Literasi: Bukan Basa-Basi

Belajar Membaca dan Menulis
dalam Bahasa Asing
Sekira tujuh tahun lalu saya kesulitan mendapatkan padanan kata literacy saat saya dan teman-teman berdiskusi tentang English Literacy yang kami terjemahkan utuh menjadi "Literasi Inggris”. Pada saat itu kami sering menggunakan kata “literasi” sebagai bagian dari percakapan akademik. Kata ini tidak saya temukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia IV edisi 2011 yang saya miliki. Kata yang berdekatan dengan keduanya yaitu “literer” yang berarti 'berhubungan dengan tradisi tulis' dan “literator” yang berarti 'ahli sastra; pengarang profesional; sastrawan'. Saya menganggap kata literate yang diterjemahkan menjadi “literer” pasti kongruen dengan literacy yang diterjemahkan menjadi “literasi”. Karena itu saya dan teman-teman leluasa menggunakan kata tersebut.

Maju ke Juni 2016 saat gerakan literasi begitu banyak diinisiasi, saya diminta menjadi salah satu pemateri lokakarya budaya literasi lokal. Saya pun bertanya kepada panitia apakah kata “literasi” sudah masuk KBBI terbaru atau belum. Mereka menjawab bahwa “literasi” akan menjadi salah satu lema dalam KBBI V yang terbit pada Oktober tahun yang sama berbarengan dengan Gebyar Bulan Bahasa dan Sastra. Hal ini juga menandakan penggiatan aktivitas literasi yang melibatkan masyarakat luas. Tak lama setelah itu saya menemukan arti kata literasi dalam KBBI daring. Saya sempat bertanya-tanya mengapa membutuhkan waktu yang begitu lama untuk memasukan lema "literasi" yang sudah akrab di telinga teman-teman berlatar belakang sastra dan bahasa.
Hampir dua tahun lamanya setelah peluncuran KBBI V saya absen sama sekali dalam gerakan literasi karena asyik melancong ke Australia dan beberapa negara Asia Tenggara. Sejak lama saya memendam ketertarikan pada bacaan, tulisan, dan hal-hal yang berhubungan dengan literasi. Saya selalu menyempatkan diri membaca dan menulis sependek apapun itu saat sedang melancong. Saya juga senang menyimak para penulis membagi kereta pikiran mereka dalam membuat tulisan dan kebiasaan membaca mereka yang unik dan berbeda-beda. Oleh karena itu saya selalu tertarik pada diskusi dan seminar seputar kebahasaan dan kesusastraan walau latar belakang saya tidak berhubungan dengan keduanya.
Hendak ulam pucuk menjulai. Saat saya sedang di Bandung pada pekan ketiga Maret ini, saya diajak menghadiri Gerakan Literasi Nasional 2019 yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta didukung Balai Bahasa Jawa Barat. Gerakan ini sebagai bagian Gebyar Pendidikan dan Kebudayaan 2019 yang menandai akhir periode pemerintahan Kabinet Kerja untuk mempertanggungjawabkan kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama empat tahun lebih. Gerakan Literasi Nasional ini digelar di Cianjur, Sukabumi, Garut, dan dipungkas di kota Bandung yang digelar bersamaan di Pusat Olahraga Arcamanik dan Hotel Crown. Lokasi terakhir inilah yang saya hadiri.

Semangat Literasi


Siswa-siswi berfoto saat menghadiri
Gerakan Literasi Nasional 2019
Saat mengisi daftar hadir, saya melihat daftar peserta melewati angka tiga ratus yang terdiri dari beragam kalangan pendidikan dan komunitas. Tak heran saat saya datang, mereka benar-benar ramai memenuhi ruang serba guna Hotel Crown. Panitia mengemas dengan menarik baik dari segi konten, intermeso, maupun hiburannya. Agenda kegiatan akhir pekan seperti ini dibuat untuk menghindari keseriusan yang monoton namun tetap relevan dengan generasi muda saat ini.

Kepala Balai Bahasa Jawa Barat
Dr Sutejo

Kepala Balai Bahasa Jawa Barat Dr. Sutejo membuka acara sekaligus memberikan kata sambutan. Sutejo menjelaskan bahwa gerakan literasi ini dilakukan secara rutin tiap tahun sebagai tugas dan amanat pemerintah untuk meningkatkan literasi masyarakat luas. Menurutnya tingkat literasi di Indonesia masih rendah. Hasil survei yang dilakukan pihaknya menyebutkan siswa-siswi sekolah kesulitan menyebutkan satu buku bacaan yang mereka tamatkan dalam setahun. Sutejo menegaskan bahwa literasi harus tumbuh di dalam lingkungan terdekat sehingga memotivasi masyarakat untuk membaca dan menulis bisa berasal dari keteladanan keluarga sendiri, guru, maupun kerabat. Oleh karena itu, Balai Bahasa Jawa Barat gencar berupaya meningkatkan budaya literasi kepada guru, siswa, pegiat literasi, dan lingkungan keluarga. Beberapa kegiatan di antaranya seperti mendorong siswa-siswi membuat satu tulisan yang akan dikompilasi menjadi sebuah buku. Selain itu pihaknya mendorong guru untuk menulis buku dengan target satu guru satu karya. Sutejo berharap dengan gerakan literasi seperti ini bisa menumbuhkan sikap positif, setia, sadar, dan bangga terhadap bahasa Indonesia.


