Solilokui Daun Maple Merah

Aku terbang ke sana kemari dengan sayap transparan, menunggangi angin dan hinggap di sudut-sudut kota. Tubuhku seperti jemari manusia yang lancip di setiap ujungnya. 

Kami berwarna warni. Ada yang berwarna jingga, kuning, dan juga hijau tua. Tapi aku beda, orang tuaku juga berkata seperti itu, aku berwarna merah kesumba. Aku adalah daun maple merah. Acer rubrum. Teman-teman memanggilku Uum.

Aku menjadi bagian dari pohon di sebuah taman di kota. Ia sangat kokoh dan kuat. Kala angin kencang menerpa, ia menahan suku-suku kami untuk tetap menancap di cabang-cabang jemarinya. Aku senang tinggal bersamanya. Sejak aku masih tunas hingga sekarang, aku tumbuh melihat dunia bersamanya. Aku melihat anak-anak bermain di taman, menikmati udara di pagi hari, merasakan sinar matahari senja, dan berdansa saat musim semi tiba. Tapi tak ada yang abadi, begitu pula kebersamaan kami. Kami harus mengugurkan diri supaya ia bisa tetap hidup hingga muncul lagi generasi baru. Aku awalnya tidak terima karena cemburu. Aku sudah merasa nyaman tinggal di dahan itu dan kenapa harus pergi? Apalagi dengan alasan untuk tempat tinggal daun-daun yang baru. Namun ia menasihatiku dengan bijak, katanya, 

"Setiap daun harus pergi meninggalkan rantingnya. Ia harus berkelana di belantara dunia dan 
menemukan rumah baru." 

Aku mengernyitkan dahi, kubalas, "Tapi kita kan bukan manusia yang pindah memadati kota, menggantikan kita dengan pohon-pohon beton? Memangkas lahan tempat kita berkumpul? Membakar kita dan mengotori langit biru? 

Mengapa kita harus pindah?"

"Tepat sekali. Dan jawaban pertanyaanmu itu akan kau temukan setelah kau pindah. Yang perlu kau ingat, saat ada yang datang, ada pula yang harus pergi." Ucapnya sambil tersenyum.



Aku dibuat kehabisan kata. 


Aku benci jika ia sudah tersenyum bijak seperti itu. Aku tidak suka jika omongannya benar. Dalam senyumnya seperti ada kalimat tersembunyi yang berbunyi jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. 

Bagaimana jika semua tidak baik-baik saja? 

Tak ada yang baik-baik saja? 

Dunia bukan tempat yang baik?

Dan bagaimana semoga baik-baik saja bisa menjadi mantra agar semua menjadi baik-baik saja?

Apa ia akan baik-baik saja? 

Apa aku akan baik-baik saja?


Entah.

Tetap saja aku tak bisa berkata apapun. Karena omongannya yang terakhir itu benar-benar membuatku tenang. Tapi aku tetap kesal. Dasar pohon tua renta. Siapa juga yang mau adu debat dengan orang tua seperti dia yang keras kepala. Seolah tahu apa yang terbaik untukku. 

Padahal banyak pertanyaan yang berkecamuk dan membuatku khawatir terus menerus tapi tak satupun terlontar keluar. Beberapa di antaranya seperti: 

bagaimana jika nanti aku berakhir di tong sampah seperti kebanyakan teman-teman? atau teronggok di jalanan? apakah aku akan layu dan akhirnya mati? lantas bagaimana jika pertanyaanku tak ada satupun yang terjawab sebelum aku menjadi remah yang berserakan di udara? 

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu hanya akan menjadi bahan lelucon saat aku terbang bersama teman-teman. Sebagai daun yang sudah dewasa, aku harus pintar menyembunyikan kegelisahanku yang berupa pertanyaan-pertanyaan itu. Sejauh ini aku tidak melihat raut muka cemas dan tingkah laku gelisah dari mereka. Namun begitu, aku tetap yakin sebenarnya mereka juga menyimpan kegelisahan yang menggerogoti. Mereka takut tapi tak mereka tunjukan. Siapa yang tidak takut jika hidupnya harus berakhir sendiri? 


