Fragmen ini didedikasikan oleh sahabat dan keluarga HI Unpad 07 tercinta, Khairunnisa
(3 April 1989-20 Januari 2014) yang telah berpulang ke sisi-Nya.
(3 April 1989-20 Januari 2014) yang telah berpulang ke sisi-Nya.
Cahayanya akan selalu membara dalam hati kami. Ia tidak akan terlupa.
Fragmen 8.
Gelap gulita.
Malam yang sudah sepi diisi oleh
suara napasku yang terengah-engah. Tak hanya itu, aku juga bisa mendengar detak
jantung yang berdebar kencang dan deru aliran darah yang memacu dahsyat melalui denyut-denyut
nadi. Tubuhku basah oleh keringat. Airmataku mengalir menyatu dengan air yang
keluar dari hidung. Ada perasaan sesak yang
menghimpit dada. Yang jelas ini bukan karena penghangat ruangan yang aku atur ke level medium.
Aku hanya terbangun dari mimpi buruk.
Aku mencoba tenang. Dalam keadaan
seperti ini, tubuh seperti memiliki pikirannya sendiri. Kaki tak bisa diajak
kompromi untuk sekedar bangkit dari kasur dan meraih sakelar lampu. Ia gemetar
seolah telah berjalan jauh dan lama. Aku mengumpulkan tenaga untuk meraih guling yang dari tadi tidak aku
sentuh sama sekali, kemudian memeluknya erat, menumpahkan semua air mata, ketakutan, dan juga kegelisahan
ini.
Airmata yang ku tak tahu penyebabnya. Ketakutan yang entah menyelip dari
mana. Kegelisahan yang tak jelas alasannya. Mereka semua menjelma nyata dalam
mimpiku. Aku gagal menenangkan diriku sendiri.
Biasanya jika aku sudah total beremosi, aku akan tenang dengan sendirinya. Seperti roller coaster yang memuncak dan
bergerak turun perlahan hingga akhirnya berhenti. Bagiku waktu adalah variabel yang
sangat menentukan untuk mencapai masa reda setelah krisis. Sudah tentu terbit terang sehabis gelap, begitu pula sebaliknya. Bukankah hidup ini semacam siklus ada dan tiada.
Setelah sesenggukan dan air mata ini kering, kakiku mendapat kekuatan kembali untuk menopang tubuh lunglai ini untuk mencapai sakelar. Aku lepaskan guling untuk sementara. Hanya sementara.
Setelah sesenggukan dan air mata ini kering, kakiku mendapat kekuatan kembali untuk menopang tubuh lunglai ini untuk mencapai sakelar. Aku lepaskan guling untuk sementara. Hanya sementara.
Terbangun dengan perasaan asing seperti
ini bukanlah yang perdana bagiku. Beberapa bulan lalu aku sempat terbangun malam hari
karena mimpi buruk. Sebenarnya bukan mimpi buruk seperti kematian, monster,
hutang, gagal lulus, atau kehilangan seperti kebanyakan orang sering alami.
Hanya sebuah mimpi yang tidak aku kenal berujung pada letupan emosi di saat jiwa dan raga butuh beristirahat di
malam hari. Dalam mimpi itu aku memandangi seseorang yang tidak aku kenal dengan
cahaya warna-warni silih berganti dan berpendar-pendar menghujani kami. Tidak
ada dialog. Tidak ada gerakan. Kami saling memandang. Entah hanya aku yang
memandang. Aku seperti melihat sebuah lukisan abstrak dalam sosoknya. Aku tidak mengenal siapa orang yang ada di dalam mimpi itu. Mimpi itu selalu sama.
Mungkin kamu juga pernah mengalaminya, terbangun dan menangis karena mimpi yang tak begitu jelas untuk dimengerti dan diingat yang mengucurkan kegelisahan di tiap air matamu.
