Bertambah Tua |
Bertambah tua bukanlah hal yang
menyenangkan: uban yang mulai subur terlihat, kerutan yang menggaris jelas di
wajah, rasa lelah yang menumpuk, dan krisis yang tak berkesudahan.
And everything suddenly feels so personal.
Beberapa orang bertambah dewasa
seiring dengan umur mereka yang berkurang. Beberapa orang justru tidak.
Kedewasaan memang bukan dinilai dari umur belaka. Menurut orang tua saya,
kedewasaan itu distandardisasi melalui kemampuan untuk menjalankan tanggungjawab
dan beban yang diberikan, minimal sesuai dengan kapasitasnya. Contohnya, seorang
anak berusia 12 tahun di satu desa di pelosok Tasikmalaya yang harus menjadi
pedagang asongan demi menafkahi lima orang anggota keluarganya. Itulah dewasa
versi orang tua saya: matang.
Saya setuju dengan orang tua saya
bahwa kedewasaan adalah menjadi matang. Kata yang ringan tapi berat. Ringan
karena banyak yang beranggapan bahwa seiring bertambah hari dan berkurang usia,
kedewasaan otomatis bertambah dengan bertulang tahun. Saya juga dulu
beranggapan bahwa berulang tahun adalah peningkatan kualitas kedewasaan yang
linier dengan umur. Bahwa perjalaan hidup seseorang adalah linier dengan waktu,
mungkin perlu ada kajian mendalam yang saya tahu ada jawabannya. Berat karena
kedewasaan tidak selalu bertambah dengan bertambah usia.
Saya sadar bahwa hidup hanyalah fenomena
mengulang. Sebuah siklus. Sebuah pergantian. Seperti siang dan malam, bahagia
dan sedih juga akan silih berganti. Seperti lima tahun yang lalu saya membuat
tulisan ulang tahun sebagai pengingat diri. Kini saya melakukan hal yang sama
di waktu dan tempat yang berbeda. Siklus yang asing pada awalnya,
perlahan-lahan membuat saya menjadi terbiasa dan saking terbiasanya, memunculkan
kejenuhan dan melemparkan saya ke awal siklus: keterasingan. Waktu lagi-lagi menjadi
determinannya.
Hidup pandai memberikan kado-kado
kecil yang diselipkan saat menjalani hari yang tampak biasa saja. Kado yang saya
sukai maupun tidak. Yang manis tapi juga tak jarang pahit. Dan saya yang sudah
tua ini tampaknya belum bertambah dewasa secara signifikan. Karena saya masih
belum bisa merangkul semua kado-kado yang bersemayam di pundak ini.
Saya mungkin belum dewasa tapi
setidaknya saya yang tua ini menemukan beberapa bagian lain dari diri saya.
Pertama, saya mungkin terobsesi
dengan keberhasilan.
Keberhasilan yang berasal dari pencapaian hal-hal kecil. Dulu
saya begitu senang dengan motivasi, positivitas, kesuksesan, kompetisi, dan inspirasi yang
menjadi bahan bakar untuk berkarya. Saya pernah membuat resolusi tahunan dari tahun 2009 sampai 2012. Setelah membacanya lagi saya merasa konyol sekaligus geli.
I can’t believe and still laugh hard that I had listed ridiculous
things such as langgeng, fitnes, bersyukur,
and or any other abstractive things such
as never surrender, be simple minded, have more sensibility to others as part
of my yearly resolution.
Walau banyak hal-hal yang tidak tercapai, atau belum, setidaknya tulisan tersebut bisa jadi pengingat bagi saya bahwa dulu saya seperti itu loh. Target oriented and competitions freak. Ya itulah saya. Tapi sejak tahun 2013, saya sudah berhenti membuat resolusi tahunan. Alasannya, saya seolah memaksa saya menjadi dewasa secara prematur dengan mengejar hal-hal yang menurut saya penting. Padahal yang lebih penting bisa saja terjadi dan tidak ada di dalam daftar resolusi tersebut.