Hhhhh, aku ingin kembali ke masa kecilku saat aku bebas mengekspresikan kegelisahan yang aku rasa.


Beberapa teman-temanku mungkin tidak peduli atau tidak tahu. Mungkin mereka terlalu dimabuk nyanyian burung-burung pagi bahwa segalanya akan berakhir bahagia. Kicauan mereka memang merdu tapi juga menyesatkan. Apalagi saat angin pagi bersiul bersama mereka. Matahari tersenyum riang dan kami ikut bergoyang senang. Kami terlelap dalam eforia pagi. Kadang aku juga ingin terlelap lebih lama dan menyerah, melupakan semua kesadaran. Hanya saja aku tidak bisa, aku adalah Rubrum. Warnaku membara. Aku tak bisa menyerah.

Musim gugur akhirnya tiba. Inilah waktu yang tak pernah dinanti-nanti oleh siapapun. Perlahan namun pasti, kami pergi meninggalkan pohon tua ini. Satu persatu mulai beterbangan menunggangi angin. Ada yang pergi sangat jauh, ada yang melangkah cukup dekat. Aku rasa hal itu tergantung kebaikan angin yang ingin membawa kami. Kata temanku yang pernah tahu kabar generasi sebelumnya, kami harus merayu angin dengan usaha yang benar-benar keras jika ingin diturunkan tak jauh dari rumah. Tapi aku tak mau dekat dengan rumah. Rumah adalah rumah, dekat dengan rumah bukanlah rumah. Benar kata Si Tua itu, aku harus menemukan rumah baru yang dapat aku tinggali dengan nyaman. Di manapun itu. Dan lagi aku juga punya daftar pertanyaan yang harus aku temukan jawabannya. Juga sudah ku bilang, aku adalah Rubrum. Warnaku merah kesumba dan aku tak pernah lupa.

Petualanganku sudah resmi dimulai. 

Perpisahan dengan Si Tua berakhir emosional dan penuh air mata. Tapi tak ada satu katapun terucap dari mulut kami. Aku berharap ia akan baik-baik saja. Aku juga berdoa semoga ia tidak melupakanku.

Aku terbang dari satu tempat ke tempat lain, hinggap dari satu taman ke taman lain. Menyentuh tanah satu ke tanah lain. Menyaksikan manusia yang bergerak gerik di tempat yang berbeda. Hinggap di rambut mereka, menyelusup dalam lipatan jaket dan mantel mereka. Bermain dengan anak-anak kecil yang mengejarku kala ringan terbawa angin.

Ada cerita menarik yang aku alami saat tergeletak tak berdaya di depan pintu sebuah kafe. Waktu itu malam sudah larut. Angin mengamuk dan mengurung sebagian orang di rumah. Hanya beberapa kafe di jalan itu yang masih sesak dipenuhi orang-orang. Tiba-tiba seorang pria dibopong keluar dan dipukuli oleh tiga orang pria lainnya. Setelah beberapa saat, mukanya menjadi biru lebam. Darah menetes dari mulutnya. Sepertinya bibirnya sobek. 

Ia tergeletak lunglai di trotoar. Aku dan dia saling bertatapan. Tangannya menunjuk ke arahku, seperti ingin meraihku. Tapi tatapannya kosong. Ia tak sadar aku di sana melihatnya. 

Seorang wanita menjerit menyusul keluar dari balik pintu kafe. Ia kemudian menangis. Ia ingin menyentuh dan memeluk pria itu namun dicegah oleh mereka yang memukuli pria itu. 

