Damai di puncak Ciremai |
Agustus lalu saya bersama dua rekan melakukan pendakian ke gunung
tertinggi di Jawa Barat, gunung Ciremai. Dari Bandung kami bertolak pukul empat
sore menggunakan kendaraan pribadi. Pukul lima sore lewat kami tiba di Sumedang dan mampir ke supermarket untuk membeli perbekalan sekaligus istirahat, salat, dan
makan. Kesegaran hakiki yang tak boleh terlupa adalah sebungkus agar-agar nata de coco dan aloe vera untuk diseruput di puncak nanti. Setelah memastikan semua dibawa, pukul setengah tujuh magrib kami melanjutkan perjalanan.
Rute yang kami pilih adalah rute Bandung
– Sumedang – Kadipaten – Majalengka melalui jalur pendakian Apuy. Saya
menyetir sepanjang perjalanan ditemani mengobrol dengan teman saya yang duduk di
sebelah. Supaya tidak mengantuk. Sementara rekan saya satu lagi sudah menyerah tertidur di kursi
belakang. Dengan bermodalkan google map tujuan Balai Desa Argamukti, kami
menyusuri jalan Kadipaten. Kami sempat nyasar hampir masuk ke jalan tol Cipali saat di pertigaan Jatiwangi. Seharusnya kami belok
kanan namun malah terus lurus. Saat menyadari jalan yang semakin gelap, kami
memutar balik.
Kembali di jalan yang benar, kami sempat terhadang kepadatan kendaraan. Saat mendekati alun-alun Maja kami melihat beberapa kebakaran
pohon dan satu mobil pemadam kebakaran. Mungkin karena musim kemarau, banyak
pohon yang terbakar karena kering. Tak lama dari situ kami melewati alun-alun Maja.
Tak jauh dari situ ada terminal angkot Maja, kami belok kiri dan menyusuri
jalan utama menuju Balai Desa Argamukti.
Pukul sembilan malam kami tiba di
Balai Desa Argamukti. Salah satu patokannya adalah mesjid besar sebelah kanan.
Saya pikir saya akan tiba pukul 10 malam tapi ternyata lebih cepat. Padahal
saya mengemudi agak santai dan jalanan pun tidak begitu macet. Balai Desa
Argamukti yang terletak di kecamatan Argapura Majalengka ini menjadi pintu
masuk Apuy. Mobil hanya bisa masuk sampai balai desa saja dan harus diparkir di
rumah warga sedangkan motor bisa lanjut terus hingga pos pendaftaran. Kami parkir
sementara di halaman balai desa dan menuju masjid untuk salat. Setelah salat,
kami diminta untuk memindahkan mobil kami karena halaman balai desa akan
digunakan untuk selebrasi hari kemerdekaan esok pagi.
Dari balai desa kami harus naik
mobil pick up milik warga. Biayanya
200 ribu rupiah pulang pergi masih bisa ditawar. Masalahnya kami hanya bertiga sementara mobil
yang baru saja berangkat mengangkut sekitar 14 orang. Warga sekitar mengatur antrean
mobil pick up yang digunakan untuk pendaki.
Namun karena kami belum memutuskan untuk langsung berangkat ke pos pendaftaran,
otomatis kami dilewat. Sempat tawar menawar harga dengan sengit namun kami memilih
opsi menunggu pendaki lain yang hendak menggunakan mobil pick up juga sehingga ongkosnya
bisa dibagi dengan ringan.
Hingga pukul sebelas malam
beberapa pendaki datang menggunakan motor. Ada satu rombongan yang menggunakan
mobil namun mereka memilih untuk menggunakan mobil pick untuk mereka saja. Kami
mengobrol dengan pak Aceng, pengemudi mobil pick up yang diantrekan untuk
mengantar kami. Saya dan pak Aceng bolak-balik nego harga hingga sepakat
menunggu pendaki lain keesokan harinya. Ia menjelaskan bahwa mobil pick up ini
sebagian besar punya pemilik modal. Ia sendiri hanya menjadi sopir saja. Meski
demikian, penghasilannya lebih besar daripada menjadi buruh tani saja. Ngobrol
panjang lebar, kami diajak bermalam di rumahnya. Saya dan kedua rekan sudah
siap tidur seadanya di ruang tamu tapi pak Aceng memaksa kami tidur di kamar
anaknya yang kerja di kota. Kami sungguh beruntung. Semoga pak Aceng tetap sehat dan banyak rezeki.
