Lelarian di Manglayang


Berpose di Manglayang 

Sabtu pagi di pengujung Oktober saya paksakan mata saya terus melek setelah menunaikan salat subuh. Dengan setengah sadar saya bersiap-siap mengenakan sepatu dan pakaian olahraga. Rencananya saya dan beberapa kawan-kawan akan lelarian di gunung alias trail run. Sebetulnya agenda lelarian Sabtu itu untuk menemani teman-teman lari yang mengikuti BTS trail run di kompleks Gunung Bromo dan Semeru. Beberapa teman saya ada yang ikut 30 km, 70 km, 102 km, bahkan 170 km. Saya sih tidak ikutan even tersebut. Belum kuat dan belum ada niat. Karena Sabtu itu adalah terakhir mereka latihan, saya sengaja ikut menjadi tim penggembira. Rute latihan yang dipilih adalah Gunung Manglayang. Selain karena dekat dan mudah diakses, Manglayang terkenal dengan trek yang menantang untuk latihan elevasi.




Pukul lima pagi saya bertemu dua orang teman saya di Terminal Cicaheum. Kami berencana memulai sesi lari dari Batu Kuda yang merupakan tempat wanawisata. Gunung ini tidak asing karena beberapa kali pernah saya naiki dan kemahi. Letaknya di belakang kampus saya dulu. Terakhir kali saya mendaki Manglayang pada 2016 lewat jalur Barubereum. 
Pengalaman saya saat itu bisa dibaca di sini.

Mendaki Manglayang: 2016 vs 2019

Gunung Manglayang ini gunung yang sering dianggap underrated, sering diremehkan. Padahal pemandangannya cukup indah dan jalurnya lumayan menantang, apalagi saat musim hujan. Manglayang punya beberapa jalur pendakian; yang paling terkenal adalah jalur Batu Kuda (Kabupaten Bandung) dan Barubereum (Kabupaten Sumedang). Lokasi Batu Kuda dekat dengan Terminal Cicaheum, kota Bandung, sementara Barubereum persis dekat Kiara Payung, kampus Unpad Jatinangor. Kami hanya membutuhkan waktu 30 menit dari Terminal Cicaheum untuk tiba di Batu Kuda. Perbedaan yang cukup mencolok dari gerbang Batu Kuda dan Batubereum terletak pada akses wisata. Gerbang Batu Kuda memang dikukuhkan menjadi area wanawisata lengkap dengan area kemah. Area parkir motor dan mobil pun cukup luas. Sementara di Barubereum lebih dikhususkan untuk jalur pendakian. Untuk parkir motor dan mobil di sini cukup sulit. Namun begitu keduanya memiliki jalur yang cukup menantang.


Bersiap-siap lelarian
Setibanya di Batu Kuda, kami bertiga bersiap-siap untuk lari. Sambil pemanasan, kami juga menunggu beberapa teman-teman lainnya yang berniat menyusul. Tak lama kemudian lima orang teman kami datang menyusul. Oh ya, biaya masuk di sini sekitar Rp20.000,00. Sudah termasuk parkir. Kami memulai sesi lari pukul 06.30 dengan foto-foto terlebih dahulu di area kemah dekat gerbang masuk. Saat itu cukup banyak siswa sekolah yang sedang mengikuti kegiatan Perkemahan Sabtu Minggu (PERSAMI).

Puas foto-foto kami perlahan naik dengan mengatur pace jalan biasa hingga lari. Sejujurnya saya lebih menyukai haiking daripada lari di gunung. Saat haiking saya bisa menikmati kondisi sekitar dengan lebih syahdu. Memegang dedaunan dan pepohonan, menatap awan dari ketinggian, dan bertelanjang kaki di tanah. Sementara saat berlari, fokus utama adalah kecepatan dan ketepatan koordinasi tubuh. Walau tak dipungkiri saya penasaran juga mencoba lari di gunung. Saat mengunjungi Semeru, Rinjani, dan Lawu saya beberapa kali berpapasan dengan pelari yang hanya berbekal minimal dan sedang melompat menuruni trek pendakian. Ya, melompat! Di Lawu saya berpapasan dengan pelari yang hanya menenteng sebotol plastik air mineral di tangan kanannya dengan peluh yang mengguyur badannya. Padahal untuk berlari menuruni Lawu via Cemoro Kandang tanpa memanggul tas gunung masih membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Saat itu saya ikut bersemangat mengikuti pelari itu dan hampir berlari sambil menggendong tas gunung 60 L di punggung. Sampai tak lama kemudian pinggang saya kesakitan. Duh, capeknya bukan main.

