Memperluas Perspektif Linguistik melalui Seminar Internasional Kebahasaan 2019

Saya dan Poster Penelitian saya

Minggu lalu saya berkesempatan menghadiri Seminar Internasional Kebahasaan di Jakarta yang diselenggarakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Beruntung karena pekan itu saya juga berencana ke Jakarta untuk ikut konsolidasi proyek yang sedang dikerjakan satu konsultan.
 
Berawal dari penelitian tentang kebahasaan yang saya kerjakan, supervisor saya menyarankan saya untuk mengikuti Seminar Internasional Kebahasaan ini sebagai bentuk evaluasi. Judul seminarnya cukup panjang, yakni 'Memajukan Peran Bahasa dalam Kancah Kontemporer Indonesia: Penguatan Strategi dan Diplomasi di Berbagai Bidang'. Walaupun tidak sebidang dengan latar belakang pendidikan saya, saya tak menolak kesempatan ini. Oleh karena itu saya ikuti proses submisi makalah. Setelah menunggu cukup lama, saya mendapat kabar satu kali revisi untuk bisa terpilih menjadi salah satu pemakalah poster.

Seminar Internasional Kebahasaan ini bertempat di salah satu hotel di jalan Cikini. Ada empat subtema yang diusung, yaitu 1) Bahasa dan Pengajaran, 2) Forensik Kebahasaan, 3) Penerjemahan, 4) Kebinekaan dan Kekerabatan Bahasa. Saya memilihi subtema keempat walaupun sebenarnya tertarik dengan subtema kedua dan ketiga. Seminar ini dihadiri akademisi dan pegiat bahasa yang dirangkai dengan lokakarya. Saya berkenalan dengan dosen, guru, dan pegawai Balai Bahasa dari beragam daerah. Saat melihat daftar pemateri utama, teman saya berkomentar bahwa sebelas pemateri utama dalam seminar ini memiliki kredibilitas tak diragukan di bidangnya baik secara nasional maupun internasional. Walaupun begitu, nama mereka masih asing di telinga saya.


Materi yang disajikan cukup beragam sesuai dengan subtema masing-masing. Misalnya saja ada Prof. Emi Emilia, M.Ed, Ph.D yang mewakili Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Prof. Emi membahas tentang pengajaran bahasa di tengah era globalisasi. Kemudian Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M. Pd dari Universitas Negeri Yogyakarta yang memaparkan tentang media sosial sebagai sarana diplomasi di era milenial.

Profesor Sutrisna Membahas Media Sosial

Jumlah jam yang dialokasikan untuk seminar sebanyak 21 jam dan untuk lokakarya 36 jam selama empat hari. Jadi totalnya 57 jam. Materi seminar sebanyak 21 jam disajikan secara pleno yang artinya tiap orang harus menyaksikan materi tersebut. Sementara lokakarya terbagi ke dalam 11 kelas berikut:

Dapat rupa-rupa pengetahuan linguistik

Saat saya mengikuti kelas kebinekaan yang menelusuri kekerabatan bahasa Alor dengan Proto Melayu Polynesia, kepala saya lama-lama berdenyut pusing. Terlebih sebelumnya saya menelan kelas diakletologi dan linguistik diakronis. Walau dikemas dengan terminologi khusus dan teknis, menariknya kekerabatan Bahasa Alor ini dipresentasikan Prof. Dr. M. A. F. Klamer yang merupakan dosen lingustik University of Leiden. Ia mengemukakan materinya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Di sela-sela kelas, Prof. Klamer menanyakan latar belakang peserta yang ikut lokakarya ini. Dari peserta yang ada, hanya saya yang profesinya tidak berkaitan langsung dengan kebahasaan. Saya mengutarakan latar belakang pendidikan saya dan profesi saya yang tidak berhubungan erat dengan lingustik. Saya bilang saja bahwa saya memiliki antusiasme tinggi terhadap bahasa dan sastra. Profesor Klamer cukup terkejut mendengar cerita saya. Sama terkejutnya dengan saya yang mendengarkan kelasnya yang penuh terminologi linguistik teknis.

Profesor Klamer


Di antara banyak kelas yang saya ikuti, saya memfavoritkan Research on Forensic Linguistics dan Translation as Intercultural Communication. Kelas Research on Forensic Linguistics: Approaches and Applications disajikan oleh Assoc. Prof. Georgina Heydon dari RMIT University. Di kelas ini saya mendapatkan pemahaman pragmatis dan teknis bagaimana linguistik (dan seorang linguis) bisa membantu menyelesaikan perkara-perkara yang sifatnya interdisipliner. Kebahasaan forensik bisa membantu menganalisis bukti tulisan atau rekaman dalam sidang, invesitasi kepolisian, dan menggali informasi dari seseorang. Kemampuan kebahasaan forensik ini menjadi spesialisasi seorang linguis dan interpreter. Menurut Prof. Heydon, seorang linguis atau interpreter di Australia yang ingin membantu persidangan atau investigasi setidaknya harus memiliki pendidikan doktor dalam forensic linguistics. Meski tidak beririsan besar, kebahasaan forensik ini cukup berkaitan dengan pekerjaan lainnya seperti penerjemah, penulis, dan wartawan yang sering mentranskirpsi rekaman dan menganalisis tulisan. Saya seketika terpesona dengan ilmu forensik linguistik.

