."
P: "Terus adanya di mana?"
Bapak: "Di kafe-kafe."
P: "Tengs, Pak."
Bapak: "Yoi"

Ternyata setipe dengan Amsterdam. Gak ada toilet umum kecuali di stasiun besar atau kafe-kafe. Nasib berarti harus menahan ritual pagi-pagi. Kamipun balik lagi ke depan loket stasiun di mana teman-teman kami menunggu. Tujuan pertama kami adalah Arc de Triomphe yang ada di Charles de Gaulle Étoile. Kalau di peta, tinggal lurus dari Porte Maillot. Tapi kenyataannya banyak jalan bercabang dan papan nama jalannya sulit ditemukan. Google maps tidak bisa diandalkan karena roaming. Teman saya berinisiatif bertanya pada seorang warga menggunakan bahasa Inggris:

A: "Pak, tau Charles de Gaulle Étoile gak?"
Bapak: "Maaf, gak tau." -- Sambil melengos dan buru-buru pergi.

Semua jadi panik. Teman-temanpun mendorong saya untuk bertanya kepada warga menggunakan bahasa Perancis. Salah seorang teman malah mencegat warga sambil berkata, "Dip tanya dia aja! Cepet!" Otomatis warga tersebut kaget dan merasa terancam, akhirnya saya buru-buru ngomong:

P: "Maaf mas, mau tanya. kalo jalan ke Arc de Triomphe lewat mana ya?"
Mas: "Maksud lo, Charles de Gaulle Étoile."
P: "Iya, itu!"
Mas:" Lu lihat gedung tinggi yang ada lampu warna merah itu? Dari situ jalan terus aja."
P: "Jauh gak?"
Mas: "Ya, lumayan lah. Satu kilo."
P: "Oh deket itu mah. Thanks bgt mas."
Mas: "Sama-sama."

Berangkatlah kami menuju Arc de Triomphe. Beberapa meter kami melewati jalan bawah tanah yang bau pesing, kami menemukan taman. Di sana kami memutuskan untuk sholat subuh terlebih dahulu. Termasuk cuci muka dan gosok gigi. Tamannya besar dan untungnya gelap. Sayapun dihadapkan pada pilihan yang sulit lagi. Pipis di semak-semak atau tahan sampai menemukan toilet yang entah kapan. Setelah bersih-bersih dan berdoa agar tidak dilaporkan warga, kami melanjutkan perjalanan. Sepuluh menit berjalan, saya tiba di destinasi pertama: Charles de Gaulle Étoile.


Tempat ini merupakan salah satu tempat historis di Paris. Wajib dikunjungi bagi saya karena monumen ini dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte. Arc de Triomphe sendiri berarti Gerbang Kemenangan. Sesuai namanya, monumen ini sebagai simbol kemenangan tentara Perancis yang kala itu dipimpin Napoleon melawan tentara Austria. Kalau baca di wikipedia, tempat ini juga jadi tempat untuk mengenang tentara yang gugur. Karena itu banyak karangan bunga di simpan di sekitarnya pada hari-hari tertentu. Sayang hari itu saya tidak melihat karangan bunga apapun. Setelah selesai foto-foto dan istirahat, kami lanjut menuju destinasi kedua: Menara Eiffel. Sebenarnya Arc de Triumph ini dekat dengan kawasan Champs Elysees yang terkenal dengan toko-toko modis dan trendi. Tapi karena saya gak punya ketertarikan sama fashion, saya melewatkan jalan-jalan di sana. Selain itu, saya juga yakin kalau toko semacam Louis Vitton di Jakarta lebih besar daripada di sana.

Jalan lima belas menit dari Arc de Triumph melalui Trocadero dan Passy, menara Eiffel sudah terjangkau oleh jarak pandang.

