Nangkring di Pasar Malam Asia

Beberapa minggu ke belakang, saat saya melewati perpustakaan Leeuwarden, saya melihat sebuah papan iklan yang agak besar. Bukan ukurannya yang membuat saya tertarik namun apa yang menjadi isi iklan tersebut. 

PASAR MALAM ASIA.

Mungkin sekilas tidak ada yang salah dengan isi iklan tersebut. Tapi sekali melihat saya langsung melihat keanehan. Mengapa jika namanya PASAR MALAM ASIA, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia bukanlah bahasa Asia, setidaknya menggunakan ASIAN NIGHT FAIR akan menjadi lebih dapat diterima. Entah bahasa Indonesia memang menjadi daya tarik sendiri bagi warga di Belanda (karena banyak warga Indonesia), entah memang hegemoni bahasa Indonesia di Asia sudah melekat kuat, atau yang mengatur acara ini adalah orang Indonesia.

Apapun di balik itu, saya sudah memutuskan untuk mengunjungi even ini. Jarang sekali ada pasar malam yang isinya tentang Asia di Belanda, apalagi yang mencapai Leeuwarden, kota paling Utara di Belanda. Pasar Malam Asia ini diadakan tiap tahun dari kota ke kota. Maka dari itu saya tidak ingin melewatkan kesempatan langka ini.

Mudah saja untuk mengetahui apa yang akan ditampilkan di Pasar Malam Asia ini karena di situs www.pasarmalamasia.nl dapat dilihat jelas susunan acaranya tiap hari. Pasar Malam Asia di Leeuwarden diadakan di WTC Expo Leeuwarden selama tiga hari, 21-23 Maret. WTC Hall agak jauh dari hotel WTC. Letak WTC Hall persis di belakang arena ice skating. Harga tiketnya untuk orang dewasa perharinya 7.5 euro sedangkan untuk tiga hari hanya 15 euro. Sedikit tips, di Belanda semua akan agak dipermudah jika kita menyebut bahwa kita adalah pelajar. Buktinya, saya dan teman-teman bisa merogoh kocek hanya 6 euro perorangnya. Juga, sediakan uang tunai agar tidak dikenai biaya tambahan jika menggunakan kartu debit/kredit.

Tiap hari mengusung tema yang berbeda. Hari Jumat menampilkan musik pop dan dangdut, ada penampilan musik Maluku dan tarian Hawaii untuk hari Sabtu, dan ada musik keroncong di Hari Minggu. Saya memilih untuk datang pada hari Sabtu. Pukul lima sore, saya dan teman-teman bersepeda menuju WTC Expo Hall dan tiba di sana setengah jam kemudian. Memasuki pintu masuk kami bisa melihat banner selamat datang dari kejauhan:



Pasar Malam Asia ini tidak seperti pasar malam kebanyakannya: berada di luar ruangan dengan kincir ria yang tinggi dan komidi putar dengan kuda-kudaan untuk ditunggangi. Karena di Leeuwarden udaranya lebih dingin dibandingkan di kota lain, saya pikir ini alasannya mengapa diadakan di dalam ruangan.

Memasuki hall yang lumayan besar, saya disuguhi banyak stan dari beragam negara di Asia seperti India, China, Thailand, dan tentunya Indonesia. Kebanyakan berupa stan makanan, baju, dan pernak-pernik khas lainnya. Harganya juga variatif. Selain stan, di ujung hall, ada panggung yang cukup besar dengan band yang menampilkan musik dan penampilan dari Indonesia.

Stan
Saya menemukan stan berbagai macam sambal yang dijual orang Indonesia yang sudah pindah kewarganegaraan (penjualnya sendiri yang bilang). Ada banyak jenis sambal dijual, mulai dari sambal teri, sambal terasi, sampai sambal Bu Rudi yang terkenal itu. Bahkan ada juga sambal bajak dan sambal setan. Sambal memang jadi salah satu bumbu favorit di Belanda. Walau lidah Belanda sendiri tidak familiar dengan masakan yang pedas, sekali-kali mereka suka nyocol sambal.

Mau sambal apa, Dik?