Dalam Gerakan Nasional 2019 ini hadir pula sastrawan Khrisna Pabichara yang berbagi materi ‘Kiat Menata Cerita’. Khrisna berinteraksi dengan peserta secara santai dan jenaka. Ia menuturkan bahwa literasi tidak hanya berhubungan dengan membaca saja, tetapi juga menulis. Oleh karena itu kebiasaan membaca harus diiringi dengan menulis. Dalam menulis Khrisna membagikan kiatnya untuk fokus pada topik dan struktur yang akan menjadi perhatian penulis. Penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar penting dalam menulis. Meski demikian, inovasi dan kreativitas harus tetap dikembangkan dalam tulisan. Salah satunya saat menulis percakapan verbal yang bisa memasukan bahasa sehari-hari atau mendekonstruksi ide-ide dan kata-kata yang dinilai tabu. Menurutnya penulis masih bisa berlindung di balik licencia poetica yang memberi ruang tak terbatas dalam menulis.
Khrisna kemudian memberikan kesempatan kepada peserta untuk menulis sebuah cerita. Dalam waktu yang singkat ia menuntun peserta perlahan-lahan dalam membentuk kalimat, paragraf, dan cerita. Peserta sangat antusias memberikan tulisan mereka dan berbagi pengalaman mereka dalam menulis. Sesi tanya jawab bahkan harus dipotong karena melebihi alokasi waktu yang ditentukan. Sambil menutup sesinya, Khrisna berpesan untuk terus membaca dan menulis, sesedikit apapun itu. Saya mengangguk setuju. Peserta bertepuk tangan berpisah dengan Khrisna.
Setelah jeda istirahat, acara dilanjutkan oleh Pengawas SMA Dinas Pendidikan Jawa Barat, Heri Susanto Boaz, yang mengemukakan fakta bahwa Indonesia memiliki budaya literasi yang rendah. Menurutnya literasi diawali dengan membaca, kemudian menulis. Sayangnya minat baca di Indonesia masih rendah dan belum merata. Data dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi menunjukan bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia menempati ranking terendah dari 52 negara di Asia Timur. Sementara menurut Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB, indeks minat baca tahun 2012 di Indonesia hanya mencapai 0,001%  yang berarti dalam 1000 orang hanya ada 1 orang yang berminat membaca.
Dalam paparannya yang singkat, Heri menjabarkan upaya pemerintah saja belum cukup untuk meningkatkan budaya literasi khususnya di sekolah. Oleh karena itu peran guru dan keluarga sangat penting dalam mendorong budaya literasi di kalangan pelajar.


Literasi Bukan Basa-basi
Menurut saya salah satu kendala besar dalam meningkatkan literasi bangsa kita tidak sekadar menumbuhkan minat baca saja, tetapi juga menyediakan akses dan buku-buku ke daerah-daerah di pelosok. Sebagai provinsi dengan angka buta aksara di bawah rata-rata nasional, Jawa Barat harus bisa menjadi contoh  dalam menggiatkan gerakan literasi. Pengalaman saya berkunjung ke beberapa sekolah dasar di pelosok Jawa Barat, kendala utama literasi di sekolah seringkali terjada pada keluarga berpenghasilan rendah. Bagi mereka buku dan waktu adalah komoditas mahal, mengingat ongkos, jarak, dan waktu yang harus dikorbankan untuk sebuah buku atau berkunjung ke perpustakaan.
Tahun 2010 saya berkesempatan mengajar di tiga sekolah dasar di perbatasan Pantai Utara Jawa Barat yang tidak memiliki buku bacaan anak apalagi ruang perpustakaan. Beruntung saya dan teman-teman berhasil menghimpun 1000 buku yang merupakan donasi dari beragam institusi untuk disumbangkan kepada ketiga sekolah tersebut. Siswa-siswi di sekolah tersebut sangat antusias menghabiskan waktu membaca buku di sekolah apalagi ditemani kami yang sering menuturkan cerita. Keluarga mereka juga sangat mendukung melihat anaknya bisa memanfaatkan waktu ketimbang bermain di ladang. Menurut saya membiasakan membaca sejak dini bisa juga menumbuhkan semangat bermimpi. Saya belum tahu apakah ada hubungan kausalitas antara jumlah buku yang dibaca dengan mimpi, tapi salah satu anak yang saja ajar mengaku cita-citanya ingin menjadi penjaga sekolah. Saat saya tanya mengapa, ia menjawab hanya itu yang ia tahu. Ia tak pernah melihat polisi, tak tahu apa itu dokter, dan menurutnya guru adalah cita-cita yang menyeramkan.
Kondisi yang hampir serupa terjadi di saat saya berkunjung ke salah satu sekolah dasar di Cimareme, Kabupaten Bandung, dalam rangka Kelas Inspirasi kota Bandung awal tahun 2016. Anak-anak kelas enam yang saya ajar tidak tahu apa itu reporter, wartawan, apalagi jurnalis. Walau agak menyakitkan secara personal, saya paham keterbatasan informasi mereka yang membuat saya lantas menjelaskan dunia jurnalistik secara sederhana. Yang lebih menyakitkan, saat sesi tanya jawab, ada seorang anak bertanya kepada saya apakah lulusan SMP bisa menjadi reporter. Saya terdiam dan bertanya balik kenapa lulusan SMP. Anak itu berkata bahwa orang tuanya sudah merencanakan bahwa setelah lulus SMP ia akan membantu orang tuanya mencari uang tanpa lanjut SMA.
Kegiatan Literasi Sekolah Dasar
bersama Duta Bahasa Jawa Barat
 