Subuh kami bangun, pergi ke
masjid, dan bersiap-siap mendaki. Kami menunggu siapa tahu ada pendaki yang ingin
berbagi mobil pick up. Menjelang pukul enam pagi, ada satu mobil yang tiba di
depan balai desa. Mereka bertiga dan juga harus menggunakan mobil pick up. Kami
berkenalan dan mengajak mereka gabung. Mereka menerima ajakan kami. Ongkos perorang
menjadi hanya 35 ribu rupiah.
Teaming Up dengan teman baru |
Pemandangan menuju pos pendaftaran |
Pukul delapan lewat kami diangkut
menuju pos pendaftaran. Kami melewati lahan perkebunan dan pertanian warga
selama 20 menit. Saya paham kenapa harus pakai mobil pick up karena mobil biasa
akan sulit melewati jalan yang sangat sempit dan muat hanya satu mobil pas. Sangat
pas. Salah belok saya kira bisa tigebrus ke
jurang atau lahan kebun.
Mulai Mendaki
Tiba di pos pendaftaran yang
dinamai basecamp Berod – Apuy, kami berpisah dengan rombongan Karawang. Tak
lupa kami bertukar nomor telepon termasuk dengan pak Aceng untuk mengatur
kepulangan kami. Setelah itu kami langsung mengurus SIMAKSI (Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi) di pos pendaftaran.
Gunung Ciremai termasuk ke dalam taman nasional yang dikelola oleh BKSDA Jabar
II yang disahkan tahun 2004. Untuk masuk ke kawasan taman nasional, kita
diwajibkan memiliki SIMAKSI yang bisa
didapatkan dengan biaya sebesar 50 ribu rupiah. Biaya itu sudah termasuk asuransi dan sarapan di salah satu kios yang sudah
ditentukan di tiket.
Biaya Masuk |
Basecamp Berod – Apuy yang menjadi
pos pendaftaran sudah tertata dengan rapi. Di sini merupakan lahan parkir motor
dan berjejer warung makan dengan tertib. Ada musala dan toilet yang jumlahnya
lebih dari cukup. Saat kami mendaftar terlihat banyak orang yang juga
bersiap-siap mendaftar. Ada juga tenda yang didirikan pendaki yang kelelahan.
Setelah selesai urusan SIMAKSI,
kami menuju warung yang disebut di kupon, yaitu nomor 7 punya kang Marsa. Satu
kupon makan kami tukar dengan nasi, telur, dan sebongkah bala-bala. Termasuk
air mineral kemasan gelas. Tak ada menu lain. Kami tak boleh menambah walaupun
bayar karena semua sudah dijatah. Kecuali ada sisa dan kami harus menunggu
lama. Setidaknya begitu penjelasan teteh yang
menjaga warung kang Mars. Agak kocak.
Setelah makan pagi, urusan toilet, dan
istirahat sejenak, pukul sembilan pagi kami mulai pendakian. Sebelumnya kami
dikumpulkan petugas dan diberi taklimat singkat mengenai tata tertib mendaki
gunung Ciremai. Termasuk tidak boleh membawa golok dan portable speaker. Alasan pertama untuk keamanan, kedua agar tidak
menganggu satwa liar. Saya serahkan dengan sedih golok dan portable speaker
yang selalu saya bawa saat mendaki.
warung Kang Marsa |
Kami memulai pendakian menapaki
satu jalur utama yang besar dan jelas. Jalur Apuy ini memiliki enam pos
pendakian. Sebagian menyebutkan jalur Apuy adalah jalur panjang yang susah. Menurut
kami jalur yang susah itu jalur Linggarjati. Rekan saya sudah pernah ke gunung
Ciremai tapi hanya berakhir di pos 4 jalur Apuy. Tahun 2010 saya juga pernah mendaki lewat
jalur Linggarjati dan berakhir di pos 5. Jarak antarpos di jalur Apuy ini termasuk pendek dan ramai dilewati pendaki, tidak seperti Linggarjati atau Palutungan yang disemerbaki misteri. Pos jalur Apuy ini terdiri dari 6 pos, yaitu:
Pos 1 adalah Arban. Ditempuh dalam
waktu 30 menit. Kami terbiasa mendaki dengan interval 30 menit jalan, 5 menit
istirahat yang terbukti cukup efektif. Kalau masih kuat bisa ditambah jadi 1 jam jalan 5 menit istirahat. Pos 1 memiliki saung permanen yang dipakai istirahat oleh pendaki
lainnya.
