Tak lebih dari setahun lalu saya berkesempatan untuk ikut kursus menyelam perairan terbuka (open water) di Bali tepatnya di Geko Dive Center, Padangbai. Untuk mendapatkan lisensi PADI ini saya perlu mengeluarkan biaya sekitar enam juta rupiah untuk kursus tiga hari belum termasuk akomodasi, hanya makan siang dan minuman komplementer. Ada kopi dan teh yang bisa dituang sendiri sepuasnya. Saya sempat riset harga dan harga tersebut memang standar kursus menyelam di Bali. Padangbai menjadi pilihan karena jauh dari destinasi wisata yang ramai. Sebelum memesan, saya sudah menyocokan jadwal dan juga keberangkatan. Kadang perlu menunggu lama agar kelas bisa dibuka atau harus masuk daftar tunggu.
Geko Dive Center
Hari pertama saya datang agak telat. Kelas dimulai pukul 8 pagi, sementara saya baru tiba pukul 11 pagi karena harus berkendara dari Kuta ke Padangbai yang memakan waktu dua jam. Saat menghampiri resepsionis pusat selam Geko, ada tawaran untuk menggunakan pemandu lokal atau luar. Pemilik resor ini ternyata orang Perancis yang manajernya juga orang Perancis. Saya berkelakar pakai bahasa Perancis, "Je voudrais choisir fabriqué en Indonesie, SVP."
Manajer menjawab, "Il est exactement fabriqué en Bali." Saya memilih untuk dipandu instruktur lokal dan ternyata ia bernama Made. ROTFL. Made menawarkan untuk istirahat dulu namun saya bergegas meminta untuk memulai kelas secepatnya karena sudah lumayan telat. Hari pertama hanya mengulas seputar teori dunia penyelaman hingga pukul empat sore.
Made, instruktur selam yang ramah, Istrinya juga ikut kerja di situ.
Jangan lupa ngasih tip kalau diajar doi.
Hari kedua dimulai jam 8 dengan mengulas ulang apa yang sudah dipelajari hari sebelumnya dengan sedikit tambahan teori. Setelah selesai semua teori, Made memberikan ujian tertulis sebelum mulai latihan di kolam. Ujiannya tidak terlalu sulit karena berupa pilihan ganda dan isian singkat. Namun perlu ketelitian karena soalnya banyak. Saya salah menjawab beberapa pertanyaan karena kurang cermat. Hasil ujian langsung bisa diketahui karena langsung diperiksa setelah selesai. Yang penting bisa di atas nilai 80. Kalau gagal, ujian bisa diulang kembali jeda waktu beberapa jam.
Menjelang siang kami mulai masuk ke sesi kolam renang. Jantung ini terasa berdebar kencang. Padahal masih di kolam. Salah satu syarat mengambil lisensi penyelaman terbuka ini adalah bisa berenang dan mengambang selama 10 menit. Saya suka berenang dan mengambang, jadi bukan masalah besar. Setelah mengenakan pakaian selam beserta tabungnya, saya siap menyelam. Saat menyentuh air, perut saya tiba-tiba mulas diikuti impresi tenggelam saat kepalaku hilang ditelan air.
Puluh tahun lalu
Saat SMP saya tidak bisa berenang sama sekali. Berenang membuat saya membenci pelajaran olahraga. Tapi hal itu tak membuat saya mundur untuk mendapat nilai bagus. Secara teoritis semua guru olahraga membuat berenang terdengar mudah. Namun praktiknya betulan susah. Dari tiga gaya diajarkan waktu SMP, saya hanya bisa gaya bebas saja. Itupun saya lakukan dengan keliru. Yang penting maju.
Suatu hari di penghujung kelas tiga, salah satu tes olahraga adalah mengambang di kolam renang ukuran olimpik di Karang Setra, sebuah wahana rekreasi air di Bandung terkenal dengan perosotan naga yang seakan tak ada ujungnya. Plus terkenal ada siletnya. Tapi seru. Bikin nagih. Ternyata diketahui saya yang kuper ini bahwa Karang Setra memiliki kolam ukuran olimpik. Selama ini kami hanya berenang di kolam yang dangkal.
