Sadar Ruang


Sadar Ruang


Berantakan, 2017


Masa kecil saya diwarnai beberapa kepindahan kediaman, setidaknya lima kali. Kepindahan terakhir sekitar tahun 2009 akhir adalah yang paling emosional untuk saya. Saat itu tahun kedua kuliah dan saya sudah bersarang dengan nyaman dalam waktu yang paling lama di rumah tersebut. Banyak sekali kenangan manis dan pahit tumbuh dan menempel bersama hari-hari di rumah tua itu. Alasan lainnya, praktis karena letaknya strategis di tengah kota Bandung. Pindah dari rumah itu seperti meninggalkan bagian diri yang paling mendasar: masa kecil dan kenangan yang membentuknya.


Kepindahan saya ke rumah di suburban Bandung menjadi alasan saya untuk tak pernah diam di rumah. Kala itu saya pulang kuliah atau kerja hanya untuk menukar baju kotor dengan baju bersih. Kadang tidur sejam atau dua jam untuk kemudian beranjak pergi. Menempati sudut baru di rumah seperti masuk ke dalam keterasingan yang membuat saya alergi dengan perasaan betah di rumah. Saya sempat bicara dengan orang tua serta saudara-saudara saya, mereka merespon bahwa perasaan itu akan berembus seperti angin lalu. Tak perlu dibesar-besarkan, kata mereka. Padahal saya yakin mereka juga setidaknya bersedih seperti saya, terutama adik saya yang bungsu. Saat itu tahun terakhirnya di sekolah dasar dan ia harus bolak balik pulang pergi selama 40 menit sekali jalan ke sekolah. Pernah suatu waktu ia pulang menangis karena tak ada yang ingat untuk menjemputnya. Kala itu giliran bapak. Tapi adik saya berhati besar, ia lupa begitu saja. Tak diambil pusing sambil berkata, “Kalau gak ada yang bisa jemput, adek juga bisa pulang sendiri.”

Kejadian demi kejadian membuat saya yang awalnya hanya tidak betah di rumah menjadi benci di rumah. Mulai dari hal sepele seperti kumpulan komik yang hilang saat pindah sampai harus berebut kamar dengan kakak saya. Terlebih ketika nenek saya meninggal. Saya kehilangan jangkar. Pernah suatu waktu saya tidak pulang selama dua minggu. Orang tua saya sempat khawatir tapi saya meyakinkan mereka bahwa saat itu saya memang menyibukkan diri dengan rentetan pekerjaan paruh waktu di luar kota dan menikmati kenaifan sebagai l’agence changer aka mahasiswa. Teman-teman dekat saya di kampus sudah tahu bahwa saya sering mandi di kamar mandi dekanat, tidur di taman belakang fakultas, atau menumpang tidur di salah  satu kosan mereka.

Sampai akhirnya saya lulus dan menyadari banyak sekali barang yang harus dirapikan di rumah. Namun saya abai karena orang tua saya, terutama bapak, adalah orang yang tidak pernah membuang barang. Berbeda dengan saya yang urakan dan cenderung tidak peduli, bapak telaten memelihara barang. Kardus kulkas, ban bekas, tiga kasur lipat, kursi ekstra, semua menumpuk di rumah. Alasannya, mungkin suatu saat bisa berguna. Tak ada yang berani menegur, termasuk saya.

Beberapa hari setelah lulus, saya menyadari bahwa rumah yang kami tinggali penuh dengan barang-barang yang kurang fungsional. Kamar saya seperti sebuah gudang kecil yang berkamuflase dengan gundukan boks berisi baju, buku, dan perabot. Saya ingat nenek saya yang menasihati saya bahwa kuntilanak senang bersembunyi ditumpukan baju, benda, dan kamar yang berantakan.

Beberapa kali kalau saya sudah muak dengan kamar saya yang berantakan, saya mulai mengumpulkan niat untuk bersih-bersih seharian. Perlahan-lahan dengan menyicil sudut persudut. Saking semangatnya saya pernah membersihkan lantai atas sampai subuh. Alhasil saya jatuh sakit karena kelelahan dan menghirup banyak sekali debu. Kalau sudah begitu, ibu lah yang mengambil alih membersihkan semua. Kami mulai memilah barang mana yang bisa dibuang, mana yang tidak. Tentunya dengan seizin bapak dan saudara saya yang lain. Namun, kesemrawutan rumah tidak berkurang signifikan.

Saya mulai percaya bahwa kesemrawutan ini adalah representasi hidup yang harus saya terima. Saya sempat kabur selama dua tahun untuk sekolah. Terakhir saya kabur lagi selama 14 bulan dengan melancong. Kesemrawutan rumah mungkin hanya alasan sampingan kenapa saya kabur. Mungkin ada kesemrawutan besar lainnya yang menghimpit saya. Saat saya kembali ke rumah, kamar saya sudah jadi garasi ekstra untuk motor dan sepeda.

Kosong adalah Isi

Perkataan kosong adalah isi pertama kali terdengar saat nonton Kera Sakti di televisi. Kala itu belum dewasa dan sempat bertanya pada orang tua maksud kosong adalah isi itu apa dan saya tak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Hingga satu waktu guru kimia di SMP dengan baik menjawab pertanyaan saya.

“Coba lihat botol akua ini. Ada isinya gak?” Tanya pak guru.

“Kosong pak.”

“Kelihatannya kosong. Tapi di dalamnya ada udara. Coba kamu remas, susah kan? Ya karena ada udara.”