Beberapa kali saya pernah bertemu dengan warga Indonesia yang ternyata sudah mengganti paspor hijaunya dengan paspor merah, Belanda. Awalnya saya bertanya-tanya dan heran mengapa mereka mau mengganti tiket masuk ke tanah kelahirannya sendiri. Seiring waktu, akhirnya saya mengerti bahwa persoalan darah dan tanah kelahiran bukanlah persoalan dokumen dan administrasi sebatas paspor. Jika saya seorang nasionalis dan patrioritas fundamentalis, saya mungkin akan mempertanyakan cinta mereka untuk Indonesia. Saya tahu batasan, persoalan itu adalah hal yang personal. Ada yang nenek buyutnya diasingkan dari Indonesia saat zaman penjajahan dulu karena seorang campuran Indonesia-Belanda yang kemudian beranak pinak hingga cucu cicitnya tidak bisa berbahasa Indonesia. Ada yang mengganti paspor untuk mempermudah urusan administrasi. Dulu banyak warga Indonesia yang kesulitan mengurus dokumen perjalanan karena birokrasi yang rumit dan bertele-tele sehingga menimbulkan perasaan lebih diterima lebih baik oleh pemerintah sini. Apalagi dulu sebelum ada Uni Eropa dan Schengen. Beberapa warga Indonesia yang telah berganti paspor mengaku bahwa darah mereka tetap merah, tulang mereka tetap putih. Artinya, mereka tetap Indonesia. Meski ada yang terbata-bata berbahasa Indonesia, sebagian dari mereka masih ada yang merasa bangga mengaku dan menjadi orang Indonesia walau sudah berganti paspor. Apapun paspornya, kita tetap penduduk dunia. Mungkin inilah global village, konsep yang diusung Marshall McLuhan.

Selain menemukan sambal, saya juga menemukan stan buku yang kebanyakan menjual koleksi lama atau bekas. Sayangnya (buat saya) buku tersebut semua dalam bahasa Belanda. Beberapa buku ada yang menceritakan kondisi dan kebudayaan Indonesia zaman dulu. Seperti buku Kemajoran dan de Wajang Foxirot yang ada di gambar di bawah ini. Kemajoran berisi tentang kebudayaan Jakarta pada zaman penjajahan (warga sini menggunakan istilah kolonialisme). Sedangkan de Wajang Foxirot menggambarkan keunikan kebudayaan warga Jawa dengan wayangnya. Sebenarnya tidak hanya di sini saya menemukan banyak buku yang menceritakan tentang kebudayaan dan tradisi Indonesia. Hampir di setiap toko buku, apalagi toko buku antik/koleksi, setidaknya ada satu dua buku tentang Indonesia. Menurut saya, warga Belanda pada zaman dahulu menganggap bahwa Indonesia itu menarik dengan segala ketimurannya.

Koleksi Buku


Stand pernak pernik China
Ada juga pernak-pernik seperti gantungan kunci, lampu hias, dan lukisan dari China. Selain Indonesia, ternyata diaspora China juga banyak di Eropa. Ini membuktikan bahwa China memiliki diaspora paling luas di dunia. Yang menarik di sini, saya bisa melakukan tawar menawar seperti layaknya di pasar.

Banyak lukisan bagus, aroma terapi harum, dan juga aksesoris yang cocok digunakan di kamar atau dipajang di rumah.
Sayang anak, sayang istri, Pak




Ada banyak stan pakaian di sini. Mulai dari pakaian kasual sampai ke tradisional. Biasanya yang banyak dijual adalah pakaian wanita. Ada baju khas dari China, baju pantai, kaos oblong, dan berbagai jins. Saya sempat melihat beberapa kain batik Indonesia yang dipajang di sebuah stan. Selain pakaian, ada juga berbagai macam tas, kaca mata, kalung, gelang, dan aksesoris lainnya. Harganya relatif murah. Untuk merek dan juga keaslian, saya tidak terlalu mengerti. Yang jelas, jeli tidak akan membuat kita rugi.




Aksesoris


Stan yang terakhir saya temukan adalah stan makanan. Banyak sekali stan yang menjual hidangan khas Asia terlebih lagi khas Indonesia. Di sini saya bisa melepas lidah saya yang kangen masakan Indonesia.

