Belajar Mengenal Kopi


Kombinasi Paripurna


Kopi menjadi salah satu minuman yang akrab di mulut banyak orang. Sebagian bahkan tak bisa menjalani harinya tanpa menyeruput kopi, baik dingin maupun panas. Tak heran kopi menjadi komoditas primadona dunia internasional termasuk Indonesia sebagai negara keempat terbesar penghasil biji kopi. Bagi saya, kopi salah satu yang menemani saat mengerjakan tugas, membaca buku, dan santai bersama sahabat.

Dari tahun ke tahun kopi semakin ramah di tengah masyarakat. Baik itu sasetan, mesinan, maupun seduhan manual, tiap orang memiliki selera kopinya masing-masing. Saya cukup kaget ketika menemukan banyak sekali kedai kopi yang berjamuran di Bandung satu tahun belakangan ini. Sekarang hampir di setiap jalan besar dan area padat penduduk saya bisa menemukan kedai kopi, yang murah atau mewah, yang membentuk kultur budaya masyarakat penyuka kopi. Dalam hal ini saya menemukan familiarity dengan Sydney dan Melbourne, atau Paris dan Roma, baik di pusat kota maupun suburbannya terdapat banyak kedai kopi. Saya sempat heran ketika melihat sebagian besar kebiasaan orang di sana: pagi minum kopi, siang kopi, sore kopi, malam kopi, jika tidak diselingi anggur dan bir. 


Pertumbuhan kedai kopi di Bandung menurut saya berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kompetisi pasar kopi. Ada yang menjual segelas latte hingga mencapai Rp50.000,00 dengan menonjolkan tempat yang instagrammable.Tapi saya juga masih menemukan segelas latte di bawah Rp20.000,00 dengan rasa yang pas di lidah saya. Karena kini sebagian orang tidak hanya mencari kopi saja, melainkan atmosfer, tempat, dan pengalaman dalam menyeruput kopi. Saat sedang sendirian, saya ingin tempat kopi bisa menampung saya dengan nyaman dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, fasilitas semacam toilet dan musala menjadi lebih penting ketimbang koneksi internet. Syukur-syukur ada ketiganya.

Tak hanya itu, tak jarang saya juga ikut nimbrung saat ada obrolan tentang kopi. Untuk yang satu itu, saya punya beberapa teman yang memang memerhatikan kopi. Sebetulnya saya hanya ikut-ikutan mendengar, ikut-ikutan meracik kopi, hingga akhirnya mengenal barista dan staf di satu kedai kopi. Ini menjadi interaksi yang menarik. Beberapa kali saya mengalami pengalaman kurang menyenangkan saat mencoba mengobrol dengan barista yang menganggap konsumennya tak tahu apapun tentang kopi. Maybe they were having a bad day or mabe it was their actual personality. Sudah kopinya mahal, baristanya tak ramah, cukup sekali  saja saya ngopi di situ. 

Saya tidak mendefinisikan diri sebagai coffee afficionado, saya hanya menyukai kopi secukupnya. Tidak juga bergelut profesional di bidang hulu dan hilir. Saya hanya menikmati kopi yang sering menemani obrolan saya dengan teman-teman di akhir pekan. 

Didasari rasa penasaran saya untuk mengenal kopi, saya beberapa kali mengikuti acara kumpul komunitas kopi semisal public cupping, delving into coffee wheel flavour, atau cuma sekadar coffee talk saja. Bagi saya yang awam, hal ini cukup mencerahkan untuk meningkatkan literasi kopi. Jadi kita tak bisa lagi dibodohi tentang kopi yang kita minum. Oleh karena itu rasa penasaran saya berlabuh pada kursus berbayar dasar barista aka basic barista course. 

Beberapa teman menduga saya ingin banting stir jadi barista, beberapa menganggap saya ingin membuka kedai kopi. Saya hanya menjawab sepenuhnya karena rasa ingin tahu. Perihal dua hal itu saya tak ada rencana. Selain itu, beberapa waktu lalu saya pernah beberapa kali trial jadi barista di Sydney dan Darwin dan beberapa kali juga gagal. Ujungnya saya hanya merangkap all-rounder yang bertugas membantu barista. Saya pikir keahlian membuat kopi bisa jadi salah satu keahlian bertahan hidup di mana pun, selain jadi buruh kasar.

Setelah menimbang-nimbang, ada dua pilihan kursus kopi yang kredibel untuk diikuti: basic barista course dari ABCD School of Coffee Jakarta dan 5758 Coffee Lab Bandung. ABCD School of Coffee menyediakan jadwal fleksibel tiap bulan. Dengan biaya Rp6.000.000,00 kita mendapatkan kursus tiga hari selama empat jam tiap harinya. 