Jawaban pak guru adalah yang terdekat yang saya yakini benar pada saat itu. Meski pada akhirnya jawabannya lebih dalam dari sekadar materi terlihat atau tidak. Hal ini membuat saya menyadari betapa saya sangat mudah terikat dengan materi: benda, ruang, waktu, dan seseorang. Saya sangat sulit melepas walau materi tersebut sudah tidak lagi dalam genggaman. Pikiran yang selalu menggenggam dan mencengkram. Padahal juga disebutkan dalam At-Takathur bahwa bermegah-megahan telah melalaikan kamu (Q.S.102:1).

Dalam konteks kepemilikan dan konsumerisme, barang-barang adalah beban. Semakin banyak rasa memiliki, semakin berat untuk melangkah. Semakin penuh satu ruangan, semakin sesak saya merasa. Mungkin itu mengapa saya lebih nyaman berada di alam terbuka, tempat orang-orang sedikit berada. Menurut minimalisme, cukup adalah sebuah standar pribadi yang bervariasi. Kebutuhan dan kecukupan ini banyak dirumuskan tapi hanya bisa dipahami diri sendiri.

Sejauh ini saya baru membaca beberapa buku  tentang hidup minimalis: Minimalism: Live a meaningful life – Joshua Fields Milburn & Ryan Nicodemus, Stuffocation – James Wallman,  The Life-Changing magic of tidying up – Marie Kondo, Good bye,Things – Fumio Sasaki, The More of Less – Joshua Becker, dan yang baru saya selesai baca  The Joy of Less – Francine Jay.

Buku-buku tersebut menunjukan bahwa sebagian besar kita sering terjebak untuk memiliki barang-barang yang tidak fungsional. Saya suka bagaimana Joshua Fileds Milburn dan Ryan Nicodemus menjelaskan awal mereka melibatkan diri dengan hidup minimalis, yaitu saat mereka berada di titik jenuh hidup mereka. Barang-barang yang menyesakkan dan pukulan telak dalam kehidupan pribadi mereka mendorong mereka menerapkan hidup minimalis. Sementara Francine Jay mendedah barang menjadi tiga kategori: barang fungsional, dekoratif, dan emosional. Kategorisasi ini menjadi langkah awal penting untuk mengurangi barang-barang dan mengembalikan ruang.

Hanya saja, salah satu sudut pandang yang luput dari buku-buku tersebut adalah bagaimana konsumerisme dan produktivitas masih dibutuhkan di negara berkembang. Minimalis menjadi konsep yang ditawarkan untuk kalangan kelas menengah ke. Untuk kelas menengah ke bawah, yang memang tidak memiliki sumber daya sebebas kelas menengah ke atas, konsep minimalis jadi kehilangan efek. Contohnya, saat saya ingin satu jaket, saya menabung karena memang merasa butuh jaket tersebut. Tidak setiap tahun saya membeli jaket baru. Sementara kelas menengah ke atas mampu membeli empat atau lima jaket dalam setahun. Penerapan minimalis ini akan berdampak lebih besar bagi mereka yang konsumtif.

Buku adalah kepemilikan yang paling nikmat

Dalam konteks wajar, keterikatan materi dan kepemilikan barang dibutuhkan saat berdampak baik. Kepemilikan barang menjadi boleh dengan rasionalisasi yang tepat. Selama kepemilikan itu berfungsi menyampaikan pesan dan berguna memberi makna. Namun bagi orang-orang seperti saya yang merasa memiliki kecenderungan terikat secara emosional dengan banyak benda, tempat, orang-orang, dan kenangan, kesulitan besar adalah memilah barang, apalagi menyingkirkannya. Barang-barang emosional ini selalu saya anggap fungsional. Fungsinya ya sebagai kenangan. Jadi setiap barang memiliki nilai kenangan yang sama. Hal ini ternyata menyesakkan. Barang-barang turunan, kado dari mantan, makalah saat kuliah, surat-surat personal, mainan saat kecil, buku-buku yang sudah dibaca, dan pakaian yang bertahun-tahun tidak dipakai yang sebagian besar hanya teronggok kaku begitu saja. Semua memiliki nilai penting yang sama. Saya mulai berpikir seperti bapak. Mungkin suatu saat barang tersebut bisa menceritakan ulang kenangan kepada anak-cucu. Plus karena kami berempat semua laki-laki, sebenarnya banyak barang turunan yang menghemat ruang dan uang menjadi alasan untuk menyimpan barang.

Baru tahun lalu saya menghargai apa yang namanya ruang, baik secara leksikal maupun gramatikal. Dengan mereklaim ruang lebih banyak, saya juga belajar memberi ruang pada diri sendiri. Termasuk melepas barang-barang. Saya dan ibu berhasil menyumbangkan dua lemari kecil berisi baju-baju yang masih layak pakai. Saya sudah meloak dua dus besar berisi kertas, makalah, dan dokumen yang sudah tidak digunakan lagi.  Terakhir saya bereksperimen untuk memberikan 10 buku yang sudah saya baca. Padahal hanya 10 buku tapi rasanya masih agak sakit. Mungkin buku adalah barang terakhir yang akan saya lepas kepemilikannya pelan-pelan.

Hidup minimalis tidak berarti menghentikan pembelanjaan atau mengurangi barang secara ekstrem. Yang baru saya pelajari, hidup minimalis adalah melepaskan materi yang sudah tidak bermanfaat lagi. Karena pada akhirnya, barang-barang yang kita miliki tidak mendefinisikan diri kita. Tanpa barang apapun, kita tetaplah kita.

Comments