Mulai dari nasi rames, nasi ayam bumbu bali, nasi kuning, dan nasi uduk juga hadir meramaikan suasana. Ada juga lontong kari dan kupat tahu. Panganan ringan asli Indonesia seperti kue Putu juga bisa dicoba.  Namun begitu, menurut saya rasanya tidak seoriginal masakan di Indonesia. Mungkin karena bumbu-bumbunya telah mengalami banyak modifikasi, seperti menggunakan bumbu instan dibandingkan bumbu aslinya. Wajar, karena agak sulit menemukan rempah-rempah atau bumbu untuk membuat masakan Indonesia yang kaya akan cita rasa.




Selain makanan, ada juga berbagai macam minuman khas Indonesia. Siapa yang bisa menolak es campur? Terlebih lagi ada es durian, dan es cendol yang sulit ditemui di Leeuwarden ini. Untuk membuat sendiripun sepertinya sulit. 

Harganya cukup terjangkau. Untuk mencoba satu atau dua macam minuman tidaklah seberapa. Namun jika kalap mencoba banyak minuman, terlebih jika sebelumnya kalap mencoba banyak masakan, kita harus merogoh kocek agak dalam.



Panggung
Setelah melihat-lihat stan dan sambil menikmati masakan atau minuman, kita bisa melihat banyak penampilan menghibur di malam Minggu. Panggung yang cukup besar dengan lampu sorot kerlap kerlip meramaikan seisi hall. Karena hari Sabtu maka alunan musik yang khas dari Maluku (Mollucas) menjadi salah satu penampilan utama. Seorang penyanyi beberpa kali membawakan lagu dari Indoensia dan juga dari Belanda. Yang saya ingat, ia membawakan lagu Nina Bobo versi bahasa Belanda. Dan ternyata nada dan notasi lagu itu berasa dari Belanda. 

Kalau tidak bobo, nanti digigit APAAA?

Beberapa warga terlihat antusias saat diajak untuk bergoyang bersama:

Mereka ternyata bisa Poco-poco
Tarian Hawaii



Setelah penampilan penyanyi tersebut selesai, ternyata ada satu penampilan terakhir yaitu tarian Hawaii. Saya tidak tahu apa relevansinya dengan pasar Asia, mungkin karena dia bagian dari Asia Pasifik.


Bisa jadi.



Masih Hawaii





Mungkin ini pula yang ditunggu-tunggu penonton sehingga sampai akhir acara mereka masih setia menonton. Jika dilihat lebih dekat, maka akan terlihat bahwa kebanyakan penarinya bukan asli Hawaii. Mereka sepertinya warga sini yang belajar tarian Hawaii.





Kesimpulan
Senang rasanya bisa mengunjungi Pasar Malam Asia ini. Setidaknya bisa melepas kangen kepada Indonesia, walau tidak sepenuhnya lepas. Namun ada satu hal yang menjadi pikiran buat saya. Saat saya mengunjungi Pasar Malam Asia, kebanyakan yang hadir adalah orang dewasa dan orang tua. Jelas segmentasi acara ini adalah warga yang berusia 30 ke atas. Saya rasa karena banyak orang dewasa dan juga orang tua yang memiliki kedekatan khusus dengan Indonesia. Mungkin karena masa muda mereka dipenuhi dengan petualangan ataupun sejarah di Indonesia. Tidak heran jika saya mengobrol dengan anak muda di sini, mereka biasanya akan bertanya-tanya apa dan di mana Indonesia itu. Sedangkan jika saya berbicara dengan orang dewasa atau yang sudah tua, mereka dengan semangat akan membalas obrolan saya dengan apa yang mereka tahu tentang Indonesia. Bisa jadi karena sebagian dari mereka menikahi orang Indonesia. Ataupun keluarga di atas mereka, seperti nenek moyang mereka, memiliki sejarah yang bersinggungan dengan Indonesia. Bisa dikatakan, semakin lama, kedekatan historis atau budaya yang terjalin di antara mereka semakin pudar. Saya harap generasi muda di sini juga bisa mengapresiasi kebudayaan Indonesia sebagaimana generasi sebelumnya. 

Menurut saya, itulah mengapa sebagai orang Indonesia, kita harus menunjukan budaya dan keramahtamahan kita pada siapa saja.





NB: Ternyata organizernya orang Indonesia makanya disebut Pasar Malam Asia. 





[Tulisan ini dibuat untuk Teman Tinta dengan teman Nangkring]

Comments