Pos 1 Arban |
Pos 2 adalah Tegal Pasang. Ditempuh dalam waktu 90 menit dari pos 1. Karena musim kemarau, banyak debu pasir dan tanah yang beterbangan karena ramai dijejak pendaki. Untungnya pepohonan masih rindang jadi tidak terlalu panas.
Pos 3 adalah Tegal Masawa.
Ditempuh dalam waktu 60 menit dari pos 2. Di sini jalur semakin terjal dan
sempit. Sempat ada adegan harus menggunakan tali tambang untuk mendaki. Lumayan
seru. Di sini sudah banyak pendaki yang memasang tenda hanya saja lokasinya
masih agak miring. Tak enak untuk dijejal tidur.
Pos 4 adalah Tegal Jamuju. Ditempuh
dalam waktu 45 menit dari pos 3. Jalur masih seperti pos sebelumnya namun udara
semakin dingin dan vegetasi tumbuhan semakin rapat.
Pos 5 adalah Sanghyang Rangkah.
Ditempuh dalam waktu 45 menit dari pos 4. Di sini lahannya sudah sangat terbuka
jadi gampang terpapar cahaya matahari. Kami mendirikan tenda di lokasi yang
jaraknya 15 menit sebelum Pos 5. Di lahan yang kami tempati lebih sejuk dan
rindang.
Pos 6 merupakan persimpangan Jalur Palutungan dan Jalur Apuy. Di sini bisa ditemukan Goa Walet yang dulu sering digunakan untuk berkemah. Namun kini Goa Walet tersebut sudah ditutup dan pendaki dilarang berkemah di situ.
Pos 6 merupakan persimpangan Jalur Palutungan dan Jalur Apuy. Di sini bisa ditemukan Goa Walet yang dulu sering digunakan untuk berkemah. Namun kini Goa Walet tersebut sudah ditutup dan pendaki dilarang berkemah di situ.
Kami mendirikan tenda sekitar
pukul 2 siang lewat sedikit. Total perjalanan mendaki sekitar 4.5 jam – 5 jam
dengan kecepatan santai. Kami memang tim kura-kura. Banyak foto, banyak
ngobrol, banyak menikmati perjalanan. Jarang sekali saat mendaki saya mendirikan
tenda sesiang ini. Biasanya kalau tidak sore, ya malam. Senang karena bisa
istirahat lebih banyak sampai malam, bikin hammock,
masak banyak makanan, dan foto-foto sekeliling.
Summit Attack
Pukul empat pagi kami bangun
untuk summit attack. Setelah berdoa
kembali kami mulai pendakian dengan hanya membawa makanan ringan dan minuman,
tak lupa agar-agar aloe vera dibawa. Kami melewati pos 5 yang dipenuhi banyak
tenda. Saya melihat ke belakang dan tak ada satupun yang mengikuti. Maksudnya kami
adalah yang terakhir. Dari kejauhan saya bisa melihat lampu yang berjajar
menuju puncak. Saya beberapa kali terpisah dengan rekan-rekan saya karena
banyak pendaki yang menuju puncak. Ada jalur yang harus antre karena terlalu sempit.
Pasir, tanah, dan debu sangat banyak berkeliaran di udara. Penggunaan masker
atau buff sangat disarankan. Dengan cekatan kami pun berpisah untuk menyusul
rombongan di depan dan bertemu lagi untuk salat subuh dekat pos 6. Jalur menuju
puncak gunung Ciremai terbilang tidak terlalu susah. Banyak batuan dan vegetasi
yang bisa digunakan sebagai pijakan. Pukul enam pagi kami tiba di puncak
Ciremai.
Salam dari puncak Ciremai |
Kami melepas lelah sambil
berfoto. Menikmati awan yang menggumpal sambil menyeruput agar-agar dan aloe
vera yang sangat menyegarkan. Kami menyusuri punggung puncak gunung untuk menikmati
pemandangan yang lebih indah. Ternyata punggungan itu jika ditelusuri akan
membawa kami menuju jalur Palutungan. Di sini juga terdapat bunga Eidelweiss Jawa yang cantik tanpa harus dipetik.