Begitu pula di Manglayang. Padahal saya tidak bawa tas gunung sama sekali tapi begitu kaki ini diajak berlari menaiki elevasi yang menantang, detak jantung saya melonjak drastis disertai keringat bercucuran. Kadang elevasinya hampir 90 derajat. Beberapa kali jam pintar di pergelangan saya bergetar terus menerus menandakan detak jatntung saya terlalu tinggi. Saya memang mengesetnya ke 171 bpm sebagai ambang batas atas. Sejauh ini saat saya naik gunung maupun lari, jam pintar saya tak pernah bergetar menandakan ambang batas atas yang tersentuh. Jadi memang tidak pernah semelelahkan dan semendebarkan lari di gunung. Kalau sudah begitu, saya coba menenangkan diri lewat napas yang teratur dan mengurangi pace saya secara signifikan. Kadang saya beristirahat sambil menenggak air minum yang saya selipkan di punggung saya. Selain itu peralatan lari yang dikenakan juga tak bisa sembarangan. Khususnya sepatu. Idealnya sepatu lari khusus trail digunaakan saat berlari di medan yang tak stabil, terlebih dengan elevasi. Karena saat berlari menggunakan sepatu biasa, ada kemungkinan besar kita terpeleset dan jatuh hingga cedera. Perbedaan menggunakan sepatu trail dan road sangat terasa sekali di Manglayang. Saat haiking dulu saya menggunakan sepatu road dan bisa ditebak saya berulang kali jatuh.

Hampir 90 derajat kemiringan

Kurang lebih 90 menit dari titik kami berlari, kami pun mencapai puncak. Puncak Manglayang ini tertutup dikelilingi vegetasi dan pepohonan besar dengan ketinggian 1818 mdpl. Cocok untuk kemah karena melindungi dari angin gunung yang menerpa tenda. Setelah istirahat sebentar dan foto-foto, kami berjalan lagi selama 20 menit menuju puncak bayangan dengan pemandangan yang lebih terbuka. Tidak lupa kami juga foto-foto di sana. 


Bersama teman-teman RIOT

Di sini saya merasa diingatkan betapa beruntung bisa tinggal di Bandung yang dikelilingi gunung dan hutan serta alam yang mudah dijangkau dan dikunjungi.

Setelah cukup lama berfoto-foto kami memulai sesi lelarian turun. Tiga orang teman saya ngabret berlari di depan sementara saya berlari dengan hati-hati di belakang. Terlebih lagi kacamata yang saya kenakan suka melorot karena selalu fokus ke trek lari. Walau mengenakan sepatu lari, beberapa kali saya hampir terpeleset hingga akhirnya saya terjatuh ala superman. Saya sempat tertawa karena sudah lama saya tidak jatuh seperti ini. Tawa saya terhenti ketika saya sadar monopod GoPro saya sempat terlempar dan patah. Syukurnya GoPro saya tetap utuh dan berfungsi. Akhirnya saya berlari lebih pelan lagi.

Hanya butuh waktu kurang dari satu jam dari puncak untuk turun ke Batu Kuda. Teman-teman saya yang di depan pasti lebih cepat lagi. Beberapa kali saya berpapasan dengan orang-orang yang sedang haiking. Beberapa rombongan dengan anak dan bayi. Saya selalu kagum pada orang tua yang mengenalkan olahraga fisik dan alam kepada anak mereka sedari kecil. 

Lima menit sebelum sampai di Batu Kuda, saya dan kedua teman menyeruput es kelapa segar seharga Rp5000,00. Dahaga langsung hilang saat meneguk es kelapa yang dingin dengan suguhan pemandangan kota Bandung. Setelah es kelapa pindah alam ke dalam perut, kami mulai berlari lari hingga gerbang Batu Kuda. Kami mampir di salah satu warung dan beristirahat agak lama sambil melakukan pendinginan. Saya dan beberapa teman sempat bersih-bersih, salat zuhur, dan makan. Soto ayamnya lumayan enak untuk seharga Rp15.000,00. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi, saya tak terasa jatuh gogoleran dan hampir ketiduran. Tak terasa, jam di ponsel sudah menunjukan pukul 13.15. Kami mulai bersiap pulang dan pamitan satu sama lain. 


Es kelapa segar dan pemandangan Bandung Raya

Oh ya, saran saya lebih baik menggunakan motor karena jalan yang kadang menyempit untuk mobil dari arah yang berlawanan. 
Terlebih lagi meretas jalanan kota Bandung saat Sabtu siang bukanlah perkara mudah. Macetnya kadang tidak tertahankan. Namun begitu, saya sudah kepalang senang karena lelarian di gunung ternyata bisa sangat menggembirakan.

Comments