Empat Tahun Bekerja Lepas



Perjalanan ke Jatiluhur, 2019

Menjajaki empat tahun ke belakang rasanya begitu campur aduk. Banyak kejadian naik dan turun, pelajaran dan rasa syukur yang bisa diselami, terutama tentang mencari nafkah alias bekerja. Betapa tidak, setelah empat tahun bekerja di tv (ceritanya di sini) sambil menyelesaikan studi, alih-alih menjejakkan kaki di tempat yang lebih kokoh, aku malah mengambil career break yang lumayan lama. Tak sedikit teman-temanku yang mempertanyakan logika di balik keputusanku ini. Sebagian besar orang yang mereka kenal berjalan menuju kemapanan, sementara aku seperti sengaja memilih memutar balik arah. 
Silakan Mampir ke tulisanku tentang jeda karir di Australia: di sini dan di sini
Kredo bahwa hidup cuma sekali melekat erat dalam ingatanku. Hal ini juga berkaitan dengan salah satu karakter diri sendiri yang sudah aku kenali sejak lama, yaitu sikap tidak mau membandingkan hidupku dengan hidup orang lain alias masa bodoh. Entah ini sebuah kelebihan atau kekurangan, yang jelas dari dulu aku tak begitu ambil pusing akan rezeki dan jalan hidup orang lain. Jadi jika orang lain bahagia dengan jalan dan rezeki yang mereka miliki, aku pun bahagia. Yang jelas aku sangat meyakini bahwa setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing sehingga tak adil dan tak ada berkahnya jika membandingkan jalan hidup seseorang dengan hidup orang lain. Itulah mengapa aku ajeg memilih jeda karir selama empat tahun yang juga aku habiskan di Australia. Jadi aku memiliki sedikit pengalaman tentang bekerja lepas di Indonesia dan Australia.


Salah satu privilese yang aku miliki adalah orang tua yang mendukung anaknya ke mana pun ia melangkah. Hal ini harus aku akui sangat meringankan langkahku. Restu orang tua adalah doa yang mujarab. Dengan mengantongi restu orang tua dan prinsip bahwa selama jeda karir aku tidak menyusahkan siapapun secara finansial, aku merasa siap untuk berkelana selama empat tahun.

Bekerja Lepas
Memulai jeda karir di Australia pada 2016 membuat aku menyadari banyak hal. Salah satunya adalah mengenal adaptasi dan resiliensi diri sendiri di lingkungan baru. Berbeda dengan mendapat beasiswa untuk sekolah dulu, bekerja menjadi buruh di negeri asing membuat hidup menjadi sangat keras. Kalau tidak bekerja hari ini, aku tidak akan bisa membayar sewa apartemen dan membeli makan. Dari sini aku mulai belajar mengontrol diri dengan mengetahui apa yang aku mau, bisa, dan butuhkan. Aku juga mulai menyadari apa-apa yang aku tidak mau, tidak bisa, dan tidak butuhkan. Aku mulai mencari pekerjaan dan lingkungan pekerjaan yang mengasah tidak hanya profesionalitas diri, tapi juga pendewasaan hidup.

Mendapat tip dari tamu

Di Australia ada tiga jenis pekerjaan: penuh waktu (full-time), paruh waktu (part-time), dan casual. Yang membedakan ketiganya adalah jumlah waktu dan upah kerja. Dengan bekerja penuh waktu, artinya kita dijamin mendapatkan jam kerja 40 jam/minggu atau 8 jam/hari. Sementara paruh waktu minimal 20 jam – 40 jam/minggu bergantung kebutuhan perusahaan tempat bekerja. Lain halnya dengan casual, kita bekerja saat memang dibutuhkan saja. Bisa jadi 8 jam/minggu atau bahkan 8 jam/bulan. Secara akumulasi jam aku sering bekerja melewati batas waktu 40 jam karena dalam satu waktu aku bisa memiliki dua sampai tiga pekerjaan sekaligus. Sebagai gambaran, pekerjaan casual ini bisa sangat melelahkan saat sedang sibuk. Misalnya saat musim panas, akhir tahun, atau akhir tahun pembukuan (Juni atau Juli). Satu minggu bisa dapat sampai 40 jam kerja. Namun ketika sepi, hanya ada 8 jam kerja dalam dua bulan. 
Secara upah ketiganya juga berbeda. Tentunya upah bergantung pekerjaan. Aku pernah bekerja sebagai staf dapur, pembersih kamar hotel, pramusaji, resepsionis, tukang kebab, sampai barista all-rounder. Tempat terakhir aku bekerja adalah hotel bintang empat. Di sana gaji perjam penuh waktu untuk resepsionis satu dolar lebih tinggi dibandingkan paruh waktu. Sementara untuk casual gajinya lima dolar lebih tinggi dibanding penuh waktu. Perbedaannya, pekerjaan penuh dan paruh waktu dapat annual leave yang artinya kita dikasih satu bulan liburan (bergantung lama kita bekerja) tapi masih digaji. Sementara casual tidak. Selain itu casual tidak mendapat super-annuation (akun pensiun atau saat meninggalkan Aussie untuk selamanya) yang bisa diklaim, sementara penuh dan paruh waktu mendapatkan super-annuation.