Kebiasaan saya kalau sudah berada di puncak pasti menjadi sentimental. Mata saya suka kelilipan dan berair mata. Mau gunung setinggi atau serendah apapun, berada di puncaknya selalu sukses membuat saya merasa kecil dan tak berarti. Merasakan deru angin yang menerpa kencang, gigil yang menemani sepanjang pagi, dan kecantikan pemandangan yang terbentang di depan mata. Waktu seakan berjalan cepat tapi juga berhenti di satu detik tertentu. Saya merasa cukup. Dengan apa yang sudah terjadi dalam hidup saya. Dengan apa yang tidak terjadi dalam hidup. Alam sungguh pengisi baterai spiritual saya. Saya belajar menghargai apa yang ada di dalam hidup saya, sebuah impermanensi yang mengalir lembut menuju ketakberdayaan. Saya belajar menerima dan berdamai dengan diri saya sendiri.
Saya sempat bertanya apakah teman-teman saya yang sudah saya kenal sejak 14 tahun lalu itu merasakan hal yang serupa saat berada di alam, saat berada di puncak gunung. Mereka menjawab tidak. Mereka hanya kagum tok. Ini jadi refleksi untuk diri saya pribadi untuk bisa mengendalikan perasaan sentimental saya.
Kebiasaan saya kalau sudah berada di puncak pasti menjadi sentimental. Mata saya suka kelilipan dan berair mata. Mau gunung setinggi atau serendah apapun, berada di puncaknya selalu sukses membuat saya merasa kecil dan tak berarti. Merasakan deru angin yang menerpa kencang, gigil yang menemani sepanjang pagi, dan kecantikan pemandangan yang terbentang di depan mata. Waktu seakan berjalan cepat tapi juga berhenti di satu detik tertentu. Saya merasa cukup. Dengan apa yang sudah terjadi dalam hidup saya. Dengan apa yang tidak terjadi dalam hidup. Alam sungguh pengisi baterai spiritual saya. Saya belajar menghargai apa yang ada di dalam hidup saya, sebuah impermanensi yang mengalir lembut menuju ketakberdayaan. Saya belajar menerima dan berdamai dengan diri saya sendiri.
Saya sempat bertanya apakah teman-teman saya yang sudah saya kenal sejak 14 tahun lalu itu merasakan hal yang serupa saat berada di alam, saat berada di puncak gunung. Mereka menjawab tidak. Mereka hanya kagum tok. Ini jadi refleksi untuk diri saya pribadi untuk bisa mengendalikan perasaan sentimental saya.
Pukul delapan pagi kami kembali menuju
tenda. Hanya sejam dari puncak untuk turun. Perut kami sudah keroncongan. Kami masak
sarapan yang agak banyak dan istirahat. Saya mengisi jurnal dan tiduran di hammock. Pukul 12 siang kami beres-beres
untuk turun ke basecamp. Satu jam kemudian kami mulai turun. Tiba di pos 1 saya
langsung kebut untuk terus ke basecamp. Panggilan alam. Pukul 3 sore lewat kami
semua tiba di basecamp dan istirahat sambil mengontak rombongan Karawang dan
Pak Aceng. Dua puluh menit berselang, kami semua dijemput pak Aceng dan
istrinya. Pukul 4 sore kami tiba di balai desa. Setelah itu kami bersih-bersih
dan siap-siap pulang. Pukul setengah lima sore kami pamit kepada pak Aceng.
Perjalanan pulang dari Majalengka
menuju Bandung ternyata lebih lama. Kami tertahan dua kali oleh macet perbaikan
jalan di jalur nasional Majalengka menuju Sumedang. Kami tiba di Sumedang pukul
8 malam. Kami salat dulu di mesjid raya Sumedang dan istirahat di rumah makan
dekat situ. Setelah mengantar rekan-rekan saya, saya tiba di rumah pukul 12 malam.
Yang perlu diperhatikan adalah kendaraaan
yang digunakan menuju balai desa karena jalannya agak menanjak dan menukik. Jangan
lupa bawa air minum yang cukup apalagi pada saat musim kemarau. Sulit menjangkau
sumber mata air. Apalagi saat kering. Jaga kebersihan lingkungan sekitar. Bawa
kembali sampah karena petugas menyediakan dua kantong sampah untuk dibawa
mendaki.
Pendakian menuju gunung Ciremai
ini salah satu pengalaman yang menyenangkan dan mengesankan. Apalagi saat bulan
Agustus karena dalam rangka kemerdekaan, ada sertifikat yang menunggu kami di akhir
pendakian. Sebuah apresiasi yang tampak sepele tapi manis.
Khusus bulan Agustus |
Comments
Post a Comment