Pak guru menjelaskan bahwa yang bisa mengambang di kolam olimpik tersebut kontan mendapatkan nilai minimum 85 di rapor. Perut saya mendadak mulas. Saya buruk dalam berolaharaga, tapi mendengar nilai 85 seakan menjadi penebusan dosa untuk pelajaran olahraga. Tapi berenang saja ngasal, apalagi mengambang.
Pak guru menambahkan keseruan dengan membeberkan syarat mendapatkan angka 85: bisa mengambang minimal 10 detik saja dan harus berjarak dua meter dari tepi kolam. Hanya 10 detik. Hanya dua meter dari tepi kolam. Hanya dua meter dalamnya. Dalam penjelasan berikutnya, pak guru menunjuk tali tambang yang menggenang di air dengan ujung paku dan bola plastik kecil. Katanya kalau merasa mau tenggelam, tinggal raih paku tersebut. Saya ingin merasa aman dengan adanya tali tambang tersebut tapi mendengar kata tenggelam perasaan saya sudah ciut duluan. Alternatif lain adalah berenang di kolam dangkal. Kalau beruntung bisa terlihat seperti berenang bisa dapat maksimal nilai 70. Tawaran yang tidak menarik. Saya perlahan meyakinkan diri bahwa kegiatan olahraga ini pasti aman, ya kan?
Saat eksekusi dimulai, siswa yang atlet dan jago berenang mulai duluan. Satu persatu loncat ke dalam kolam sementara perutku semakin mulas tak karuan. Tak terasa tiba giliran siswa-siswa yang biasa saja. Kami dipanggil secara alfabetis. Saya belakangan. Beruntung dipanggil belakangan karena saya punya banyak waktu untuk bolak-balik mengosongkan perut di toilet tapi rasa mulas ini tidak kunjung reda.
Hingga tiba giliran saya. Ada keraguan yang terus menjalar di ubun-ubun. Namun keraguan itu terbendung oleh dua angka:
85.
Saya mengulang-ulang kedua angka itu hingga itu saja yang ada di kepala. Teknik ini sepertinya berhasil karena tiga detik kemudian saya mengambil jarak untuk loncat. Keberanian (atau kenekatan) yang mendorong kaki ini untuk berlari dan loncat.
Untuk sekejap saja di udara, ada perasaan gembira yang meluap. Kegembiraan itu tentunya lenyap saat kaki menyentuh air.
Byuuuur.
Tubuh ini dengan pasti dilahap air kolam hingga kaki menyentuh dasar kolam. Dari bawah saya bisa melihat orang-orang di tepi kolam menonton saya yang menonton mereka seperti menonton televisi dengan layar yang bergelombang. Kaki secara naluriah mendorong dasar kolam untuk buru-buru sampai di permukaan. Saya kepayahan untuk mengeluarkan kepala dari air namun memaksakan diri mulai menghitung sampai sepuluh detik dengan tetap berusaha sekuat tenaga untuk mengambang dengan menendang kaki ke segala penjuru air dan kedua tangan gelagapan meninju-ninju udara.
Sepuluh detik yang terasa lama. Sudah berapa kali mulut menelan air kolam bau kaporit. Menjelang detik sepuluh kaki mulai kram dan nyeri saat digerakan. Saya mulai kehilangan napas. Tubuh ini perlahan menyerah.
Aku tenggelam.
Yang bisa saya lihat hanya pak guru yang menggerakan tangannya dan menunjuk paku bertali yang disebutkan sebelumnya. Saya berusaha meraih paku itu beberapa kali tapi gagal. Napas sudah hilang dan refleks saya membuka mulut. Dalam keadaan panik, entah seperti apa, kaki dan tangan bekerja sama hingga akhirnya kepala menyembul di permukaan. Saya raih bola plastik yang mengambang dan pak guru menarik saya yang sudah kepayahan.
Orang-orang tetap sibuk dengan diri mereka sendiri dan tak mempermasalahkan saya tenggelam karena mereka berpikir sepertinya saya tidak tenggelam. Saya terbatuk berulang kali dan mengeluarkan air dari mulut. Perut penuh dengan air dan terasa kembung. Perkara ketakutan dan perasaan tenggelam, saya diam saja. Saya memastikan kepada pak guru bahwa saya mendapatkan 85. Memang betul di rapor, nilai olahraga saya menjadi 90.
