Ramadan Jauh dari Rumah

Tempat nongkrong favorit

Menjalani bulan Ramadan di kampung halaman selalu terasa menyenangkan. Ada secuil perasaan lega karena bisa berkumpul dengan keluarga dan hal-hal familiar lainnya: jajanan takjil menjelang magrib, orang berbondong datang salat tarawih, ajakan buka bersama, dan perayaan Lebaran. Sudah lima kali saya habiskan hari Lebaran di luar rumah. Dua di antaranya di luar negeri. Bagi banyak orang rantau puasa jauh dari keluarga adalah satu kebiasaan. Ada pula yang kebiasaannya tidak pulang menemui keluarga, bukan karena apa-apa, tapi ya karena memang sudah tidak ada keluarga. 


Ramadan tiap tahun membawa kesan berbeda. Terkadang berlalu begitu cepat karena pekerjaan yang menumpuk. Lewat begitu saja. Biasa saja.

Ada momen bulan Ramadan menjadi sangat memilukan karena nenek yang merupakan figur penting dalam hidup saya meninggal tepat pada saat hari lebaran tahun sebelumnya. 

Beberapa kali bulan Ramadan lewat dengan perasaan menyesal karena seperti ada di depan mata tapi tidak bisa memeluk sepenuhnya. 

Ada juga momen merindu bulan Ramadan seperti merindu kekasih yang sudah lama tak bertemu.

Menjalani puasa sebagai minoritas di negara sekular ternyata memberikan pelajaran yang sangat personal. Beberapa tahun lalu saya habiskan puasa di negeri Kincir sebagai pelajar yang rutinitas sampingannya tak jauh dari tidur, main, dan bergerombol. Tepat tahun lalu yaitu 2017 saya habiskan Ramadan di negeri Kanguru sebagai pelancong yang sedang dalam pencarian entah itu apa. Juga tahun lalu kami hanya bertatap muka dari kejauhan saja.

Saat itu hari pertama puasa hati berdebar kencang karena gentar takut tak kuasa berpuasa sambil bekerja. Saya biasa bekerja delapan hingga sepuluh jam per hari sebagai staf housekeeping/houseman di satu hotel terkenal di Darwin, Northern Territory. Pekerjaan yang sebetulnya biasa saja karena banyak orang melakukannya. Tapi buat saya yang baru mencicipi pekerjaan dengan tuntutan fisik yang begitu tinggi, pekerjaan ini sangat melelahkan dan sering membuat kewalahan. Pada hari sibuk biasanya saya harus bergerak cepat dan seefisien mungkin membersihkan kamar hotel dengan target dua puluh menit, sebersih atau sekotor apapun kamar itu, harus selesai sesuai dengan standar hotel yang sangat tinggi dan fokus terhadap detil. Kadang saya menghabiskan tiga botol air minum selama melakukan pekerjaan.

Tarawih berjamaah pertama jelas saya lewatkan karena masjid terdekat berjarak satu jam menggunakan kendaraan umum dan kadang bus sudah tidak beroperasi setelah jam sembilan malam. Darwin adalah kota yang sepi. Suasana dan arsitektur bangunannya mirip Jakarta tahun 70an (yang saya tahu dari Google). Sahur pertama saya manfaatkan mengisi perut hanya dengan cereal, susu, dan pisang. Terlalu lelah untuk membuat makanan atau sekadar mi instan. 

Hari pertama puasa saya sudah menyiapkan botol air minum untuk jaga-jaga kalau tidak kuat. Saat itu Darwin sedang di ujung musim kemarau dan cuaca menjadi sangat panas tanpa angin yang bersemilir. Ada beberapa alasan yang sengaja dicari-cari untuk membulatkan tekad puasa. Salah satunya, karena bekerja di tempat berpendingin ruangan dan hal itu membuat saya harus bersyukur dibandingkan teman-teman yang bekerja di ladang atau peternakan buaya selama sepuluh jam sehari di bawah matahari yang menyengat dan gagal puasa selama setengah bulan karena panas dan dehidrasi yang membayang. Lainnya, banyak teman di Bandung dan Karawang yang bekerja sebagai buruh pasar dan pabrik tapi tetap masih puasa dengan bersahaja. Ini perkara mau atau tidak mau saja, pikir saya.

Jam-jam awal saya lalui dengan aman. Saat istirahat makan siang, saya hanya salat dan duduk di dalam ruang ganti pria lalu tidur selama tiga puluh menit. Beberapa teman lokal penasaran bertanya mengapa saya mau puasa saat melakukan pekerjaan yang mereka anggap berat. Saya hanya menjawab itu bagian dari apa yang saya percaya dan banyak orang yang hidup dengan kondisi lebih berat namun tetap berpuasa. Beberapa bertanya mengapa saya puasa sementara teman saya yang lain tidak. Teman saya menjawab sambil becanda, "Dip wants a virgin in heaven later he dies." 

Teman saya itu seorang muslim dan ia juga dari Indonesia. Saya tidak bertanya mengapa ia tidak berpuasa hingga akhirnya ia bercerita sendiri. Secara sederhana ia berpikir tidak akan kuat menjalani puasa dan berniat menggantinya dengan fidyah. Sambil becanda, saya membalas bahwa fidyah adalah keringanan untuk orang tua renta, orang sakit parah, atau wanita hamil. Mukanya langsung berubah masam.

Jam-jam setelah makan siang adalah jam terburuk. Pekerjaan berlipat berat karena banyak permintaan dari tamu hotel dan tugas tambahan sementara waktu untuk membersihkan kamar tidak bertambah. Kadang saya harus bergerak, bahkan berlari kecil, terus menerus selama empat hingga lima jam. Untung saya suka olahraga, jadi hal itu sedikit membantu.