Awalnya terbangun dari mimpi tersebut
tidak mengganggu dan tidak menakutkan tapi beberapa minggu ke belakang
frekuensi hadirnya mimpi itu semakin tinggi dan efek yang ditimbulkan semakin
menakutkan. Pernah saat Cécile –wanita yang sedang ku dekati – meranjang di kamarku, aku tiba-tiba terbangun
karena mimpi itu dan kencing di celana saat terbangun. Tanpa meninggalkan kata
apapun, ia meninggalkanku.
Mimpi ini sudah kelewat batas karena telah merusak hubungan personalku, jelas
mimpi ini sangat mengganggu. Ku kira ia hanya manifestasi kegelisahan dan
kekecewaanku akan penelitian yang sedang aku kerjakan. Sudah empat tahun
disertasiku tidak ada perkembangan yang signifikan, sekali-kali kencing di
celana mungkin bisa aku maklumi. Pemakulman yang aku sesali di kemudian hari. Namun sampai mengganggu hubungan aku dengan orang lain, sungguh keterlaluan!
Pemakluman itu ternyata memang berbuah pahit. Mimpi itu menjadi lebih sering menjamahku. Aku
terbangun dengan keringat dingin, keringat panas, air mata, ingus dan liur. Pusing dan paralyzed. Bahkan
aku pernah terbangun dengan cairan kental sudah mengering di dalam celana dalamku. Mimpi absurd
yang membuatku orgasme. Betapa hebatnya mimpi itu.
Kini keadaanku sudah tenang setelah
mandi air hangat. Aku hisap rokok dalam-dalam sambil memandangi sisa-sisa salju
yang sudah mencair. Aku buka sedikit jendela kamar agar udara dingin bisa
bergumul dengan asap rokok yang kukepulkan. Beberapa orang terdengar berteriak
dari pinggir jalan sambil membawa botol bir. Lampu kerlap kerlip menghiasi
pohon-pohon kering yang berdiri di pinggir jalan. Dingin merembes ke dalam
pori-pori, aku ingin mencoba tidur kembali tapi tetap tidak bisa.
Dalam pikiranku hanya ada satu yang berkecamuk
setelah terbangun dari mimpi itu: apa arti
mimpi ini?
Aku tetap terjaga sampai matahari
terbit.
******
“Pardon, weet je waar mevrouw Grinda is?”
Aku bertanya pada suster yang sedang membereskan tempat tidur kamar di rumah sakit. Cara suster merapikan kamar ini mengisyratkan bahwa pasien di kamar ini sudah pulang.
Setahuku ia
belum boleh pulang.
“Ja, ze is in de tuin.” Ucapnya sambil
menerangkan padaku letak taman itu.
"Dank u wel."
Aku harus turun dua lantai untuk
menuju taman yang ada di belakang rumah sakit. Melewati lorong besar dan ruang resepsionis belakang. Aku melihat beberapa
orang diperban dan dokter bersepeda di lobi. Di belakang rumah sakit, aku
menemukan jalan setapak menuju taman kecil yang dikunjungi oleh beberapa pasien dan suster yang
mengawasi mereka. Dari kejauhan aku melihat Grinda yang sedang duduk di bangku
taman sambil tersenyum melihat salju yang mulai mencair.
Aku memastikan apa yang kulihat. Perasaan sedih
seketika menjalar diseluruh tubuku. Ingin rasanya aku berlari dan menangis
untuknya. Tapi aku menahannya. Aku menggenggam erat bunga yang kusiapkan
untuknya dan berjalan dengan tenang.
“Grinda, apa suster sudah membolehkanmu
keluar dari kamar? Apa keadanmu sudah lebih baik? Bagaimana masa pemulihanmu?”
Aku duduk di sampingnya.
“Ja, ja, ja. Memangnya siapa suster
sampai boleh melarangku ini itu. Kau hanya terlalu khawatir.” Ucapnya. Aku hanya
tersenyum simpul sambil memberikan seikat bunga untuknya dan kupeluk erat
dirinya.