Saat melewati jalan Trocadero, saya sempat melihat beberapa pengemis. Saya duga sih migran dari Aljazair atau Timur Tengah. Mereka duduk di kursi kecil dan menyodorkan kaleng atau tangannya. Saya juga sempat melihat seorang ibu yang mengepak barang bawaannya di trotoar. Ternyata semalam dia tidur di sana. Selain itu saya berpapasan dengan beberapa wanita muda yang menggeret koper. Pemandangan yang tampaknya sudah biasa. Sambil mengamati sekeliling, saya tiba di ujung jalan Trocadero dan Passy. Simpang lima di mana saya bisa melihat menara Eiffel dari atas jalanan.

Dari jalanan, ada beberapa orang yang menawarkan suvenir gantungan kunci dan replika menara Eiffel. Mereka mendekati dan menyapa dalam bahasa Indonesia. Dan menyapa kita dengan nama-nama yang umum semisal Ahmed atau Anto. Ya, trik lama. Tapi yang menggiurkan adalah harga yang bisa kita tawar. Misalnya lima gantungan kunci yang dihargai €1. Kita bisa menawar lebih murah lagi terlebih jika membeli banyak. Namun mesti berhati-hati dalam bertransaksi karena mereka sering main kucing-kucingan dengan polisi. Iya, mereka penjual ilegal. Makanya saya tidak berani membeli barang yang terbilang mahal saat mereka menawarkan jam tangan murah tapi bermerek asli. Belum tentu asli juga. Tapi teman saya mendapatkan untung karena hal ini. Saat bertransaksi, ada polisi yang mendekati. Kemudian penjual tersebut lari tanpa sempat mengambil barang yang sudah ada di tangan teman saya. Sedangkan teman saya belum membayar barang tersebut. Karena polisi yang patroli semakin banyak dan intens, para penjual enggan mendekati. Akhirnya teman saya mendapatkan gratis!


Saya tak henti mengucap syukur bisa melihat menara Eiffel. Karena apa yang saya alami sebelumnya baik dan buruk, senang dan sedih, pertemuan dan perpisahan, telah membawa langkah saya ke sini. Saya tidak pernah menuntut orang tua untuk mendukung saya pergi ke sini. Saya juga tidak pernah menuntut Tuhan agar saya bisa ke sini. Saya hanya berdoa dan berharap jika memang saya memang digariskan untuk bisa pergi ke Paris, saya akan berusaha. Ya, saya terus berusaha. Mengingat setahun sebelum lulus, saya mencoba mengirim surat korespondensi dengan profesor dan dosen di Paris. Meminta surat rekomendasi dan LOA. Saya pernah mendapat salah satunya. Mendapat keduanya juga pernah namun tidak mendapatkan beasiswa penuh. Meski mendapat beasiswa tuition fee saja atau biaya hidup saja, tetap sulit untuk memenuhi komponen salah satunya yang membutuhkan biaya banyak. Akhirnya saya membulatkan tekad untuk mencari beasiswa penuh. Oh ya, kalau mau berkoresponden dengan profesor di Perancis lebih baik menggunakan bahasa Perancis karena mereka sangat menghargai orang asing yang menggunakan bahasa Perancis. Tiga puluh menit sudah saya habiskan untuk berkontemplasi sambil melihat menara Eiffel yang masih ditutupi kabut. Saya berharap bisa kembali melihat menara Eiffel ini dengan orang yang saya sayangi. Saya masih ingat dari film Paris, Je t'aime bahwa Paris is city of romance. Kalau kita menghabiskan wktu di kota ini sendiri, alangkah ruginya :)


Beres foto dan kontemplasi, kami akan piknik di taman di depan menara Eiffel. Dalam foto di atas, kita tinggal menuruni beberapa tangga. Saya bersama beberapa kawab duduk di sebuah bangku tamn sambil menyantap bekal kami. Sesekali ada penjual suvenir yang bersikeras menawarkan dagangannya. Cuaca hari itu juga agak mendung. Sangat syahdu untuk menikmati suasana di taman. Tiba-tiba beberapa perempuan mendekati saya. Mereka membawa surat dan dengan bahasa Inggris yang pas-pasan berkata bahwa surat itu adalah sebuah petisi. Mereka meminta saya dan teman-teman untuk menandatangani. Saya sudah tahu gelagat mereka. Saya lihat isi petisinya untuk orang-orang homeless dan tunanetra-tunarungu.

