Puncak Artapela, katanya, 2181 mdpl |
Februari lalu saya bersama teman-teman berkesempatan menjajal puncak Gunung Artapela di kabupaten Bandung. Gunung Artapela ini lokasinya dekat sehingga saya bersama dua orang teman yang memang senang main di alam terbuka tidak perlu repot menyocokan jadwal. Dengan semangat kemah ceria, yang artinya tidak perlu susah-susah mendaki gunung hanya untuk berkemah, yang penting tertawa bahagia tanpa keluh kesah, kami pun mengajak siapapun untuk bergabung. Saya sebenarnya agak malas bertemu dengan orang baru karena harus menyesuaikan ritme dan frekuensi perjalanan. Namun mengingat ini kemah ceria, semakin banyak, ya semakin ceria.
Saya
bukan pendaki hardcore seperti
teman-teman saya yang sakau jika setiap bulan tidak mendaki gunung dengan
ketinggian di atas tiga ribu meter dpl. Saya dan rekan-rekan, kami, seringkali
tertinggal di belakang. Kami sering disebut keong
oleh grup lain. Saya akui saya memang boyot.
Pertama karena kami memang boyot.
Kedua karena saya ingin menyadari tiap langkah saya menjejakan kaki di alam. Oh ya, saya juga bukan orang yang ceria.
Setelah tiga hari susah payah mencari
orang yang tertarik bergabung dengan kami, ada tiga orang yang baik hati bersedia bergabung
bersama kami. Teman 1 adalah teman SMA kami. Teman 2 adalah teman kuliah saya.
Teman 3 adalah teman Twitter saya. Ketiganya belum pernah mendaki gunung atau
kemah di gunung. Mereka mengaku terakhir kali kemah hanyalah di bumi perkemahan
dekat dengan tempat parkir. Saya
meyakinkan mereka kalau ini adalah kemah ceria dengan level kesulitan satu dari
lima. Mereka tak perlu khawatir akan medan yang terjal dan sulit. Saya cuma bilang mereka harus terbiasa punya pemandangan yang indah saat ingin ke belakang.
Rencana berangkat pukul sepuluh
pagi pada hari Sabtu harus diundur beberapa jam karena Teman 3 ternyata bertolak dari Tangerang Selatan sekitar pukul delapan pagi. Tak apa. Karena ini kemah ceria, saya usahakan tidak bersungut ini itu. Saya seringkali tertawa sendiri jika mengingat konsep kemah ceria yang memaksakan segalanya harus ceria. Saya tegaskan lagi saya bukan orang yang ceria.
Saya bertemu dengan Teman 1 menjelang tengah hari di Cihampelas. Kami bercakap dan dia mengaku belum pernah kemah di gunung, bahkan ini adalah kunjungannya yang pertama ke kota Bandung. Katanya ia mengambil risiko bertemu dengan orang asing (saya) karena sedang penat. Saya tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah menunggu yang lainnya cukup lama, kami berangkat pukul satu siang. Berenam kami tiba di bumi perkemahan Artapela pukul empat sore. Puji syukur di perjalanan tidak hujan dan saya pun berdoa supaya nanti perjalanan ke puncak juga ditemani langit cerah. Oh ya, agar tidak bingung, Artapela ini sejalur dengan Situ Cisanti. Kami berangkat dari Bandung lewat Ciparay dan tepat sebelum ada terminal angkot lokal (kuning), kami belok kanan menunju kampung Argasari. Sebetulnya ada beberapa jalur menuju gunung Artapela, yang kami pilih adalah yang paling banyak dilalui.
Saya bertemu dengan Teman 1 menjelang tengah hari di Cihampelas. Kami bercakap dan dia mengaku belum pernah kemah di gunung, bahkan ini adalah kunjungannya yang pertama ke kota Bandung. Katanya ia mengambil risiko bertemu dengan orang asing (saya) karena sedang penat. Saya tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah menunggu yang lainnya cukup lama, kami berangkat pukul satu siang. Berenam kami tiba di bumi perkemahan Artapela pukul empat sore. Puji syukur di perjalanan tidak hujan dan saya pun berdoa supaya nanti perjalanan ke puncak juga ditemani langit cerah. Oh ya, agar tidak bingung, Artapela ini sejalur dengan Situ Cisanti. Kami berangkat dari Bandung lewat Ciparay dan tepat sebelum ada terminal angkot lokal (kuning), kami belok kanan menunju kampung Argasari. Sebetulnya ada beberapa jalur menuju gunung Artapela, yang kami pilih adalah yang paling banyak dilalui.