Melintasi Cavenagh Street, Sepulang kerja di Darwin
Perbedaan kultur kerja di Indonesia dan Aussie sangat tercetak jelas. Kerjaan di Aussie sangatlah demanding. Karena biasanya hitungan kerja di Aussie itu per jam, maka produktivitas perjam adalah sangat tinggi. Kalau tidak berhubungan dengan pekerjaan, mengecek ponsel saat jam kerja adalah pelanggaran profesionalisme. Sementara di Indonesia, terbiasa mengecek ponsel saat bekerja adalah hal yang umum.
Awal 2018 aku pulang ke Indonesia beberapa bulan sampai akhirnya balik lagi ke Australia awal 2019. Selama kurun waktu itu aku menghabiskan waktu untuk mengerjakan proyek di Indonesia, ikut beberapa lokakarya, road-trip, naik gunung, dan menghadiri pernikahan teman dan kerabat dekat.  Aku tergabung di salah satu konsultan lingkungan yang mempekerjakanku on project-based dan menjadi pekerja kontrak di salah satu LSM yang bergerak di bidang pendidikan dan inklusivitas sosial.

Plus dan Minus
Kalau ada yang bisa aku ringkas selama empat tahun bekerja lepas, sepertinya adalah sebagai berikut:

Kelebihan bekerja lepas:

1. Waktu untuk perkembangan diri (self-development)
Saat bekerja penuh waktu, aku sering merasa kurang memiliki banyak jeda waktu untuk meningkatkan kapasitas diri baik secara profesional maupun spiritual. Sementara dengan bekerja lepas maka aku bisa mengatur waktu kerja dan perkembangan diri. Waktu pengembangan diri juga bisa digunakan untuk keluarga, pasangan, atau diri sendiri. Di Australia aku belajar mengatur waktuku sendiri untuk bekerja dan meningkatkan diri. Di restoran tempat aku bekerja, aku bisa memilih sif kerja pagi atau sore selama satu minggu. Sisa waktu seharinya sering aku manfaatkan untuk ikut kelas meditasi alam, bergabung di komunitas muslim Sydney, olahraga dan jalan-jalan, atau ikut kursus. Atau kalau sedang butuh uang, aku minta tambahan sif dan mencari pekerjaan di tempat lain.
Sementara itu di Indonesia mengikuti lokakarya yang berhubungan dengan pengembangan diri yang biasanya tidak berhubungan dengan industri tempat kita bekerja  akan sulit mendapatkan izin perusahaan. Misalnya akan sulit buatku yang bekerja penuh waktu di satu perusahaan untuk mengambil waktu libur lima hari untuk ikut kursus barista di hari kerja (kecuali mengambil hari libur). Selain itu saat bekerja lepas aku bisa mengerjakan laporan atau evaluasi proyek di rumah, kafe, atau saat sedang jalan-jalan. Yang paling harus diperhatikan adalah target kerja. Biasanya untuk laporan tertulis aku dahulukan untuk selesai dalam satu atau dua hari. Atau kalau ada pekerjaan menerjemahkan, aku harus pandai membagi jumlah halaman dengan jam kerja per hari agar selesai tepat waktu.

2. Gaji  yang relatif lebih besar
Ini mungkin sangat debatable dan bergantung dengan posisi dan proyek yang sedang digarap. Sepulang dari Aussie aku pernah mendapatkan proyek di Indonesia selama 3 minggu dengan upah gaji 5 bulan kerja di tempat aku kerja sebelumnya. Aku juga pernah mengerjakan proyek survei lapangan selama 1 minggu dengan upah gaji 2 bulan kerja. Biasanya tanggung jawab kerja yang diemban akan menentukan upah yang didapat.