M: "Mas. Kami minta dukungannya untuk petisi sosial."
P: "Petisi sosial apaan?"
M: "Ya untuk kegiatan sosial. Mas cuma harus tandatangan doang untuk memberikan dukungan."
P: "Bener, tanda tangan doang?"
M: "Iya."


Sebelumnya, saya sudah mencari tahu seluk beluk kota Paris di Internet dan mendapatkan informasi dari berbagai blog untuk berhati-hati terhadap penipuan semacam itu. Saya juga sudah memperingati kawan-kawan saya mengenai hal ini. Karena setelah menandatangani petisi tersebut kita dipaksa untuk menyumbangkan sejumlah uang. Kenapa saya bilang ini penipuan? Pertama, petisi itu berupa dukungan persetujuan terhadap satu aksi. Tanda tangan saja sudah cukup. Kedua, jika memang membutuhkan dana, mereka seharusnya bilang dari awal bahwa ini adalah sumbangan. Sayangnya satu teman saya, entah simpati atau khilaf, membubuhkan tanda tangan. Setelah itu dia dipaksa untuk menyumbang. Dia bilang ogah tapi si perempuan tetap minta. Karena kesal teman saya memberi alakadarnya. Yang mengejutkan, si perempuan tadi memaksa lagi. Dia bilang minimal sumbangan € 10. Buset. Akhirnya dengan kekuatan Indonesia bersatu kami berduabelas mendekati perempuan yang sedang memaksa teman saya itu. Melihat kami bergerombol, dia bergegas pergi sambil menggerutu.

Saya berpikir. Uang 10 bagi mahasiswa seperti kami sangatlah berarti. Dengan jumlah tersebut, kami bisa membeli 30 butir telur, 1 kg Ayam, dan 5 kg beras. Teman saya yang memberi secara sukarela juga akhirnya menggerutu. Tapi ya semoga saja dia ikhlas dan rezekinya ditambahkan. Insiden menyebalkan tersebut tidak membuat mood kami rusak. Kami lanjut mendekati menara Eiffel. Di dekat menara Eiffel, beberapa teman saya membeli oleh-oleh. Menurut saya harganya agak mahal. Jelas karena lokasinya strategis di daerah wisatawan. Selagi teman-teman membeli oleh-oleh. Saya mengantri untuk membeli tiket masuk ke dalam menara Eiffel. Antrian pag-pagi tidak begitu panjang, sebaiknya datang sebelum jam 11 siang. Tiket untuk masuk dan naik ke menara Eiffel terbagi dua. Yang pertama €9 hanya sampai level satu menara Eiffel. Yang kedua €12 sampai level kedua. Hal yang harus diperhatikan saat memutuskan naik atau tidak adalah cuaca. Karena saat itu cuaca sedang tidak begitu cerah, pemandangan dari menara Eiffelpun tidak begitu jelas dan indah. Selesai menara Eiffel, kami lanjut menuju destinasi ketiga: museum Louvre. Sebelumnya, saya melakukan ritual dulu di toilet dekat menara Eiffel. Mengingat susah sekali menemukan toilet umum, saya ajak badan saya bekerja sama untuk membuang muatan-muatan yang tidak perlu di sana.