Tiga lawan satu tak pernah adil. Aku juga tak tahu jika kekerasan masih menjadi tren untuk memecahkan masalah. Dari omongan mereka, pria itu dipukuli karena berbeda. Entah apa yang berbeda. Pendapat, kepercayaan, warna kulit, kepribadian, kebangsaan, status sosial, atau apapun itu. Yang jelas, ia babak belur karena berbeda.

Kami juga berbeda satu dengan lainnya. Ada Acer carpinifolium yang bentuknya agak berbeda dengan aku. Mereka lonjong dan bergerigi sangat runcing dan jelas. Atau Acer platanoides yang bentuknya sama sekali berbeda. Mereka seperti sayap malaikat berwarna hijau muda. Kemudian Acer palmatum yang berasal dari Jepang. Bentuk mereka runcing dan sempurna membentuk jemari yang bergerigi dengan warna yang memukau. Aku pernah naksir satu di antara mereka. Mereka tinggal bersama bambu. 

Warna dan bentuk tak jadi pembeda karena kami masih tetap sama, Sycamore maple. Terbukti, kami tak pernah berperang atau berkelahi sekalipun. Kami adalah daun pengembara, jika kami bertemu satu sama lain, maka kami akan memperlakukan mereka sebaik kami memperlakukan diri kami sendiri. Setiap tanah adalah rumah yang ramah dan setiap langit adalah atap yang harus digamit. Apa yang terletak di antara keduanya adalah serupa walau tak sama. 

Aku tak tahu jika manusia mempermasalahkan perbedaan. Yang aku tahu, darah mereka sama merah dan tulang mereka sama putih.

Pengalaman-pengalaman seperti itu yang membuatku layu. Perjalananku yang hanya ditemani waktu dan angin menempaku menjadi daun yang mulai mengering dan kasar. Aku melihat dunia yang tak baik-baik saja. Dan entah kapan dunia ini akan menjadi tempat yang baik-baik saja. 

Aku mulai lelah melihat tingkah laku mereka. Ada perasaan ingin menyerah. 

Sudah beberapa minggu aku terdampar di sebuah gang kecil ini yang bau pesing bercampur alkohol. Sampah tercecer di mana-mana dan kadang aku melihat tikus melewati tubuhku. Apa ini akan menjadi rumah ku? 

Aku juga tidak melihat daun-daun maple lainnya. 


Aku sendiri. 

Aku menerima jika tempat ini memang harus menjadi rumahku.

--------------------



Ada sentuhan hangat menjalar di tulang-tulang tubuhku.

Angin tak lagi menerpaku, aku seperti berada di dalam kubah yang melindungiku dari dinginnya angin. Aku coba mengamati, ternyata aku berada di bawah tangan seseorang. Entah pria atau wanita, aku belum bisa menebak. Ia memegangku hati-hati dan memasukanku ke dalam tempat yang gelap. Aku tak tahu akan di bawa ke mana. 

Siapa dia? 


Apa aku sudah berada di surga? 


-----------------------


Ia mengeluarkanku dengan hati-hati. 

Tempat ini terang sekali.

Aku berkedip-kedip menyesuaikan penglihatan.

Ia meletakanku di sebuah meja.

Meja yang sangat putih bersih.

Aku bisa melihat badanku yang sudah ringkih dengan jelas.

Lalu ia meraba tubuhku dengan seksama. Membersihkanku dengan perlahan dan merawatku dengan telaten. Aku diberi tetesan-tetesan yang membuat tubuhku menjadi kuat. Kemudian aku dijemur di pinggir jendela dengan terpaan cahaya matahari. Hangat tapi tidak menyengat. Dalam terpaan cahaya matahari itu bisa aku lihat tangan-tangan itu adalah milik seorang pria.

Mukanya biru lebam, mulutnya bengkak meninggalkan bekas luka. Tatapannya tidak lagi kosong.





Kini aku dihimpit kata-kata, menjadi kekal sebagai batas pengetahuan dan pengingat pesan.


Aku sudah tiba di rumah.











Leeuwarden, 17 Februari 2014

Comments

Post a Comment