Tahun 2019, tepatnya hari Minggu lalu saya ikut hadir dalam sesi gerakan literasi sekolah dasar yang digagas teman-teman Komunitas Duta Bahasa Jawa Barat di wilayah Bandung Utara. Salah satu sekolah yang kami kunjungi memiliki buku yang cukup lengkap dan ruang perpustakaan layak. Saya berharap potret yang saya temui beberapa tahun lalu berubah. Guru-guru di sekolah ini berkata bahwa perpustakaan sering sepi. Hal ini disebabkan oleh keluarga siswa yang menganggap membaca dan menulis tidaklah begitu penting. Banyak keluarga di daerah sini memiliki lahan pertanian atau ladang untuk digarap dan dijadikan bisnis keluarga turun temurun. Mereka beranggapan anak mereka harus terampil sejak dini dalam meneruskan pekerjaan orang tuanya tanpa harus berliterasi. Padahal anak-anak tersebut sangat antusias mengikuti sesi membaca dan menulis yang didesain teman-teman Duta Bahasa Jawa Barat.
Potret literasi di daerah suburban berbeda dengan habituasi masyarakat perkotaan yang terbiasa dengan acang, tanggap informasi, dan melek teknologi sebagai bagian utama dalam kehidupan sehari-hari. Persoalan literasi bukan lagi sekadar menumbuhkan namun menggeser dari literasi dasar ke literasi digital dan teknologi dan membuat acang menjadi media andal untuk membaca dan menulis bagi anak yang sering kali difungsikan sebagai media bermain saja.
Dari sini saya dapat menarik satu pemahaman bahwa menumbuhkan literasi harus disesuaikan dengan kondisi sosial, kultural, dan finansial unit terkecilnya: keluarga. Tak bisa dipukul rata.
Tak hanya itu saya merasa perlu adanya dukungan pemerintah terhadap pegiat literasi yang menyediakan akses dan ruang baca gratis di tempat publik baik di kota bahkan pelosok. Sudah banyak contoh yang bisa diteladani karena tak bisa dipungkiri birokrasi dan anggaran sering menjadi persoalan pemerintah (walau sudah jadi rahasia umum bahwa anggaran pendidikan mencapai 20% APBN).
Satu hal lain yang tak boleh luput adalah bagaimana menanggapi literasi sebagai penumbuh semangat berpikir dan berdiskusi sejak dini. Tentunya membaca dan menulis tidak mengalir begitu saja seperti air sungai, namun ada proses internalisasi ide: penerimaan dan pertentangan logika pikir. Literasi dapat juga dikaitkan dengan penambahan referensi berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah. Secara tidak langsung menggiatkan literasi  berarti menumbuhkan diskusi-diskusi kritis yang sejatinya harus tetap menjunjung kondusivitas dan etika berbicara. Oleh karena itu pemberedelan buku bacaan tertentu, pembubaran diskusi buku dan lokakarya, atau pelarangan tema tertentu dalam koridor diskusi intelektual sudah barang pasti kontraproduktif terhadap semangat literasi yang begitu menggebu-gebu diserukan pemerintah.
Satu harapan saya, semoga gerakan literasi seperti ini bisa terus menggema dan tidak sekadar menjadi atraksi seremonial atau basa-basi belaka.

Comments