Menjadi berhasil memang menyenangkan. Tapi tidak semua keberhasilan bisa diraih begitu saja. Saya ingat saat SMA kelas dua saya
pernah mengurung diri di kamar mandi dan menangis seharian. Orang tua saya bolak-balik
mengetuk pintu kamar mandi dan mengecek saya dan memaksa saya keluar. Tapi saya
tetap bertahan. Kenapa kamar mandi? Karena saat itu saya berbagi kamar dengan
kakak saya, saya malu menangis di kamar dan dijahili dia. Jadi saya butuh tempat
publik yang bisa disulap jadi ranah pribadi secara instan. Kenapa saya
menangis? Karena saya pertama kali dapat angka 3 skala 10 untuk ulangan
matematika padahal saya sudah belajar mati-matian. Akhirnya saya dipaksa keluar
karena kamar mandi satunya sedang rusak sehingga banyak orang di rumah yang
sudah mengantri mandi dan marah-marah. Saya menyerah dan keluar. Orang tua saya
menunggu di luar dengan muka meminta penjelasan. Saya ceritakan kesedihan saya,
mereka hanya membalas,
“Oh kirain ada apa. Kaya besok
kiamat aja.”
Bagi saya saat itu nilai 3 itu
kiamat sugra.
Kejadian itu tanpa saya sadari
berulang kali dalam beragam bentuk di keseharian saya. Saya sudah berusaha
keras tapi gagal. Juga gagal memahami setiap kegagalan. Bagi saya setiap hal kecil
itu bermakna dan pantas diperjuangkan. Ujungnya, saya sering capek sendiri. Saya
sedikit memahami bahwa hasil yang sebenarnya saya butuhkan itu tidak selalu
seperti yang saya bayangkan. Pada akhirnya, saya memaknai kertas ulangan
tersebut seperti ini: kertas ulangan dengan nilai 3 yang angkanya selalu bikin
saya mual itu saya laminasi dan saya tempel di atap di atas tempat tidur. Jadi
setiap saya mau tidur ataupun bangun tidur, saya selalu diingatkan bahwa saya
pernah belajar mati-matian tapi tetap dapat nilai jelek, dan sempat bikin
waswas orang serumah. Terus, selanjutnya mau
diapain? Saya terus belajar lebih keras lagi untuk dapat nilai yang lebih
bagus. Ulangan selanjutnya saya dapat nilai 7 skala 10, saya sempat senang. Namun
saya, mulai berpikir, mungkin ini bukan karena usaha saya semata. Tapi materi
ulangannya memang lebih mudah. Atau orang tua saya berdoa supaya nilai saya
agak bagus sehingga saya tidak perlu mengokupasi kamar mandi seharian dan buat
orang rumah khawatir lagi.
Gagal itu rasanya menyakitkan. Seolah rasa percaya diri kita tergerus sedikit demi sedikit. Jika nilai anjlok saja bisa bikin saya mengurung diri di kamar mandi seharian, apalagi tentang percintaan. Percintaan adalah satu kegagalan paling menyesakkan dalam hidup saya. Saya mengelus diri sendiri bahwa cukuplah nilai saya anjlok di matematika saja, saya yakin saya punya nilai lebih baik dalam percintaan. It turns out that I was clueless about everything. Saya patah hati berulang kali. Dan sebagian memang karena diri sendiri.
Setelah bersedih dan mengutuki diri sendiri, saya perlahan-lahan belajar menerima setiap kegagalan. Menjalani apa yang terjadi dengan mencoba menyadari ada banyak hal yang tidak bisa saya kendalikan. Saya juga sudah mulai berhenti untuk mengevaluasi dan mencari pertanyaan atas apa dan kenapa. Saya belum punya kemampuan untuk bertindak sebagai evaluator hidup saya sendiri.
Walau saya punya obsesi terhadap keberhasilan, saya juga menemukan bahwa ternyata saya tidak suka menyerah sampai saya benar-benar lelah.
Kedua, saya mungkin terobsesi
dengan kehilangan.
Bagi saya selamanya adalah abun-abun yang sangat naif dan tidak
realistis. Perlu saya akui, saya sempat berpikir bahwa hal itu mungkin terjadi. Bahwa kita – saya dan kamu – tetap sama selamanya. Bahwa
bahagia itu selamanya, bahwa pertemanan itu selamanya, bahwa keluarga itu
selamanya. Bahwa saya merasa utuh selamanya. Kita hanya ingin yang hal-hal yang kita sukai berlaku selamanya, bukan? Saya
juga ingin seperti itu.
Kita memang egois. Tak apa.