Karcis masuk seharga lima belas
ribu rupiah perorang dengan tiket parkir lima ribu permotor dan sepuluh ribu
permobil. Kendaraan pribadi bisa dititip dengan aman kepada petugas. Saya
menemui petugas untuk registrasi pendakian. Menurut petugas, jarak tempuh ke
puncak bisa memakan waktu dua jam kurang tanpa membawa beban berat. Namun
normalnya berkisar antara tiga hingga empat jam. Saya perkirakan waktu paling
lama bagi kami tiba di sana kurang dari luma jam. Satu yang paling penting
untuk diingat adalah jangan meninggalkan barang berharga di tenda karena banyak
kasus pencurian.
Kami menuju mesjid yang tak jauh
berada dari pos pendakian untuk istirahat sekejap sebelum memulai pendakian. Pukul lima sore kami mulai
mendaki, dengan ceria tentunya.
Sayangnya keceriaan harus sirna dalam tiga puluh menit pertama karena kami nyasar.
Betul.
Nyasar.
Saya tak bisa menahan tawa karena walaupun dibekali peta (dengan skala dan tanda seadanya), kami ternyata masih nyasar selama tiga puluh menit. Untung ada ibu petani yang mengarahkan kami untuk lewat jalur yang betul yaitu jalur bawah. Jadi, sebelumnya, tak jauh dari mesjid kami melewati gapura dan dihadapkan pada percabangan: jalan pematang sawah yang menanjak atau jalan besar yang dipenuhi lumpur. Seharusnya kami tetap menyusuri jalan besar tapi kami memilih jalan menanjak. Lucunya lagi, selama tiga puluh menit kami nyasar itu ada satu rombongan yang mengikuti kami.
Sayangnya keceriaan harus sirna dalam tiga puluh menit pertama karena kami nyasar.
Betul.
Nyasar.
Saya tak bisa menahan tawa karena walaupun dibekali peta (dengan skala dan tanda seadanya), kami ternyata masih nyasar selama tiga puluh menit. Untung ada ibu petani yang mengarahkan kami untuk lewat jalur yang betul yaitu jalur bawah. Jadi, sebelumnya, tak jauh dari mesjid kami melewati gapura dan dihadapkan pada percabangan: jalan pematang sawah yang menanjak atau jalan besar yang dipenuhi lumpur. Seharusnya kami tetap menyusuri jalan besar tapi kami memilih jalan menanjak. Lucunya lagi, selama tiga puluh menit kami nyasar itu ada satu rombongan yang mengikuti kami.
Pemandangan Saat Maghrib, tiga puluh menit setelah nyasar |
Pemandangan desa Argasari ini
tidak mengecewakan. Menjelang senja, hamparan sawah-sawah terlihat indah
diselingi beberapa sutet. Saat Maghrib tiba kami istirahat mengambil napas.
Kami sempat berfoto-foto sambil mengunyah kudapan. Beberapa pendaki lain
menyapa dan melewati kami. Satu jam kemudian medan mulai menanjak dan beberapa
dari kami mulai kewalahan. Kami menambah interval istirahat jadi lima belas
menit sekali. Meski demikian, salah satu teman kami mengalami kram. Karena takut tidak mendapat tempat di puncak nanti, saya membagi tim jadi dua. Satu
berangkat duluan. Satu lagi jalan santai menemani teman yang kram. Saya berada
di tim kedua.
Teman yang mengalami kram ini ternyata baru seminggu keluar dari rumah sakit. Saya dan teman saya yang lain menyemangatinya. Sudah lama juga ia tidak berolahraga, tuturnya. Karena ia mengalami kram berulang kali, saya sering memijat kakinya dan memberinya kayu putih dan salep penangkal kram. Ia berulang kali meminta maaf karena merasa menghambat perjalanan. Saya juga berulang kali meyakinkannya bahwa tidak perlu ada yang dimaafkan karena ini adalah kemah ceria. Yang terpenting adalah menikmati perjalanan. Saya sering kali mendistraksi rasa sakitnya dengan pemandangan kota malam hari dengan lampu yang kerlap kerlip. Bahkan beberapa bintang juga ikut terlihat malam itu.
Perlu saya luruskan bahwa level
kesulitan Artapela adalah dua bagi pemula. Bukan satu. Saya sendiri ngosh-ngoshan bawa tas kerir 60 liter penuh dengan tenda. Selama di
perjalanan kami sering berhenti untuk ngemil atau sekadar minum. Akhirnya teman
saya itu terbiasa dengan rasa kram dan dingin yang dari tadi ia rasakan. Buat saya
malam itu tidak terlalu dingin. Saya hanya mengenakan celana pendek, kaos
oblong, dan sendal gunung.
Kami tiba di puncak Artapela
pukul setengah dua belas malam. Satu jam lebih lama dibandingkan tim pertama.