Permasalahan terbesar adalah saat membersihkan kamar yang berantakan seperti baru saja kiamat. Bekas makanan di seluruh ruangan, kasur yang acak-acakan, kamar mandi banjir oleh handuk basah, dan cairan-cairan lengket melekat di meja. Waktu dua puluh menit jelas tidak cukup tapi mengeluh kepada sistem hanya akan membuang waktu dan tenaga. Beberapa teman yang juga pelancong sering mengeluhkan hal ini sebagai ketidakadilan dalam bekerja. 

Belum lagi supervisor kami yang mood-nya sangat labil dan emosional. Satu hari ia pernah memarahi saya gara-gara tidak becus membersihkan meja. Padahal meja itu sudah saya bersihkan lebih bersih dari badan sendiri. Hari lain, saat sedang bekerja, ia membuntuti saya dan meminta saya mengajarinya bahasa Inggris setelah melihat saya di Youtube dan mengetahui pekerjaan saya sebelumnya. Jujur, bahasa Inggrisnya di luar harapan walaupun ia sudah hidup dua puluh tahun di Australia. Ia pernah menyuruh saya untuk me-vaaaam. Vaaaam. Rupanya vacuum. Mengisi soulnayzer. Soulnayzer. Maksudnya sanitizer

Pada hari biasa saya mungkin bisa mengatasinya dengan baik tapi pada puasa koordinasi tubuh kadang menjadi berantakan dan emosi luluh lantak. Akhirnya yang ada di pikiran hanyalah sop es buah dan cendol Elisabet. Dengan kepadatan seperti itu dan makanan di pikiran yang menjadi semangat tambahan, waktu berjalan cepat. Saat paling bahagia adalah saat shift berakhir. Saya selesai pukul lima sore dan langsung bergegas ke Wollies untuk beli bahan-bahan untuk membuat sop buah dan ayam goreng. Di rumah, saya bereskan masakan itu dalam lima belas menit dan tertidur karena letih. Masih bisa saya bayangkan bibir kering mengelupas dan tenggorokan kesat membuat tidur di lantai di bawah pendingin ruangan menjadi sangat nikmat. Beberapa teman malah menasihati saya untuk berbuka saja dan bolos puasa melihat kondisi saya yang kepayahan. 

Di Australia, waktu sahur dan buka tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Di Northern Territorry malah hanya beda tiga hingga empat puluh menit dengan di Indonesia. Tidak jarang saya tertidur lewat buka puasa dan bangun tiga puluh menit setelah adzan Maghrib. Hari-hari pertama berhasil saya lalui dengan susah payah.

Hari-hari berikutnya menjadi lebih ringan. Saya mulai terbiasa dengan ritme kerja sambil puasa. Ada hari-hari sangat menguras tenaga dan emosi, ada hari-hari yang dipenuhi tawa. Ada kalanya salat tarawih berjamaah dengan komunitas muslim Indonesia menjadi hal yang mewah. Saya sempat tiga kali pergi ke konsulat untuk salat tarawih berjamaah. Tentu karena hidangan buka puasa di sana juga mewah. Dan gratis. Oh ya selama di Darwin, saya sempat jadi koresponden berita kantor yang dulu. Ada berita yang sempat ditayangkan, salah satunya ini:

Puasa di Darwin


Di sana ada juga ceramah dan diskusi yang seru untuk disimak. Termasuk pertanyaan dari teman-teman yang ingin mengganti puasa dengan fidyah, bukan dengan menggantinya di luar bulan puasa. Saya tahu betapa malasnya mengganti puasa Ramadan di bulan lain. Jawaban ustad itu kurang lebih seperti ini,

“Mencari nafkah itu perlu namun kewajiban puasa Ramadan juga perlu dihargai. Sekiranya dirasakan berat, boleh berbuka puasa dan diganti dengan puasa di luar bulan Ramadan, bukan dengan fidyah. Terkait sulit atau tidak, itu bergantung sejauh mana ketahanan dan tekad kita untuk bertahan. Kalau sudah membahayakan nyawa, barulah berbuka.”

Beberapa teman terlihat kecewa. Walau sesama pelancong, sebagian besar dari mereka sudah ada yang tinggal lebih dari sebulan. Jadi tak bisa dikatagorikan ke dalam musafir. Tapi menurut saya logis juga. Selama masih kuat, ya jalani saja toh. Saya percaya kita tidak diberi persoalan yang melebihi kemampuan kita. Sejak itu tekad jadi meluap-luap dengan menyemangati diri,

“Selama belum hampir mati, ya jalani aja. Kalau keburu mati, ya nasib.”

Akhirnya tiga puluh hari berlalu dan tiba di hari Lebaran. Sayangnya saya tidak dapat jatah libur jadi harus masuk kerja. Agak sedih juga melewati Lebaran sama seperti hari lainnya. Terlebih saat saya melakukan panggilan video dengan keluarga di Bandung. Terlontar pertanyaan semacam: makan kupat gak? Ada rendang gak? Salat Ied di mana? 

Yang hanya bisa saya jawab dengan mata berkaca-kaca. Eh tapi untung juga gak ada yang nanya kapan nikah. 

Untuk Ramadan kali ini saya punya kesempatan untuk memanfaatkan waktu lebih baik lagi. Walau terdengar mudah, kenyataannya sangat sulit untuk dipraktikan. Saat luang, saat sibuk, selalu merasa kurang. Dan memang tahun ini saat sedang banyak waktu luang (baca: pengangguran), celakalah saya jika membuang waktu ini begitu saja. Semoga.




Comments