“Dank U wel. Oh ya, bagaimana hasil pemeriksaan medismu?”
“Seperti yang sudah-sudah. Tak ada yang
salah dengan tubuhku. Penyebabnya antara aku kelelahan atau faktor psikologis.”
“Sudah aku duga. Kamu hanya
perlu pulang ke Indonesia. Jiwamu sudah melayang ke sana, merindukan tanah
kelahiranmu.” Jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Mungkin saja. Tapi tak mungkin aku
pulang meninggalkanmu sendiri di sini, Grinda.”
“Kamu sudah tahu kondisiku. Aku tahu
kamu bisa melihatnya. Dan setiap orang harus pulang menuju rumah yang ia perlukan. Rumahku sudah bukan di sini.”
“Jangan berbicara seperti itu. Aku
justru melihat cahaya kuning yang terpancar kuat dari dirimu. Kau pasti sembuh. Dan rumahku sudah jelas di Amsterdam sini, bersamamu.”
Semoga ia tidak melihat mataku yang sudah berkaca-kaca.
“Kamu tahu kamu bukan pembohong yang
ulung. Sebentar lagi keberasamaan kita dalam waktu ini akan berakhir. Kamu
memang sudah harus pulang. Empat tahun tidak pulang membuatmu jengah dan jenuh. Lagipula kau sudah aku anggap anakku sendiri. Kini aku ada di dalam hatimu, tempat kamu untuk selalu pulang. Dan kamu akan selalu diterima di rumahku, di hatiku. Ataupun di Gleevlieet.
Kau tahu, jika Broen masih hidup, ia
mungkin sudah seusiamu kini. Kalian mungkin cocok sebagai kawan.
Aku terlalu lama meratapi kesedihan tanpa sadar ia memang menyedot waktu dengan cepat. Dan kini waktuku sudah habis.”
Aku terlalu lama meratapi kesedihan tanpa sadar ia memang menyedot waktu dengan cepat. Dan kini waktuku sudah habis.”
Sambil berusaha menahan air mata yang
hendak jatuh, aku membalas perkataanya,
“Grinda, kau juga sudah seperti seorang
ibu bagiku. Seorang sahabat. Dan aku tidak ingin kau berkata seperti itu. Kau
akan membaik.”
Grinda melihat ke langit, pandangannya
menerawang entah ke mana. Aku bisa melihat warna matanya yang biru kini diwarnai kekuningan yang meredup. Kini aku mengerti mengapa mata adalah jendela jiwa.
“Apa kau masih mengalami mimpi itu?”
“Masih. Bahkan kini semakin intens.
Efeknya juga semakin kuat.”
“Apa kau sudah melakukan psikoanalisis
dan interpretasi alam bawah sadar?”
“Keempat psikolog itu tidak bisa
mengambil satu katapun yang terasosiasi dengan mimpiku. Entah memang mimpi ini bukan
bagian dari alam bawah sadarku, atau memang dia terlalu jauh terpendam di
dalamnya.”
“Dan itu memengaruhi penglihatanmu? Kau
bisa melihatnya dengan jelas?”
Aku mengangguk, “Sejelas pendar api di
tengah gelap malam.
Dan kau tahu, aku benci rumah sakit dengan
keadaan seperti ini.”
“Tak ada yang bisa kau benci. Kau hanya
perlu belajar menerima kelebihanmu. Kekuranganmu.”
Fragmen 14.
Bali – dua tahun kemudian.
Gelap gulita.
Biasanya gelap terjadi jika rodopsin
tidak terurai menjadi opsin dan retinal karena tidak dapat menyerap cahaya.