Efek yang tak saya sadari setelah itu adalah saya menjadi takut berenang. Hal ini saya ketahui setelah masuk SMA dan menemui pelajaran renang lagi. Untungnya sekolahku dekat dengan kolam renang & pemandian Cihampelas. Tak perlu ada kenangan Karang Setra. Namun begitu, saat mendekati kolam, perut saya mulai mulas dan kejadian tenggelam mulai membayang. Sangat jelas, seperti memutar ulang lagu kesayangan atau film kesukaan. Padahal kolam yang digunakan adalah kolam dangkal.
Butuh waktu bertahun-tahun agar saya bisa kembali ke kolam renang dan memberanikan diri masuk ke kolam dalam. Kesibukan setelah SMA membuat saya lupa renang. Hingga satu waktu saat kuliah saya dikirim ke Semarang oleh kantor untuk menyertai tim promosi suatu produk. Saat di hotel, saya penasaran dengan kolam renang hotel yang bagus. Saya hanya duduk-duduk saja karena sudah bisa ditebak perut sudah mulas sejak berada di pinggir kolam. Ada beberapa teman tim yang sedang berenang di pinggiran kolam. Satu di antaranya yang menggunakan ban memberanikan diri ke tengah kolam yang berkedalaman berbeda. Entah bagaimana, ban yang melingkari tubuhnya terlepas dan ia meronta-ronta. Sontak seperti ada kenekatan yang kembali terulang dengan iming-iming nilai, saya loncat ke kolam. Saya sama sekali tak berpikir. Tindakan itu seperti refleks kaki dan tangan. Saat berada di dalam kolam, saya tak menyadari tubuh saya mengambang. Kaki bergerak sendiri dan tangan meraih kepala teman yang hampir tenggelam dan menyenderkannya ke ban yang ia gunakan. Setelah ia kembali dilingkar ban, saya baru sadar bahwa dalamnya kolam itu masih setinggi telinga dan saya masih bisa jengket.
Semenjak kejadian itu saya mulai kembali mencoba kolam dalam. Perlahan hanya di tepian. Perlahan mencoba menyebrang lintas pendek yang ternyata membuat saya sangat kelelahan karena saya belum bisa mengambang sempurna sehingga harus memaksakan diri untuk terus maju ke tepian. Butuh waktu lama hingga saya bisa pindah menyebrangi lintasan panjang kolam olimpik. Dari yang hanya setengah putaran persesi, menjadi 20 putaran persesi. Dari yang hanya bisa mengambang 3 menit persesi, menjadi 45 menit persesi. Dari yang kram bertubi-tubi dan kehabisan napas, menjadi terbiasa. Mungkin semua memang bisa karena terbiasa.
Menyelam
Lama kelamaan berenang menjadi candu. Ada momen yang dirindukan saat memasukan kepala ke dalam air. Ketenangan yang membuat suara di kepala lebih jelas terdengar. Kebisingan yang terdengar tunggal. Ketakutan-ketakuan hidup yang diredam kesunyian.
Begitupun saat latihan menyelam, sensasi tenggelam lama kelamaan berubah menjadi keseruan. Saat menyentuh dasar kolam, saya terbiasa dengan ketakutan sendiri. Ketakutan akan hal baru, bagaimana jika tabung gas keburu habis, bagaimana jika salah prosedur, bagaimana ini, bagaimana itu.
Hari kedua kelas kolam ditutup menjelang pukul lima sore. Saya kelelahan luar biasa. Sesampainya di kamar hotel, saya langsung tidur tanpa basa-basi. Bangun-bangun naga dalam perut sudah keroncongan.
Hari ketiga, kami memulai penyelaman di laut. Di perahu saya bergabung dengan kakek-kakek dari Belanda dan Jerman. Mereka penyelam profesional dan sudah beberapa kali menyelam di Padangbai. Mereka memuji-muji kekayaan alam bawah laut Indonesia. Kami melakukan empat kali penyelaman.