Beres urusan di toilet. Ada perubahan. Kami harus segera check-in di hostel tempat kami akan menginap. Ternyata teman saya keliru melihat lokasi. Chelles, hostel yang saya book, ternyata berada di paling tenggara kota Paris. Dekat metro terakhir di rute E yaitu Chlles Gournay. Jalan tidak memungkinkan karena jarak dari Eiffel ke Chelles sekitar 30 Km. Maasalahnya kami tidak familiar dengan sistem metro di Paris. Biasanya turis yang jalan-jalan di pusat kota Paris hanya memerulkan tiket t+ yang berlaku untuk zona 1-3 karena jarak yang ditempuh berdekatan. Harga tiket t+ 1.7 per lembar namun menjadi €13.3 untuk satu carnet (baca: karnaey) yang isinya 10 lembar. Sedangkan untuk pergi ke daerah yang agak jauh, diperlukan tiket RER yang harganya tergantung jarak atau zona. Chelles berada di zona 4 oleh karena itu kami harus membeli tiket zona 3-5 seharga €4.47. Hal ini kami ketahui nanti. Di stasiun dekat menara Eiffel, saya membeli tiket 13 tiket t+ (1 Carnet, 3 single). Awalnya saya tidak tahu bahwa Chelles harus ditempuh dengan tiket yang berbeda karena berada di zona 4. Setelah membeli dari loket, kami berangkat ke Chelles. Kami harus ganti kereta di dua stasiun untuk mencapai Chelles. Saya tidak terlalu suka kereta bawah tanah. Pengap dan panas. Dibandingkan sistem kereta di Belanda, Perancis kalah dari segi kebersihan dan keteraturan. Sedangkan dari segi cakupan area, Perancis jauh di atas Belanda. Hanya saja, sama seperti kota-kota besar lainnya, di stasiun Paris dapat kita temukan banyak orang mabuk di pagi-malam hari. Meminta-minta. Atau jualan mainan. Dan jangan sangka di dalam kereta tidak ada pengamen. Nyatanya ada walaupun lebih elegan dan juga merdu suaranya dibandingkan pengamen di Indonesia. Itulah mengapa mereka menyebut diri mereka sendiri seniman jalanan.

Sampai di stasiun Chelles de Gournay, kami agak cemas karena takut turun di stasiun yang salah. Setelah memastikan benar, kamipun lega. Namun tidak lama, masalah lainnya muncul. Di setiap stasiun, entah itu mau masuk atau keluar atau ganti zona, kita harus memasukan tiket yang kita beli sehingga palang pintu tiket otomatis terbuka. Nah, di stasiun ini mesin tidak mau menerima tiket kami. Beberapa kali terdengar bunyi TEEEEEEt saat kami memasukan tiket ke dalam mesin. Kami pikir mesinnya yang rusak, tapi kami melihat orang-orang memasukan tiket dan palangnya terbuka secara otomatis. Kami mulai panik. Karena tidak seperti di stasiun-stasiun sebelumnya, stasiun Chelles de Gournay ini tampak teratur, bersih, dan dijaga oleh satpam stasiun. Agak sulit jika kami ingin berbuat 'kreatif'. Saya berpikir dan mengatakan pada teman-teman bahwa ini pasti karena tiket kita tidak mengakomodasi sampai Chelles. Tadinya saya ingin bertanya pada satpam yang melewati kami tapi saya ragu karena tidak tahu alasannya. Tapi karena terdesak keadaan, saya akhirnya kejar satpam tadi. Waktu saya mau mengejar satpam tadi, ternyata seorang teman sudah memanggil petugas di loket dengan mengetuk pintu loket tersebut. Muka petugas tersebut agak terganggu dan marah. Saya berlari ke arahnya, dan cepat berkata:

P: "Maaf mengganggu pak. Saya mengalami masalah kecil."
Bapak: "Masalah apa?"
P: "Begini, saya dan teman-teman tidak bisa menggunakan kartu ini untuk keluar stasiun."
Bapak:"Coba lihat kartunya. Hmm. Kamu abis dari pusat kota ya?"
P: "Iya Pak."
Bapak: "Tiket ini gak bisa dipakai sampai Chelles. Kamu harus membeli tiket lagi untuk sampai sini."
P: "Oh gitu. Saya tidak tahu. Jadi tiketnya beda-beda ya pak?" --Pura-pura polos dan (beneran) gak tau
Bapak: "Iya. Kamu dari mana?"
P: "saya warga negara Indonesia tapi tinggal di Belanda pak."
Bapak: "saya kir kamu orang Spanyol. Banyak yang ngaku Spanyol dan gak tau masalah ini."