Sementara 5758 Coffee Lab Bandung menyediakan kelas lima hari lima hari (full-day) dengan biaya Rp5.000.000,00. Saat melihat materi kelas yang tercantum di laman internet masing-masing, tak ada perbedaan yang cukup mencolok. Coffee Lab juga merupakan sekolah kopi dengan standar Specialty Coffee Association of America (SCAA) dengan instruktur yang tersertifikasi internasional.

Awalnya saya mau ikut kelas ABCD karena cocok dengan jadwal saat ada di Jakarta. Dibandingkan dengan kelas 5758 Coffee Lab saya harus menunggu lama, kira-kira setahun. Tapi saya urungkan karena jadwal ikutan kelas ABCD juga tidak pernah cocok. Sementara di 5758 Coffee Lab hanya mengadakan kelas barista dasar tiga-empat tahun sekali, dan setiap hari pertama buka pendaftaran langsung penuh. Ini serius. Saya sempat kesal karena setiap tak lama dibuka pendaftaran, kelasnya sudah langsung penuh. Saya kurang lebih menunggu setahun (karena jadwal yang tak cocok dan kelas yang penuh). Karena kesal, akhirnya saya minta dimasukkan ke dalam daftar tunggu. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya terdaftar pada angkatan 8. Ternyata kuota tiap angkatan hanya dibatasi delapan orang untuk mengoptimalkan pengajaran. Itulah mengapa kelas selalu penuh bahkan sebelum dibuka. Daftar tunggunya sering kali penuh. 

Sebenarnya jadwal pada saat itu tidak terlalu pas karena Minggu itu saya sedang ikut kelas detoksifikasi perut dan baru saja ikutan trail run. Saat pulang trail run saya mesti menyetir sendiri selama empat jam di tengah kemacetan dan banjir. Jika tak ingat dengan kursus barista keesokan harinya yang sudah saya bayar, ingin rasanya pada malam itu, saya belok ke penginapan terdekat dan merebahkan badan saya. Lalu akhir pekan setelah kursus Barista, saya ada kerjaan di Jakarta. Tapi berhubung tak ada lagi waktu pas, akhirnya saya paksakan. Saya baru tahu bahwa kalau sudah bayar, kita bisa meminta pindah jadwal pada waktu kursus selanjutnya. Hanya saja ya berarti harus menunggu lagi. 


Hari Pertama
Bertempat di deretan ruko masuk kompleks Pondok Hijau Gegerkalong Bandung, 5758 Coffee Lab menyatu dengan sebuah kafe yang berada dalam naungannya. Bangunannya dua lantai. Lantai pertama ada kafe dan di sebelahnya ada kelas mesin espreso. Setiap hari kelas dimulai pukul 09.00 – 17.00 WIB.

Pertama datang, saya diminta mengisi daftar hadir sambil menikmati camilan dan menunggu peserta yang lain datang. Saya juga bisa memesan kopi atau membuat kopi sendiri. Saya duduk ditemani seekor kucing yang ternyata menjadi penunggu kafe tersebut. Menjelang pukul 09.00, kami berdelapan sudah hadir dan diarahkan menuju kelas di lantai dua.

Sebelum memulai materi, kami diminta mengenalkan diri. Dari perkenalan ini, saya merasa minder karena punya paling sedikit pengetahuan tentang kopi. Pesertanya memiliki beragam latar belakang namun satu persamaan: kecintaan terhadap kopi. Ada pemilik kedai dari Kalimantan, seorang insinyur perminyakan yang berniat membuka kedai kopi, seorang yang ingin menjadi barista andal, pemilik kedai di Tangerang, seorang food grader, seorang pecinta kopi, seorang lulusan Jerman yang akan mengambil alih perusahaan kopi keluarganya, dan seorang yang penasaran dan menganggap membuat kopi adalah satu keahlian bertahan hidup. Kami juga berkenalan dengan pemilik Coffeelab 5758 dan beberapa instrukturnya. Salah satunya adalah Pak Adi yang merupakan seorang Q Grader. 

Hari pertama kami disuguhi pengenalan dan pengetahuan dasar tentang kopi termasuk sejarah dunia penyebaran kopi, jenis kopi, dan teori membuat kopi. Sebagian isi kelas tampak kurang antusias pada bagian ini, mengingat mereka sudah sering bermain dengan alatnya langsung. Sementara saya yang punya pengetahuan mendekati nol besar sangat tertarik dengan teori dan materi kelas ini. Setiap pergantian kelas selalu diselingi dengan jeda kopi. Kita boleh memesan kopi di kafe bawah sebanyak yang kita mau tanpa harus bayar lagi. Kita juga bisa membuat minuman sendiri. Kelas pun dibawakan serius tapi santai.