Penyelaman pertama, Made membuat beberapa catatan untukku. Katanya, saya tidak bisa diam. Hal ini membuat saya sulit melakukan streamlining tubuh yang akibatnya konsumsi tabung gas menjadi lebih besar dan lebih cepat habis. Ia berkata, "Mas ini gak bisa diam kalau di air. Seperti anak kecil." Saya memang tak bisa menyembunyikan muka gembira. Bagaimana bisa diam, saat pertama kali melihat dunia bawah laut, saya sangat terpana dengan dunia yang berbeda sama sekali dengan yang biasa saya lihat. Kadang saya mengikuti ikan yang hanya saya lihat di gambar. Atau terpaku melihat terumbu karang. Inilah pentingnya teman selam atau dive buddy yang senantiasa saling mengingatkan. Beberapa kali di bawah laut, Made meminta saya membersihkan kaca mata selam dan melakukan pergantian tabung darurat. Saat melepas kaca mata itu, pandangan saya jadi blur. Saya merasakan hening dan seketika ingin menangis tapi tak bisa.
Penyelaman kedua hingga keempat berlangsung lebih baik. Hanya saja penyelaman keempat berakhir dengan hidung mimisan. Baru saya ketahui setelah di permukaan. Awalnya saya takut darahk bisa mengundang hiu hingga buru-buru saja saya naik ke perahu. Katanya ini akibat equalizing yang terburu-buru. Tapi Made memastikan darah yang tidak begitu banyak tidak akan mengundang hiu dari kejauhan. Ia juga meyakinkan saya bahwa titik selam untuk lisensi perairan terbuka termasuk perairan dangkal bagi area jelajah hiu.
Kakek-kakek itu memberikan saya selamat dengan sebotol minuman. Mereka bercerita pengalaman pertama mereka yang menegangkan. Kata kakek Belanda, ia sangat takut dengan kedalaman sehingga ia tidak bisa menjaga buoyancy-nya. Kakek Jerman bilang pertama kali menyelam ia sangat takut membuka kaca mata selam. Ia takut tak bisa bernapas. Sementara saya merasa baik-baik saja dengan pernapasan. Selama saya menghirup tabung gas, saya merasa hidung saya hilang. Jadi saat melepas kaca mata selam pun tak terlalu sulit bagiku. Yang jelas pandangan jadi blur karena mata ini minus dan silindris.
Perdana
Saya menyadari bahwa tiap kegiatan yang berhubungan dengan alam memiliki unsur detoksifikasi diri. Seharusnya memang begitu. Saat berenang, pikiran menjadi tenang. Setelahnya badan jadi relaks. Sama halnya seperti naik gunung. Tiap koridor hutan dan kanopi hijau yang saya lewati menarik saya ke dalam pusaran kilasan lalu. Kadang menyenangkan, kadang menyedihkan. Yang jelas, kegiatan seperti ini teramat sangat disayangkan jika hanya menuai lelah dan foto belaka. Tanpa menghargai alam atau memaknai perjalanan diri sendiri. Mungkin itu sebabnya banyak yang pergi ke alam tapi masih buang sampah sembarangan. Banyak yang pergi ke alam tapi tak ada beban yang berkurang.
Saya pun bukan penyelam andal apalagi profesional. Tak ada juga niatan untuk jadi atlet. Saya hanya menyukai momen tenang di dalam air. Berenang kecipak kecipuk mengamati sinar matahari yang menerobos lewat permukaan kolam. Atau memandang langit mendung sambil mengambang. Mendengar bunyi gelembung tabung gas yang renyah. Atau menikmati desiran ombak yang kuat menghempas pantai. Terpana oleh dunia bawah laut yang sama sekali berbeda. Dan mecoba menangkap perasaan lega dan reda saat kembali ke daratan. Itu yang saya lakukan. Ingin rasanya semua rasa itu saya masukan ke dalam sebuah toples agar saya bisa buka tiap saat.
Ini beberapa momen bersentuhan dengan air:
Hingga saat ini perasaan mulas itu masih ada; saat mendekati pantai, saat memasukan kaki ke kolam renang. Mungkin karena sudah terbiasa, setidaknya ada momen mulas itu perlahan mereda atau tiba-tiba hilang begitu saja digantikan adrenalin. Malah saya cukup senang saat ada perasaan mulas itu karena selalu berpasangan dengan perasan kelojot gembira.
Baru baca tulisan ini dan langsung membayangkan bahagianya ada di dasar laut dangkal. Thank u for sharing kak!
ReplyDelete