3. Jejaring yang luas
Seringnya aku mendapatkan proyekan dari orang yang pernah mempekerjakanku: kolega, dosen, dan teman. Ada juga beberapa proyekan yang aku dapatkan setelah aku memberikan resume dan portofolio dan melalui proses negosiasi upah. Praktisnya mereka yang sudah tahu kualitas kerjaku dan upah yang layak aku terima biasanya tidak akan bertele-tele lagi.
Dari hasil kerja biasanya mereka merekomendasikan aku ke kolega mereka. Dalam pengalamanku, selain portofolio ternyata testimoni dan word of mouth itu juga penting. Semakin luas jejaring, semakin banyak protofolio proyek yang dikerjakan, semakin besar kepercayaan yang dibangun.

4. Jalan-jalan
Bagiku yang keranjingan jalan-jalan, aktivitas semacam survei ke pedalaman, berbicara dengan warga desa di hutan taman nasional, dan mewawancarai pegawai pemerintahan, adalah suatu petualangan yang tak bisa ditolak. Waktu berjalan cepat saat aku melewati jalan-jalan asing. Bertemu orang-orang baru dan mendengarkan cerita mereka.
Survei di Banyuwangi, 2016

Kekurangan bekerja lepas:
1. Penghasilan tidak stabil
Upah yang didapat harus benar-benar dialokasikan dengan pintar karena tidak ada tunjangan kesehatan, uang makan, dan transportasi yang diberikan bulanan. Manajemen keuangan jadi hal yang menyelamatkan diri. Kalau sedang beruntung bisa dapat tiga proyek berturut-turut yang cukup bertahan hidup hingga enam bulan ke depan. Kalau sedang tidak beruntung dalam tiga bulan ada satu proyek yang dikerjakan saja sudah aku syukuri. Berbeda dengan kerja penuh waktu yang memiliki penghasilan tetap. Selain itu invoice pun biasanya telat datang dari yang ditentukan. Biasanya paling cepat satu minggu, namun pernah ada yang hingga enam bulan lamanya. 
          
      2. Harus serba bisa
Ini sebetulnya poin yang aku suka sekaligus benci. Suka karena aku jadi dipaksa belajar terus menerus untuk memiliki kemampuan interdisipliner. Kemampuan ini yang menjadi added value bagi masing-masing pekerja lepas. Semakin banyak kemampuan satu pekerja lepas, ia semakin andal dan reliable untuk dipekerjakan. Yang jelas konsultan atau perusahaan akan mempekerjakan pekerja lepas yang sesuai dengan budget mereka tapi memiliki kemampuan yang beragam.
Kemampuan bahasa Inggris sudah jadi suatu kewajiban. Jika memiliki kemampuan bahasa asing lainnya – seperti bahasa Perancis dan Belanda – lebih baik lagi. Tentunya harus ada buktinya baik itu IELTS, TOEFL, DALF, atau kalau punya sertikasi penerjemah lebih bagus lagi. Sertifikasi juga penting. Misal sertifikasi K3, Amdal (Penyusun dan Penilai), software lapangan, penginderaan jarak jauh, statistik, editing, fotografi, dll. Oh ya, aku pernah dapat satu proyek liputan karena memiliki lisensi menyelam open water.
Bekerja lepas juga bergantung industrinya masing-masing. Kemampuan yang paling sering digunakan di banyak industri adalah bahasa Inggris (translator dan interpreter). Kalau luang biasanya aku sering mengambil kerjaan menjadi pewara (MC) dan moderator. Biasanya yang nyangkut padaku adalah yang berhubungan dengan akademik, kepemerintahan, dan jurnalisme.
Beruntung aku memiliki latar belakang lingkungan. Lingkungan adalah salah satu industri yang sangat luas dan selalu seksi. Mulai dari pabrik, tanggung jawab sosial perusahaan, pembangunan, dan pendidikan seringkali berhubungan dengan lingkungan.
Itu yang serba bisa yang aku suka. Sementara serba bisa yang aku benci adalah aku dituntut jadi serba bisa yang aku tak mau. Pernah satu waktu aku sedang survei bersama pejabat LSM internasional ke beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat. Awalnya tugasku hanya menjadi interpreter dan translator dokumen. Kemudian bertambah menjadi pengurus akomodasi mereka. Makan, tiket, dan penginapan aku yang mengatur. Kemudian merangkap menjadi analis area cakupan proyek. Belum lagi menjadi sopir. Sampai sini aku masih kuat. Sampai suatu malam aku harus menemani salah satu pejabat bertamu ke satu rumah di desa yang jauh dari pusat kota. Sang empunya rumah kesurupan (the spirit couldn’t pick a better time to visit, eh?). Dan pejabat yang sedang aku temani itu berbicara dengan enteng kepadaku,
“Pradip, do something about it. Use your exorcism skill.”
Mulutku melongo sejenak sambil mencerna keadaan. Saat aku melihat yang kesurupan, aku menghela napas panjang sambil menjawab,  
“Okay, your wish is my command let me try something.”
Beruntung sekali, puji Allah SWT Tuhan semesta alam, setelah aku baca doa-doa seadanya sang empunya rumah berangsur baikan.
Sesampainya di penginapan, pejabat itu menceritakan kejadian yang terjadi pada kami dan berkelakar pada teman-temannya,
“We should bring Pradip with us all the time. He got an excellent exorcism skill.”
Aku hanya bisa cemberut mendengar mereka tertawa.