Dalam hal ini absennya cahaya menjadi presensi gelap. Tak ada cahaya yang
dipantulkan oleh benda yang kita lihat dan tak ada rangsangan yang diteruskan kornea
ke retina. Itulah gelap. Saat tak ada cahaya. Atau saat fotoreseptor pada mata
sudah rusak. Atau bagian mata lainnya yang sudah tidak bekerja seperti yang
seharusnya. Atau saat kita menutup mata. Menghalangi mata untuk menangkap
cahaya. Realitas bentuk dan warna benda tertutup oleh selaput mata. Ilusi yang kita buat sendiri.
Aku percaya kini aku sedang menutup
mata. Gelap yang kurasakan berbeda dengan gelap saat mata terbuka. Mungkin aku
sedang bermimpi. Meskipun menutup mata aku masih bisa melihat bentuk benda dan
warna dari realitas yang disimpan oleh memoriku. Warna merah, hijau, kuning,
biru. Dan warna-warna lainya yang bercampur aduk dalam sungai warna seperti cat
air. Kemudian warna-warna tersebut perlaham membentuk wujud benda. Jalan,
gedung, langit, mobil, gunung, sawah, dan orang. Memoriku memainkan panggung warna yang paling megah di dalam mataku.
Kemudian hilang dalam seketika.
Tergantikan oleh warna jingga yang terdifraksi.
Buat apa ada gelap? Hanya agar kita
bisa tidur, bercinta, atau bahkan menyembunyikan air mata yang mengalir
perlahan? Bukankah kita mengagungkan terang. Matahari sebagai sumber energi
alami terbesar bagi manusia bisa berguna dengan adanya solar panel. Apalah
gelap yang hanya menyelimuti kita dengan misteri dan rasa penasaran. Malam
bagaikan manusia yang memakai topeng. Aku tidak pernah tahu siapa dan apa yang
ada di baliknya.
Tiba-tiba semua menjadi putih dan
sangat terang. Ku lihat diriku yang memberi bunga kepada Gilda.
Seketika aku terbangun. Aku membuka mata
perlahan. Ku lihat keadaan sekitar. Kamar hotel.
Di sebelahku ada wanita berambut
panjang yang sedang tertidur pulas. Ku perhatikan dengan seksama. Ada cahaya
kuning berpendar darinya. Seperti lampu lampu pijar yang biasa menerangi
halaman rumah di pinggiran kota.
“Ayo yang, tidur lagi. Masih jam dua
siang. ” Ucapnya manja sambil memelukku.
Aku lepaskan pelukannya dan beranjak
dari kasur, “Aku harus ke kantor lagi. Ada tim peneliti yang datang dari
Jepang.”
“Yaudah, hati-hati ya.” Ucapnya tanpa
membuka mata.
Aku melihat orang-orang seperti melihat
lampu lampu pijar warna-warni. Kuning adalah warna yang sering aku lihat. Kebanyakan
orang memancarkan cahaya ini. Ada juga yang menyerupai jingga. Selain itu, biru
dan nila pernah beberapa kali aku jumpai.
Merah muda dan merah kesumba yang juga aku temui beberapa kali. Tak ada hitam
absolut yang pernah aku temui. Aku tidak mengerti bagaimana warna-warni ini
bisa tertangkap mataku. Yang jelas hanya mataku yang bisa melihatnya. Tak ada
yang tahu dan percaya. Tak ada yang salah dengan mataku, sel batang dan
kerucutku juga berfungsi normal. Satu-satunya penjelasan ilmiah yang ada
adalah aku menderita halusinasi, pertanda Skizofrenia.
Aku bersumpah panca
indraku masih normal. Namun tak ada yang percaya. Kecuali Grinda.
Selain warna, aku juga bisa melihat
intensitas cahayanya. Ada yang sangat kuat dan menyilaukan, ada yang begitu
lemah dan redup. Rasanya intensitas itu sama seperti filamen pada lampu pijar. Ia
akan melemah dan meredup sebelum akhirnya mati.
Melewati jalanan Kuta yang sangat
ramai, aku perhatikan orang-orang yang sedang berjalan dari dalam mobil.