Tak hanya pemateri dari luar, pemateri dari negeri sendiri tak kalah hebatnya. Saya menyukai pemaparan Prof. Dr. Machsun, M.S dari Universitas Mataram mengenai Linguistik Dikaronis yang merupakan ancangan alternatif bagi pengembangan strategi diplomasi dan kebahasaan menuju Indonesia yang berkedamaian. Pemaparannya lugas, tegas, dan sangat akademis. Selain itu ada juga Prof. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D dari Universitas Sebelas Maret yang memaparkan Translation in Systemic Functional Perspective. Saya mulai merasakan bahwa bahasa (belum termasuk sastra) memiliki topik kajian yang super luas dan tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari.
Hari terakhir adalah presentasi pemakalah poster disambung materi terakhir dari Prof. Dr. Dr. H.C. Juliane House dari University of Hamburg. Prof. House berbicara tentang Translation as Communication Across Language dan Culture yang termasuk ke dalam materi favorit saya. Selain pemaparannya yang sangat konkret, Prof. House bisa memberikan solusi spesifik mengenai persoalan yang dihadapi interpreter atau translator. Di akhir materi, saya berkesempatan berbincang dengan Prof. House dan mewawancarainya. 

Materi dari Profesor House


Berikut cuplikan wawancara kami yang sudah saya terjemahkan ke bahasa Indonesia:

Apakah kemampuan interpretasi dan translasi di luar dari komunitas linguistik atau mereka yang memiliki latar belakang pendidikan bahasa itu penting dipelajari?

Walaupun tidak seakurat para linguis atau mereka yang memiliki latar belakang formal bidang kebahasaan, kemampuan dasar interpretasi dan translasi cukup penting bagi sejumlah profesi di era globalisasi ini. Diplomat, pebisnis, bahkan jurnalis harus mulai mengasah kemampuan mereka. Namun untuk topik yang spesifik dan akademik, tentunya anda tetap membutuhkan bantuan seorang linguis karena mereka lebih memahami konteks bahasa.

Bagaimana cara untuk meningkatkan kemampuan interpretasi dan translasi bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang kebahasaan?

Ya seperti anda ini. Latar belakang lingkungan dan jurnalistik tapi ikut menghadiri pelatihan kebahasaan. Sekarang kita juga bisa memahami bahasa lewat internet, terlebih dengan adanya Google Terjemahan. Kita bisa belajar hal yang paling dasar lewat internet. Yang terpenting adalah sejauh mana niat kita mau belajar.

Pesan-pesan apa yang bisa diberikan kepada generasi muda Indonesia yang berkaitan dengan kebahasaan agar mereka lebih percaya diri?

Saya pikir Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa daerah. Saya yakin anda bisa berbicara Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Pembelajaran bahasa ini harus difamiliarisasi sejak dini di lingkungan keluarga sehingga anda bisa bangga berbicara bahasa daerah seperti anda bangga berbicara bahasa asing. Saya senang bisa berbicara dengan anda karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional. Tapi anda akan lebih senang lagi berbicara dengan saya jika saya bisa berbicara bahasa daerah anda. Itulah kebanggaan yang perlu ditanamkan. Terlebih lagi di era globalisasi ini, teknologi, perangkat lunak, dan internet bisa digunakan dengan bebas. Mulailah dari situ.

Menyimak jawaban Prof. House menambah rasa percaya diri saya. Walau kesulitan memahami terminologi dan definisi kebahasaan secara teknis, saya masih bisa mengejar ketertinggalan berbekal Google Terjemahan dan bertanya pada teman sebelah saya. Hal ini juga berkaitan dengan beberapa proyek yang saya ikuti dan mengharuskan saya menjadi interpreter sekaligus translator. Saat klien saya menanyakan latar belakang pendidikan saya, mereka cukup kaget mendengar jawaban saya yang bukan berasal dari rumpun bahasa dan sastra. Apalagi mendengar saya tidak pernah ikut kursus bahasa Inggris, (hanya Perancis dan Belanda). Hal ini selalu saya buktikan dengan mengantongi skor UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia), IELTS, dan DELF (Diplôme d’études en langue Français) yang tidak mengecewakan. Jadi klien saya juga bisa percaya secara profesional.

Satu hal yang pasti, kemampuan berbahasa itu harus terus diasah dan digunakan. Baik secara lisan maupun tulisan. Termasuk interpretasi dan translasi. 


Seperti pepatah, alah bisa karena biasa.






Comments

  1. Keren pengalamannya. Terima kasih sudah menulis ini dan membagi ilmu yang di dapat

    ReplyDelete

Post a Comment