Kenyataannya, hari ini kita merasa utuh, esok merasa kehilangan. Itu pun tak apa. Beberapa kehilangan yang saya
utarakan di blog seperti ini dan itu sebenarnya sama sekali tidak membuat saya kuat
menghadapi kehilangan. Kehilangan selalu menyertakan rasa sakit yang mendalam. Dan rasa sakit itu menetap di satu ruang di hati saya. Saya
kehilangan teman. Saya kehilangan keluarga. Saya kehilangan kekasih.
Berulang-ulang. Namun saya tidak jua terbiasa dengan rasa sakitnya. Pun tidak
menjadikan saya kuat, apalagi siap, menghadapi kehilangan selanjutnya.
Kehilangan adalah hal yang paling saya benci di dunia ini. Saya belum
sepenuhnya bisa memahami kenapa ada harus
berpasangan dengan hilang, layaknya perjumpaan dengan perpisahan. Mengapa kita
ditakdirkan untuk ada dan dekat jika harus hilang atau berpisah. Kalau mau
dicari-cari maknanya pasti ketemu. Luput dicari juga tak jadi masalah. Bukankah
hidup ini arbitrer? Lagipula tetap waktu yang menentukan. Kalaupun jawabannya
tak kunjung ketemu, itu hanya satu hal yang menegaskan bahwa tak selamanya
pertanyaan berpasangan dengan jawaban. Tuh
kan, selamanya adalah kata yang naif.
Kita – saya dan kamu – sepakat berada
di garis lengkung waktu yang sama dan mengakui satu momen bahwa kita hanyalah bidak yang
tidak memiliki hak atas dirinya.
I'm despondent and you're helpless.
Tapi izinkan saya beranggapan bahwa semua yang
ada di dunia ini adalah mortal dan fana, dan kita sedang berjalan menuju tubir
ketidakpastian yang pasti. Kenangan yang mulai memudar. Dunia yang terus berputar. Dan orang-orang yang saling menghindar. Kehilangan adalah luka hidup. Ia adalah duri pada setangkai bunga mawar
yang cantik, atau kerapuhan pada kupu-kupu yang elok.
Saya belajar menerima saat saya
kecewa dan gagal. Saya belajar menerima bahwa saat saya jatuh cinta, saya akan
jatuh sejatuh-jatuhnya. I learn that I sometimes become too difficult even for myself. Saya belajar menerima saat saya menyakiti dan disakiti.
Saya belajar memafhumi rasa sesak di dada saat saya merasa sendiri dan tak punya siapa-siapa selain Dia. Saya
belajar kembali mengumpulkan kepingan-kepingan harapan yang pernah tercecer
entah di mana. Saya belajar mempertahankan apa yang bisa saya pertahankan dan melepas apa yang memang perlu lepas.
Tidak pernah terlintas dalam benak saya untuk menulis hal
sepersonal ini di blog saya. Mungkin saya kesepian. Mungkin saya butuh
berekspresi. Mungkin saya merasa jadi orang paling menderita sejagad raya. Mungkin saya hanya berlaku dramatis dan melankolis. Mungkin saya butuh perhatian.
Saya tidak tahu. Saya juga bingung.
Yang saya tahu saya ingin menulis dan inilah saya. Sedang berulang tahun, dua hari lalu. Saya dulu,
saya sekarang, dan saya nanti, adalah saya. Saya yang bertambah tua. Yang masih
mencoba menerima apa adanya diri sendiri, mengubah apa yang bisa saya ubah, dan
tabah menjalani yang tak bisa diubah. Saya yang masih belajar meresapi kesedihan yang kadang rasanya menusuk dahsyat dan mensyukuri kebahgiaan yang datang walau begitu sederhana.
Saya yang
masih berusaha sedikit terbuka terhadap diri sendiri dan orang lain.
Saya yang bertambah tua.
Bacanya sampe tahan napas saking kerennya apalagi liat resolusi2nya. Hebat euy!
ReplyDeleteAslinya lu emang suka cerita dan ngobrol ga sih? Baca tulisannya berasa gitu soalnya. #sotoy
👍👍👍👍👍👍👍👍😄
ReplyDeleteMenyentuh juga baca tulisannya, Mas Pradip. Awalnya gara-gara liat twit soal depresi kuliah di luar negeri jadi malah nyasar ke sini. Semangat terus Mas kejar mimpinya. Fail again, fail better. Ditunggu juga tulisan-tulisan selanjutnya!
ReplyDelete