3. Siap batal mendadak. 
Pernah tiga hari sebelum berangkat ke lapangan, proyek yang aku akan kerjakan ditunda dibatalkan karena alasan politis. Walau akhirnya berangkat juga, tapi jadi cemas menunggu kepastian. Pernah juga 2 minggu sebelum berangkat, proyeknya batal karena budget perusahaan dialokasikan untuk hal yang lebih urgen. Hal seperti ini tak bisa kita hindari dan harus kita siapkan rencana cadangannya.

4. Periode kerja yang padat
Ada satu masa aku merasa bekerja lepas seperti bekerja penuh waktu karena proyek yang datang bertubi-tubi. Betul ini adalah bentuk lain rezeki yang seharusnya tidak boleh ditolak, tapi saat itu aku ingin memberikan porsi waktu yang cukup banyak untuk diri sendiri. Biasanya sekali aku menolak satu proyek, proyek lainnya dari pihak yang sama tak akan datang lagi kepadaku. Dan ada kemungkinan rekomendasi terhadap konsultan lain pun terhenti. Ini jadi dilema tersendiri buatku.
Salah satu keinginanku bekerja lepas adalah agar bisa memiliki banyak waktu untu diri sendiri. Jadi keputusan menerima dan menolak proyek juga harus diperhatikan. Ujungnya, aku percaya kalau rezeki sudah diatur Sang Maha Pemberi. Aku hanya perlu menjemputnya. Jadi saat aku butuh rehat, ya aku memilih rehat.

5. Tidak ada mentor
Ini yang paling aku sayangkan dari bekerja lepas. Pengalaman adalah mentor kita yang paling setia. Namun begitu, aku sudah terbiasa mendapat arahan dan pengetahuan dari mentor di kantorku dulu. Aku terbiasa mendapat supervisi baik dalam pekerjaan maupun kehidupan. Percayalah, memiliki seorang mentor atau guru bisa meningkatkan pendewasaan dan kemampuan kita berlipat-lipat dan hal ini akan memengaruhi produktivitas kita.
Seringnya konsultasi yang disediakan untuk pekerja lepas terhadap yang mempekerjakan sangatlah terbatas, karena mereka yang mempekerjakan kita sudah memiliki kesibukan tetap di perusahannya sehingga kita sudah dianggap terbiasa kerja mandiri. Dulu saat bekerja di tv aku memiliki beberapa mentor yang bisa aku percaya dan hormati. Namun sejak memiliki kesibukan yang berbeda kami kesulitan untuk keep in touch.  Inilah yang aku sering aku rindukan saat bekerja lepas.


Itulah secuil pengalaman tentang bekerja lepas. Intinya dengan bekerja lepas banyak sekali yang harus kita pertimbangkan, tapi bukan berarti kita tak bisa santai. Saat punya banyak waktu luang, terus isi kepala dengan pengetahuan dan kemampuan diri sambil menyelami apa yang sebenarnya diri ini butuhkan. Aku sangat percaya rezeki sudah diset untuk masing-masing kita, tinggal bagaimana upaya kita menjemputnya.

Comments