Menjelang jam makan siang, kami diberikan kesempatan selama satu jam untuk istirahat, salat, dan makan. Makan siang sudah disediakan. Saya berputar-putar melihat isi ruko dan karena baru berdiri, fasilitas di Coffee Lab masih terasa nyaman dan terlihat baru. Saya ikut mengobrol dengan beberapa peserta lainnya. Dari obrolan tersebut, beberapa dari mereka sudah pernah mengambil kelas lainnya di sini seperti kelas Seduh Manual, Latte Art, dan Bisnis Kopi.

Kelas dilanjut pukul 13.00 dengan beberapa materi teoritis seperti Dasar Pelayanan, Seduh Mesin, dan Pengolahan Kopi. Hari pertama ditutup pukul 17.00 lewat.

Hari Kedua
Sama seperti hari sebelumnya kami mulai kelas pukul 09.00. Kali ini kami lebih banyak praktik. Kami belajar tentang rasio kopi dan seduh manual. Kami juga belajar tentang espreso, rasa dan alat, jenis kopi, dan faktor-faktor kopi. Di sini kami mulai minum banyak kopi. Karena saya sedang detoksifikasi, saya tak boleh minum kopi. Saya cuma boleh minum air putih dan infused water. Tapi ya mau gimana saya ngerti kopi, kalau saya gak minum. Niatnya saya icip-icip saja. Awalnya cuma icip-icip, eh saya jadi keterusan karena enak dan tak kuasa meneguk setiap gelas yang saya coba. Akhirnya maag saya kambuh. 

Terlepas dari itu, meracik secangkir kopi yang enak baik secara manual maupun mesin membutuhkan presisi dan cara yang kompleks. Suhu, gramasi, agitasi, bentuk biji, gilingan, dan kandungan mineral  air yang digunakan saling memengaruhi rasa. Belum lagi saya harus menghapal beragam metode seduh manual dan mesin, dan rasa. Yang paling utama dari semuanya adalah bagaimana lidah kita terbiasa mengingat rasa. Rasa adalah penting untuk meracik kopi yang ingin dibuat: apakah manis (tanpa gula tentunya) dengan cita rasa apel atau pisang, ataukah pahit seperti cokelat hitam, ataukah asam seperti jeruk, lemon, dan berries. Kelas pun diakhiri pukul 17.30.

Hari Ketiga
Lebih banyak kopi yang harus masuk ke dalam tubuh saya karena kelas cupping atau cita rasa. Saya mulai merelakan kegiatan kelas detoksifikasi perut yang saya ikuti dua minggu sebelumnya. Saya minum banyak kopi hingga hampir mabok kopi. Beberapa teman saya juga sudah tidak sanggup lagi minum kopi karena saking banyaknya. Bahkan ada yang muntah. Saya tertawa diam-diam. 

Saya mulai belajar mengatur mesin espreso dan penggiling kopi. Belum lagi menyetel alat seduh manual sesuai dengan rasa yang diinginkan. Bagaimana menonjolkan rasa manis dengan metode V60, bagaimana menonjolkan rasa asam dengan Aeropress. Ternyata sangat rumit. Saya harus bertanya beberapa kali pada teman-teman yang sudah mengerti. Hari ketiga kelas bubar lebih telat dan saya pulang pukul 18.00 selepas magrib. 

Hari Keempat
Lebih banyak espreso dan susu yang masuk ke dalam tubuh saya. Hari ini belajar membuat kopi dengan susu menggunakan mesin seduh. Rasanya lebih enak dibandingkan kopi seduh manual. Kami juga belajar latte art. Saya berulang kali disuruh bikin hati tapi yang jadi malah rosette. Susah ternyata. Tapi, yang paling susah adalah adalah mengkalibrasi mesin kopi dan penggilingan untuk menghasilkan kopi yang konsisten. 

Kelas dipecah menjadi tim terdiri dari dua orang. Tiap tim bergantian menjadi barista dan kasir menerima tim lainnya yang memesan kopi. Sungguh menyenangkan dan meruwetkan. Dalam waktu lima belas menit kami harus membuat delapan jenis kopi termasuk espresso, cappuccino, latte, flatwhite, americano dan machiato. Beberapa peserta sudah mahir mengoperasikan mesin, sementara saya masih gelagapan. Inilah yang nantinya menjadi salah satu bagian dari ujian kelas barista dasar. 