Walaupun hari masih terang, aku bisa melihat warna-warni itu berpijar pada
orang-orang. Cukup lama aku berada di dalam mobil.
Setelah empat puluh lima menit, Pak Andi yang
menyopiri mobil memberitahuku bahwa sebentar lagi aku akan sampai di tempat
tujuan. Mobil memasuki daerah hutan konservasi dengan jalan kecil menanjak yang
diselingi banyak pepohonan di kiri kanan jalan. Tak jauh dari situ mobil memasuki permukiman warga.
“Pak, saya cuma bisa antar sampai sini.
Karena ini hari sabtu, saya harus parkir di rumah warga sini pak. Parkirannya
dipakai anak-anak main bola.”
“Tidak apa pak. Biar saya jalan dari
sini.” Ucapku sambil berlalu.
Udara Bali sangat menyengat. Hangat. Udara
yang aku rindukan. Aku berjalan di antara pepohonan yang rindang. Bebatuan yang masih basah karena hujan semalam. Suara tonggeret menemani jejak langkahku. Bau ombak dan pasir yang tercium dari kejauhan dibawa oleh
angin yang bergerak riang ke sana kemari menemani anak-anak bermain bola yang terlihat dari kejauhan.
Aku
menyapa mereka sambil berjalan ke dalam gedung. Gedung yang tidak terlalu besar
namun cukup modern. Tak heran karena gedung ini adalah sumbangan dari
pemerintah Jepang. Gedung ini merupakan proyek percontohan gedung energi netral
yang ada di Indonesia. Semua energi yang digunakan di gedung ini berasal dari
energi terbarukan. Dindingnya terbuat dari solar sel dan di belakang gedung ini
ada tempat pengolahan biogas sebagai sumber energi alternatif. Di pinggir gedung ini ada beberapa kincir angin kecil yang dimodifikasi untuk iklim tropis.
Berbeda dengan hawa luar yang panas, di dalam gedung, udara pendingin ruangan menyeruak
memberikan kesejukan dalam sekejap. Hanya aku sendiri di dalam gedung ini.
Sudah lima belas menit aku menunggu di lobi gedung.
Saat aku sedang duduk menunggu tim
peneliti dari Jepang, aku melihat seseorang masuk ke dalam gedung. Pakaiannya
rapi dan ia menggendong tas gunung. Ia mendekatiku.
Perasaan tak nyaman seketika
mengerubungiku. Aku dikejutkan oleh sesuatu yang tak pernah aku lihat
sebelumnya.
Aku kaget. Tubuhku
menjadi lemas dan aku terjatuh.
Dengan samar, aku masih bisa melihat ia yang berlari
mendekatiku.
Aku tak sadarkan diri.
***
Gelap gulita.
Aku tak sadarkan diri. Aku ingat aku
sedang berada di kantor. Tapi aku tak ingat mengapa aku jatuh pingsan. Aku buka
mataku perlahan. Kepalaku terasa berat sekali.
Aku melihat sesosok pria berkacamata
sedang menonton televisi di kursi seberang. Aku ingin berbicara tapi mulutku
tertutup rapat. Aku masih melihat kejanggalan pada pria itu. Seperti melihat
hantu, mukaku pucat pasi. Ia tidak
berwarna.
Seribu satu pikiran merasuki ku saat
itu juga. Mungkin aku sedang kelelahan lantas aku tidak bisa melihat
warna-warni pada orang-orang. Dan dia adalah orang pertama yang aku lihat saat
aku kelelahan.
Logikaku menepisnya.
Tidak mungkin, aku melihat anak-anak
kecil bermain bola memancarkan cahaya kuning yang meledak-ledak dan hangat.
Tunggu.
Mengapa aku mengandalkan logika, jika apa yang aku alami selama dua tahun
terakhir ini saja tidak bisa ditelusuri lewat logika.
Memikirkan ini kepalaku semakin berat
dan berdenyut-denyut.