----mungkin si bapak curiga kalo saya -nurutin orang Spanyol itu- pura-pura gak tahu. Wuih, kudu lebih kreatif nih-----

P: "Yaaaah pak, jadi saya harus balik lagi ke pusat kota untuk beli tiket lagi yang ke sini pak?"
Bapak: "Harusnya sih gitu. Ada berapa orang kamu sama teman-teman kamu?"
P: "Sama saya jadi 13 orang pak."
Bapak: "Waddduhh.. Yaudah, kali ini saya izinkan kamu dan teman-teman kamu lewat. Tapi lain kali jangan lagi ya."
P: "wah makasih banyak pak."

Teman-teman saya langsung ngikutin saya ngomong mersi boku monsyeur...Dan melelahkan juga sih ngomong dan mendengarkan bahasa Perancis sepanjang itu. Tapi kalau gak pake bahasa Perancis malah dibuat susah. Teman saya sudah coba tanya pake bahasa Inggris tapi malah dicuekin.

Kata adik saya sih, warga Perancis bangga sama bahasanya dan ogah pake bahasa Inggris karena dulu mereka pernah hampir dijajah Inggris. Yah, yang penting bisa keluar.

Berhasil keluar dari stasiun kami langsung menuju hostel karena sudah kelelahan. Jalan 15 menit lagi benar-benar menguras enegri kami. Sesampainya di hostel, kami tidak bisa masuk. karena respsionis berada di dalam gedung jauh dari pintu masuk. Sedangkan untuk masuk, kita harus memiliki kartu akses. Jadi gedung hostel yang kami tinggali ini seperti semi apartemen yang disewakan lebih murah jika menginap dalam waktu yang lama. Satu lagi, resepsionisnya cuma stand by sampai jam 5 sore. Itu alasan kami harus buru-buru check-in. Sebetulnya saya sudah menyarankan hotel lain yang lebih dekat di pusat kota namun teman saya keukeuh bahwa hostel ini dekat pusat kota. Untuk hal teknis semacam ini, tidak ada yang tahu. Saya sempat baca sekilas tentang review hostel ini. Jadi saya bisa menduga-duga apa yang harus saya lakukan. Akhirnya saya bertanya pada seorang lelaki tua yang tampaknya penghuni lama di sana dan menjelaskan situasi kami. Dia baik karena mau mengantarkan saya ke resepsionis sementara teman-teman saya menunggu di luar. Resepsionisnya sangat baik. Karena urusan hotel, teman saya yang ngurus, saya bilang ke resepsionisnya kalau teman saya gak bisa bahasa Perancis. Dan dia langsung mengerti dan ganti menggunakan bahasa Inggris. Sebenarnya kalau ngobrol pake bahasa Perancis bahas hal-hal yang ringan dan santai sih menyenangkan tapi kalo situasi mendesak terus suka capek. Tapi untung juga bisa bahasa Perancis dikit-dikit walau salah sini salah sana, ternyata berguna banget.

Ya, karena capek akhirnya dari sore sampai malam saya tidur nyenyak diselingi bathtub malam hari membuat saya tidur lebih nyenyak. Untung kamarnya bagus kalau gak....ya gak bakal gimana-gimana juga sih, Udah untung bisa tidur.

Review saya tentang hostel ini bisa dilihat di sini.


What a first day in Paris :)

Bersambung

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. ceritanya seru dan agak agak "kreatif" juga hha :D

    ReplyDelete

Post a Comment