Menuju Taman Bumi Tersembunyi (Bagian Akhir)


Hamparan sawah dan benteng pegunungan

Setelah menghabiskan malam di Curug Awang dan mendengar suara usil, aku segera menghubungi Kang Wildan untuk memesan kamar tidur di tempatnya. Sebelum zuhur kami sudah bertemu di mulut jalan menuju Curug Sodong yang berjarak 40 menit dari Curug Awang. Kang Wildan tinggal bersama dengan orang tuanya. Rumahnya merupakan salah satu rumah yang dibina dalam program pemberdayaan kepariwisataan. Tak heran rumahnya jadi mirip hostel mini. Tiga kamar kecil dengan kipas angin yang masing-masing cukup dihuni dua orang, dan satu kamar yang bisa dihuni empat orang dengan pendingin ruangan. Kamar mandi khusus tamu berada di ruang tengah. 



Kang Wildan menyarankan kamar yang besar itu untuk aku sewa sendiri dengan harga yang sama dengan kamar kecil berkipas angin. Katanya, bulan ini sedang tak begitu banyak wisatawan yang berkunjung. Aku mengangguk girang. Aku berkenalan dengan Ibu Kang Wildan dan anak Kang Wildan. Mereka sangat ramah. Aku disuguhkan pisang goreng dan teh panas manis. Sambil mengudap goreng pisang, kami mengobrol.

Baca dulu bagian awal perjalanan ke Ciletuh

Menurut Ibu Kang Wildan, beberapa bulan lalu ada dua mahasiswa Unpad yang sedang penelitian di sini. Ia juga bercerita bahwa anak terakhirnya masuk Unpad jurusan perikanan lewat program Unpad Nyaah Ka Jabar. Aku mengangguk tanda kagum. Setelah itu aku permisi ke kamar untuk istirahat.

Mendapatkan diri berada di ruangan berpendingin ruangan dengan kasur lega otomatis membuat mataku berat. Terlebih perut sudah terisi goreng pisang dan teh manis. Akhirnya aku tertidur sampai menjelang asar. Sebelum azan, aku buru-buru bangun dan mandi. Setelah itu aku bergegas ke masjid dekat penginapan.

Setelah salat, aku berkenalan dengan bapak pengurus masjid yang juga berjualan sayuran di rumahnya. Suasana seperti ini mengingatkanku saat masa Kuliah Kerja Nyata di Pagaden, Subang. Betapa senang bisa mengobrol dengan orang-orang sini dan belajar banyak tentang keseharian mereka. Aku disarankan untuk bergegas ke Curug Sodong karena akan segera tutup. Tak menunggu lama, aku segera mengambil motorku dan memacunya ke Curug Sodong yang berjarak sepuluh menit dari penginapan.
Seperti biasa, aku dipungut biaya parkir Rp10.000,00 dan biaya kebersihan seikhlasnya. Ada dua Curug di sini. Curug di bawah yang tak jauh dari tempat parkir. Dan curug atas yang perlu berjalan 15 menit dari tempat parkir. Aku berjalan menuju Curug Atas dan berpapasan dengan wisatawan yang hendak menuju parkiran.

Menjelang sore berjalan sendiri di antara hutan di Curug Sodong membuatku sedikit merinding. Tapi rasa merindingku hilang seketika melihat curug yang begitu tinggi dan indah. Dari tempatku berdiri aku juga bisa melihat laut lepas Pantai Ciletuh. Di sini juga ada warung yang dikelola warga dan tempat salat seadanya. Aku duduk di bebatuan sambil menikmati bebatuan air terjun yang airnya sedang surut. Setelah foto-foto, aku berjalan kembali ke parkiran.

Menjelang magrib, aku disamper bapak yang tadi sore bertemu di masjid. Ia mengajak salat berjamaah. Aku dengan semangat mengikutinya. Setelah salat, aku ditawari untuk mampir ke rumahnya. Tapi aku menolak halus karena ingin jalan-jalan malam hari di sekitar permukiman warga. Aku jalan kaki lumayan jauh, hampir satu jam. Malam di sini sangat sepi dan lumayan gelap. Praktisnya, dekat rumah Kang Wildan ada minimarket dan pom mini bensin. Jadi tak perlu repot jika ingin jajan. Untuk makan malam aku beli bakar ayam dan nasi. Harganya cukup mahal, yaitu Rp23.000,00. Aku habiskan tanpa tersisa tulangnya.

Setelah itu aku kembali ke rumah Kang Wildan dan bertemu dengan bapaknya yang mantan pengurus PAPSI. Aku juga dikenalkan dengan adik bapaknya Kang Wildan yang merupakan guru di sekolah dasar Ciletuh yang merupakan sekolah perintisan dengan kurikulum taman bumi. Mereka bercerita banyak tentang kearifan lokal dalam memuliakan bumi dan menyejahterakan masyarakat. Termasuk saat perwakilan UNESCO datang meninjau Ciletuh dalam rangka menjadi taman bumi warisan dunia. Aku menyimak dengan saksama sambil merekam obrolan kami. Menjelang tengah malam, mereka pamit untuk ronda dan patroli. Aku juga sudah mengantuk dan langsung merebahkan diri di kasur sambil menulis draf laporanku.