Orang itu menyadari tingkahku yang
aneh, ia mendekatiku sambil membawakan segelas air minum.
“Ini pak, diminum dulu.”
Ia menyodorkan bibir gelas itu ke
bibirku. Aku kemudian menyesap air mineral itu. Rasanya sangat menyegarkan.
Melihat mukaku yang masih penuh tanda tanya, ia mencoba menerangkan,
“Tadi bapak jatuh pingsan. Mungkin
karena perbedaan suhu di luar yang panas dan di dalam yang terlalu dingin.”
Bukan itu jawaban yang aku inginkan.
“Lebih baik bapak sekarang ikut saya.
Saya salah satu anggota tim peneliti dari Jepang. Teman-teman yang lain kena
penundaan penerbangan. Kemungkinan datangnya besok malam. Jadi mari kita tunggu
di hotel saja.”
Kami berdua berjalan ke luar gedung. Hanya
beberapa lampu yang menerangi gedung ini.
“Pak Andi dan mobilnya sudah menunggu
di perkampungan. Lebih baik kita bergegas ke sana.”
Aku merasa canggung berjalan dengan
pria ini. Aku seperti berjalan di sebelah hantu. Aku belum pernah melihat orang
tanpa warna-warni yang berpendar dari dalamnya. Walau redup dan lemah, aku
pasti bisa melihatnya.
Aku mencoba memulai percakapan untuk
menghindariku dari beragam pikiran aneh.
“Bukannya lampu-lampu penerangan sudah harus
diinstal di sepanjang jalan ini?”
“Betul pak, namun warga di sini masih
mempertimbangkan hal tersebut. Mereka berpikir belum membutuhkan penerangan
sebanyak yang kita rekomendasikan.”
“Mengapa bisa begitu? Dengan
penerangan, kehidupan mereka bisa menjadi lebih baik. Dengan adanya penerangan, produktivitas industri rumah tangga juga bisa meningkat.”
“Mereka menganggap gelap itu masih menguntungkan
mereka. Penerangan yang berlebihan hanya akan membuat mereka akan terekspos dalam hingar bingar modernisasi. Mungkin perlahan lebih baik.”
“Bagaimana mungkin gelap seperti ini
bisa menguntungkan?”
“Menurut saya sendiri gelap masih memiliki
peran yang sama dengan terang. Dalam proses fotosintesis saja bukan hanya reaksi
terang yang dibutuhkan namun juga reaksi gelap yang tidak membutuhkan cahaya.
Tanpa reaksi gelap ini, tidak mungkin CO2 dan ATP beserta NADPH diproses menjadi
glukosa. Dan bukankah jika fotosintesis tumbuhan terganggu maka kehidupan
manusiapun akan terganggu?
Pun hal yang serupa sama dengan warga sini.
Mereka membutuhkan gelap untuk melengkapi mereka.
Loh, kenapa berhenti pak?”
Aku berhenti lantas terdiam sejenak. Angin berdesir menyentuh dedaunan dan rerumputan.
“Siapa namamu tadi?” Entah mengapa pertanyaan ini keluar dari mulutku begitu saja.
“Oh maaf, saya belum mengenalkan diri
saya. Nama saya Pradipta. Panggil saja Pradip.”
“Nama saya….
Eh, sebentar, siapa namamu tadi?
Pradipta? Terdengar familiar ditelinga saya.” Tanyaku penasaran.
“Mungkin karena nama saya pasaran. “
Ucapnya sambil tertawa.
“Atau mungkin bapak pernah datang ke
India untuk melihati Diwali, festival of
lights. Secara langsung tidak ada hubungannya dengan saya atau nama saya. Namun banyak orang bernama
Pradipta datang ke sana. Dalam bahasa Sansekerta, Pradipta berarti
cahaya. Atau terang benderang.”
Aku mengamati keadaan sekitar. Hanya
ada suara lolongan anjing di bawah cahaya bulan yang menerangi kami berdua.
Comments
Post a Comment