Ternyata di puncak sudah ramai oleh pendaki lain. Untung tim pertama menemukan
spot yang sangat strategis untuk berkemah dan memasang hammock. Kami membawa dua tenda. Satu tenda untuk pria, satunya
lagi untuk perempuan. Setelah memasang tenda dan hammock, kami mulai memasak ayam goreng, sosis, dan mie rebus.
Bagian yang paling saya sukai. Kami juga mulai mengobrol tentang apa saja yang ringan-ringan mulai dari pengalaman naik gunung, pelakor, hingga perintilan yang sering dibawa kemah, termasuk tenda saya yang legendaris karena masih bisa dipakai dari sejak saya SMA. Tenang, jodoh bukan topik yang ringan, jadi kalau kemah bersama kami, topik yang satu itu pasti kami hindari. Kami juga menyetel musik sambil menyeruput kopi, susu, ataupun teh panas menunggu gigil malam semakin terasa. Setelah perut kenyang, kami masuk tenda
masing-masing. Hampir pukul dua teman-teman sudah terlelap. Sementara saya
masih melek menulis jurnal hingga akhirnya tertidur.
Sejam kemudian saya terbangun
oleh suara-suara di luar tenda. Seperti ada suara yang sedang mengais-ngais
sampah atau apapun itu. Saya perhatikan dari dalam tenda karena suara itu bukan
suara binatang seperti anjing atau monyet yang biasanya mencari makan di
sekitar tenda. Teman 2 di tenda satunya pun mengirim pesan singkat berisi
dia mendengar sesuatu di luar tenda. Saya meyakinkannya bahwa itu hanyalah
suara binatang. Lama kelamaan saya mendengar suara resleting luar tenda dibuka.
Saya belum merasa takut karena di puncak sedang ramai orang dan barang-barang
berharga ada di dalam tenda semua. Termasuk sepatu dan sendal kami. Di dalam tenda pun kami berempat.
Sekitar pukul empat lewat suara tersebut hilang dan saya bisa memejamkan mata.
Sekitar pukul empat lewat suara tersebut hilang dan saya bisa memejamkan mata.
Pagi hari saya terbangun karena lapar dan haus. Namun persediaan minum tinggal sedikit. Para pria berinisiatif pergi mengambil air dari mata air yang tak jauh berada di bawah lokasi kemah kami. Jalan lima belas menit, kami menemukan mata air kecil yang tidak mengalir. Dari warna cukup meyakinkan untuk diminum. Saat saya coba ternyata saya olab. Kandungan besi masih terasa sehingga harus dimasak dahulu. Berbeda dengan beberapa mata air yang pernah saya singgahi. Airnya terasa segar dan bisa langsung diminum.
Beres mengambil air kami membuat
sarapan. Saat membuat sarapan, dua petugas menghampiri kami dan bertanya apakah
kami kehilangan sesuatu. Saya menjawab saya mendengar suara aneh subuh tadi.
Ternyata penghuni tenda sebelah kehilangan sepatu gunungnya yang ia simpan
di luar tenda. Katanya sepatu itu masih baru dan bernilai tak kurang dari satu
juta rupiah. Petugas juga sempat bilang bahwa ada satu tenda yang berisi enam
hingga delapan orang yang subuh tadi sudah berkemas dan pulang melalui jalur
lain. Karena tidak ada bukti siapa yang mengambil, bisa saja pendaki lain, bisa
juga warga lokal, yang perlu diperhatikan adalah kewaspaan dan kehati-hatian.
nge-hammock |
Kenyang sarapan cireng, sosis, kerupuk,
roti, dan mie goreng. Lantas kami berfoto-foto dengan latar pemandangan
lansekap cantik yang kadang diselimuti kabut. Sebetulnya Artapela ini bukanlah
puncak sejati dari satu gunung. Malah sebagian orang menyebutnya bukit. Puncak
sejatinya masih ada dua jam dari puncak yang kami tempati saat ini. Saat saya
menanyakan ketinggian puncak ke petugas, ia menjawab sekitar 2000 mdpl dengan
tidak yakin.
Sarapan di gunung gak jauh dari mie instan |
Menjelang tengah hari dan khawatir hujan, kami mulai membongkar tenda dan berkemas pulang. Perjalanan turun hanya memakan waktu tiga jam kurang. Hanya saja tiga puluh menit menuju pos pendakian, kami sempat dihadang gerimis. Kami tiba di mesjid dekat pos pendakian sekitar pukul dua lewat tiga puluh siang. Sebelum pulang, saya sempat membuat testimoni dari teman-teman yang baru pertama kali naik gunung:
Jadi, kapan kemah ceria di Artapela?
Comments
Post a Comment