Keesokan paginya aku bergegas ke permukiman dekat pantai Ciletuh yang menjadi rumah penginapan yang dibina pemerintah dan pihak swasta, yaitu Desa Cimarinjung. Saat mengobrol dengan beberapa pemilik rumah, aku ditawari menginap di rumah mereka. Aku bilang saja sudah menginap di rumah Kang Wildan. Ternyata pengelola rumah penginapan kebanyakan ibu rumah tangga. Berbeda dengan rumah Kang Wildan yang dikelola oleh Kang Wildan. Ibu rumah tangga di daerah ini giat mengikuti rapat dan berkoordinasi dengan pemandu wisata untuk menarik wisatawan supaya menginap di tempat mereka. 

Menjelang siang, aku sudah mendapatkan semua informasi yang aku butuhkan. Aku tinggal main-main saja. Aku mengunjungi Curug Cimarinjung yang aku lewati hari pertama. Curug ini curug paling indah. Aku merasa berada di latar film Jurassic Park. Andaikan boleh berenang, aku sudah nyemplung dari tadi. Sayangnya arusnya lumayan deras. Jadi memang tidak boleh berenang di curug ini (dan curug manapun sebetulnya).

Sungguh Cantik, bukan? 


Setelah Curug Cimarinjung, aku mampir ke Pantai Ciletuh. Aku sebenarnya ingin snorkel, tapi berhubung saat itu tidak ada yang berkeinginan sama denganku, aku harus mengurungkan keinginanku. Kecuali aku mau menyewa perahu sendirian seharga Rp600.000,00. Aku menunggu sampai sedikit sore sambil memasang hammock. Setelah lumayan lama menunggu, tak ada tanda-tanda wisatwan yang ingin snorkel. Akhirnya aku memutuskan balik ke penginapan.

Nah, saat mengendarai motor, aku teringat kunci kamar. Aku segera menepi dan mengodok sakuku. Tak ada. Aku cek di tasku juga tak ada. Aku sudah berkeringat dingin. Aku balik lagi ke Pantai Ciletuh untuk mencarinya, tapi tak ada juga. Aku mulai menyusuri kembali jalanan. Aku seperti orang kebingungan yang mencari uang di antara bebatuan.

Karena kemungkinan jatuhnya sangat besar, aku putuskan balik ke penginapan dan bilang ke Kang Wildan. Tapi sebelumnya, aku penasaran balik lagi ke parkiran Curug Cimarinjung. Siapa tahu ada di sana. Saat aku kembali ke parkiran, ternyata kunci itu terjatuh di tempat aku memarkir motorku. Alhamdulillah! Sebetulnya aku sudah tegang. Bukan untuk mengganti kuncinya, karena aku yakin penginapan memiliki kunci cadangan tiap kamar. Tapi soal kepercayaan dan kedisiplinan diri. Masa menjaga kunci yang sekecil itu saja (untuk dua malam pula) masih lalai? Aku pasti kecewa terhadap diriku yang ceroboh.

Savoring Golden Hours in Ciletuh

Karena kunci kamar sudah ditemukan, suasana hatiku mendadak bagus kembali. Aku kembali ke pantai Ciletuh untuk menyaksikan matahari terbenam. Hampir tak ada pengunjung lainnya selain aku. Hanya tukang makanan dan minuman yang hendak bergegas pulang. Sebelum mereka pergi, aku memesan segelas es cincau dan seiring lotek yang totalnya tak lebih dari Rp15.000,00.

Aku kembali ke penginapan menjelang isya. Tadinya aku ingin berkemah di pantai. Tapi terakhir aku cek, tak ada tenda satupun. Aku jadi khawatir juga karena mengingat kejadian sebelumnya berkemah sendiri di Curug Awang.

Keesokan harinya aku menghabiskan waktu melihat sekolah dasar perintisan di Ciletuh. Ternyata sangat bagus dan inovatif. Ada arena bermain dengan tema taman bumi dan kearifan lokal. Menjelang siang, tepatnya pukul 14.00 aku pamit pulang kepada kang Wildan dan keluarganya. 

Sambil menikmati pemandangan pulang, aku pamit pada Taman Bumi Ciletuh Palabuhan Ratu. Aku bersyukur bisa solo road trip menggunakan motor menuju tempat ini. Menjelang magrib aku istirahat di masjid Sukabumi dan makan bakso. Total empat jam perjalanan dari Sukabumi ke Bandung. Aku berharap bisa kembali mengunjungi taman bumi ini.  

Kiranya tak berlebihan menutup tulisan ini dengan testimoni M.A.W Brouwer, "Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan Tanah Pasundan."


Comments

  1. Hai... Do you mind..if a stranger like me join ur solo travel in the future?

    ReplyDelete

Post a Comment