Di sini kami juga harus mempraktikan dasar pelayanan menghadapi pelanggan. Ternyata menjadi barista itu tidak mudah. Ada barista yang tak suka diajak mengobrol saat membuat kopi karena menganggu konsentrasinya. Belum lagi menggunakan gelas yang tepat untuk kopi yang berbeda. Saya pikir ini masalah jam terbang saja, tetapi ada orang yang memang intuisi membuat kopinya di atas rata-rata. Jadi walaupun tak berpengalaman, hasilnya bisa diadu dengan orang yang berpengalaman.

Karena besok ujian, kami sibuk berlatih menggunakan dan mengkalibrasi mesin dan membuat latte art hingga pukul 20.00. Saya suka sekali instruktur dan manajemen di sini sangat ramah dan kekeluargaan. Mereka mau mengajarkan saya yang sering salah ini. Plus, sebelum pulang kami ditraktir pizza sebagai makan malam. 

Hari Kelima
Pukul 09.00 kami mendapatkan taklimat untuk melaksanakan ujian hari ini. Ujian terdiri dari tiga bagian: teori, seduh manual, dan seduh mesin. Teori ini butuh 80% jawaban benar yang terdiri dari pilihan ganda dan isian. Untuk seduh manual, kami diharuskan membuat kopi dengan rasa yang diminta oleh penguji menggunakan dua alat saja dalam waktu tertentu. Sementara untuk seduh mesin, kami harus mengkalibrasi mesin penggiling dan espreso dalam waktu 15 menit saja. Jika berhasil, dilanjut membuat 8 jenis kopi dalam 15 menit. Kami juga dibatasi menggunakan biji kopi hanya sampai 100 gram. Mendengarnya saja sudah bikin saya sakit perut.

Untuk ujian teori tak ada masalah yang berarti karena semua sudah dijelaskan di kelas. Oh ya, penting untuk diketahui, materi dari awal hingga akhir tidak dibagikan kepada peserta. Oleh karena itu mencatat dan memfoto materi di salindia presentasi sangatlah penting.

Dalam ujian seduh manual dan mesin, kelas dibagi kedalam dua tim. Tim pertama melakukan ujian seduh manual, tim kedua seduh mesin, setelah beres kemudian ditukar. 

Saya kebagian ujian seduh manual terlebih dahulu. Karena gugup saya sempat salah pilih alat sambil terus mengecek waktu. Waktu yang berbatas ini bikin saya kehilangan rasa tenang dan percaya diri. Bawaannya ingin cepat-cepat kelar. Saya diminta mempresentasikan kopi hasil seduh manual saya. Saya sendiri tidak puas karena rasanya tidak enak. Kecut dan hambar. Saya diberikan kesempatan mengulang sekali lagi dan berhasil lolos. 

Beberapa teman saya lainnya sampai harus mengulang tiga sampai empat kali. Saya berdoa dalam hati supaya hanya mengulang sekali saja. Intinya dalam ujian ini, saya diberi pelajaran bahwa metode dan faktor teknis membuat kopi yang enak adalah penting, tapi yang paling penting adalah membuat rasa yang diinginkan terlepas dari alat dan faktor itu semua. Intinya gimana caranya terserah supaya bikin kopi enak yang diinginkan. 

Setelah selesai seduh manual, saya turun melihat tim yang sedang melakukan ujian seduh mesin. 

Ini yang membuat saya frustrasi. Belum ada satupun dari mereka yang berhasil mengkalibrasi mesin penggilingan dan mesin espreso. Akhirnya kami istirahat makan siang dan salat Jumat. Tim seduh mesin ditukar dengan tim seduh manual terlebih dahulu. Aku sudah menghapal gramasi, durasi air panas, dan strategi membuat delapan kopi dalam 15 menit. Tapi itu semua akan percuma jika kalibrasi gagal. Jika kalibrasi mesin penggilingan dan mesin espreso gagal, berarti tak bisa melanjutkan ke ujian membuat kopi seduh mesin. Kejam tapi terdengar logis.

Muka Frustrasi

Dalam 15 menit saya harus berhasil mengkalibrasi mesin penggilingan dan mesin espreso dengan biji kopi hanya 100 gram. Katakanlah untuk membuat segelas espreso yang konsisten, saya perlu 17 gram biji kopi dengan waktu seduh 20 – 30 detik. Berarti saya hanya punya 5 kesempatan untuk mengkalibrasi semuanya. Jika teman-teman sebelumnya yang berpengalaman saja gagal, apalagi saya. 

Saat waktu dimulai, saya mencoba memutar mesin penggilingan ke arah yang jauh. Karena itulah yang teman-teman saya sarankan. Logikanya kita lebih bisa mengontrol tenaga daripada mencoba mengatur besar gilingan kopi dengan jumlah biji kopi yang terbatas. Setelah dicoba ternyata malah menghasilkan biji kopi yang sangat kasar. Tamping saya tidak kuat dan akhirnya saya membuat espreso yang leber dan tidak enak. Jika espreso yang dibutuhkan berukuran 30 ml, saya membuat 35 ml. Jauh dari target.

Saya mencoba tidak panik dengan diam sejenak. Daripada memutar mesin penggilingan ke arah coarse, saya memutar ke arah lembut. Saya coba tamping dengan perasaan. Pelan tapi pasti. Saat mencoba membuat espreso, espreso saya pas di angka 27 ml dengan krema mencapai 30 ml. Instruktur melihat hasil saya dan meminta saya membuat dua cangkir espreso yang sama untuk meyakinkan konsistensi bahwa yang tadi bukan sekadar keberuntungan. Gelas kedua dan ketiga konsisten sama, dan saya dinyatakan lolos kalibrasi. Saya diminta menunggu di luar dan beberapa teman-teman bertanya kepada saya cara kalibrasi. Jujur saya tidak tahu apa itu keberuntungan atau bukan. Saya menganggapnya keberuntungan. Saya katakan saja apa yang saya lakukan. 

Pukul 15.00 saya kembali masuk ke ruang ujian seduh mesin untuk membuat lima kopi yang belum saya ketahui. Saya diberitahu saat ujian untuk membuat membuat satu flatwhite, dua cappuccino, dan dua latte, dan satu Americano, dan dua espreso. Semuanya dalam 15 menit dengan biji kopi hanya 150 gram. Saya memulai dari yang paling gampang: dua espreso, satu americano, satu flatwhite, dua latte, dan dua cappucino. Membuat dua espreso menggunakan satu mesin masih termasuk mudah. Yang sulit membuat foam susu dengan satu jar untuk dua kopi. Saya tak percaya diri dan membuuat dua latte dengan foam susu yang terpisah. Saat waktu sudah menipis, saya beranikan diri membuat dua cappuccino dengan satu jar foam susu. Waktu habis dan saya berhasil menyelesaikan delapan minuman. Dengan acak-acakan. Baik tampilan maupun rasa. 

Saya sendiri tak bisa membedakan hasil cappuccino dan latte yang saya buat. Latte art absurd yang menggambarkan kehidupan saya. Saya dapat komentar bagus untuk cappuccino tapi untuk sisanya dapat komentar tak karuan. 

Sampai habis magrib, saya masih menunggu hasil ujian keseluruhan. Beberapa teman saya masih belum berhasil melakukan kalibrasi jadi kami memberikan masukan kepada mereka. Karena diburu-buru waktu, saya meminta untuk pulang terlebih dahulu. Waktu sudah menunjukan pukul 19.00 sementara jadwal kereta saya pukul 20.45. Saya juga harus pulang dulu untuk mengambil perlengkapan dan menyimpan kendaraan. Untungnya karena pihak manajemen dan peserta lainnya berbaik hati, akhirnya ujian dicukupkan hingga pukul 19.30.

Dalam evaluasi kami semua deg-degan menunggu pernyataan lulus atau tidak. Tapi tidak perlu khawatir, bagi yang tidak lulus ujian tetap mendapatkan sertifikat partisipasi dan bisa mengikuti ujian selanjutnya kemudian hari. Bagi beberapa teman, sertifikat tak terlalu penting karena pengalaman mereka mengungguli secarik kertas. Bagi saya sertifikat lumayan penting. Karena pengalaman saya nihil, saya perlu sertifikat lolos ujian untuk memupuk rasa percaya diri saya bahwa rasa penasaran ini ternyata membuahkan manfaat.

Dari delapan orang yang mengikuti ujian, dua orang tidak lulus. Saya termasuk yang lulus. Saya senang bukan kepalang. Skor teori saya 90% dan praktik lulus 80%. Lumayan, kan?

Angkatan 8

Pembagian Sertifikat

Setelah berfoto dan pamitan kepada rekan-rekan, saya pamit duluan mengejar kereta. Dengan mengebut, saya bisa sampai di stasiun pukul 20.43. Dua menit sebelum berangkat! Akhirnya saya bisa tidur tenang di kereta tanpa terganggu kafein di perut saya lagi.

Kini saya pun sudah lebih tahu banyak tentang kopi. 

Comments