Menghabiskan hari terakhir Ramadan aku menyempatkan bersepeda keliling kota. Sambil menikmati jalanan yang lengang sore hari, aku mengunjungi tempat-tempat yang memiliki kenangan khusus. Mulai dari rumah tempatku menghabiskan sebagian besar hidupku, taman tempat aku biasa main sepak bola, sampai sekolahku dulu di Cihampelas. Jalanan lengang seolah meyetujui kenangan-kenangan itu untuk aku kunjungi satu persatu. Saat melewati sekolahku dulu, aku terdiam dan memperhatikan bangunannya yang besar. Ada kenangan yang luber ke permukaan.
Ada satu momen personal yang aku ingat saat SMA. Saat itu aku dalam periode
awal krisis eksistensial dan teologis. Aku mengalami banyak perpisahan dan kehilangan.
Aku merasa sendiri. Selain tak ada yang memberitahuku perpisahan bisa begitu menyakitkan,
orang-orang tampaknya biasa saja dengan kesepian. Entah orang-orang memang setangguh
itu atau memang perpisahan, kehilangan, dan kesepian adalah bagian normal dalam
hidup sehingga orang-orang sudah terbiasa. Lucunya, meski berulang kali
mengalaminya, rasanya selalu sama: malam-malam gelisah yang membuat pikiran dan
mata selalu aktif, pagi-pagi yang terasa menyedihkan dan menyedot energi, dan siang-siang
yang tampak seperti lamunan.
Aku masih ingat saat SMA pernah bertanya kepada guru biologi
(almarhum) setelah kelas bubar. Saat itu beliau baru memaparkan pelajaran tentang
fungsi tubuh. Aku menghampirinya sebelum ia menghilang di ruang guru, “Bu,
kira-kira bagaimana bisa airmata diaktivasi oleh perasaan? Mengapa airmata
tetap menetes terlepas perasaan senang dan sedih?“
Aku tahu satu kelas sepakat bahwa beliau adalah wanita yang menakutkan.
Suaranya lantang, raut mukanya tegas, dan tak pernah kami melihatnya tersenyum.
Terlepas itu semua, entah mengapa aku melihatnya sebagai guru yang lihai dalam
menjelaskan materi pelik dan mendorong murid-muridnya untuk berkembang. Mungkin
ia pandai mengontrol emosinya, tapi aku juga melihatnya seperti emotionally
detached. Entah mengapa ada kualitas darinya yang aku kagumi dan membuatku
percaya kepadanya. Mungkin karena itu aku memberanikan diri bertanya kepadanya.
Mendengar pertanyaanku, keningnya berkerut keras. Sebelum ia menjawab, aku
layangkan lagi pertanyaan susulan, “Mengapa di sekolah tidak diajarkan
bagaimana menghadapi kehilangan, Bu?”
Aku paham jika ia malah menyarankanku pergi ke ruang BP (Bimbingan
Penyuluhan). Ia juga tahu bahwa aku baru saja kehilangan seorang teman. Aku juga baru mengalami patah hati. Yang ini ia tidak tahu. Alih-alih
menyuruhku pergi ke ruang BP, ia berdeham keras kemudian menjawab,
“Gak ada yang mengajari kita bernapas, tapi kita bernapas. Gak ada
yang mengajari kita menangis, tapi kita menangis. Manusia itu unik karena bisa
belajar dari pengalamannya, tapi ia juga bisa lupa belajar dari pengalamannya.
Seiring pengalaman yang kita alami, kita belajar bertahan dan belajar hidup. Gak
ada kurikulum yang bisa mengajari kamu cara mengatasi kehilangan selain
pengalaman hidupmu sendiri.”
Saat itu aku hanya berpikir jawaban beliau terlalu Darwinian dan absurd melalui abstraksi kata-kata pengalaman hanya untuk bertahan hidup, tapi tak
pernah menyatakan dengan jelas cara runut mengatasi kehilangan dan tujuan
bertahan hidup, atau menghadapi emosi diri yang bermacam-macam. Jawaban
tersebut tidak memuaskanku tapi juga tidak memusingkanku yang duduk masih kelas tiga. Pertanyaan itu tenggelam
dalam kesibukan mengerjakan PR, belajar untuk ujian, dan kegiatan-kegiatan sekolah
lainnya.
Hampir empat belas tahun berlalu, pertanyaan itu tiba-tiba muncul lagi di pengujung Ramadan kali ini ketika aku melewati sekolahku dulu.
Perpisahan.
Sambil mengayuh sepeda aku kembali menata nuansa kesedihan dan perpisahan
yang aku sadari ternyata begitu kental tertuang dalam tulisanku, termasuk dalam
media sosialku. Kesedihan itu mengerak menjadi pertanyaan-pertanyaan yang belum
sempat terjawab dan bermanifestasi dari nilai-nilai pengalaman hidup yang aku
serap.
Lalu aku berpikir. Apa jadinya jika dunia hanya diisi kegembiraan saja? Apa
jadinya jika dunia dirundung kesedihan belaka?
Seiring berjalannya waktu aku memaknai hidup tidak hanya melalui pikiran tentang kegembiraan, tapi juga susah hati. Menurut Freud pikiran manusia
saat lahir adalah sebuah Tabula Rasa, atau meminjam konsep Locke, yaitu clean
slate; sebuah kertas kosong. Tabula Rasa sendiri memiliki arti harfiah yang
berbeda. Dalam bahasa latin Tabula Rasa merujuk pada kondisi vas setelah
tulisan atau hiasan pada permukaan tanah liatnya telah dihapus. Dalam bahasa
sehari-hari penggunaan Tabula Rasa disimplifikasi menjadi kertas kosong yang
sejak awal seperti itu. Namun begitu, pengertian yang lebih akurat adalah
kertas yang sebelumnya dikosongkan. Tulisan yang sengaja dihapus sebelumnya
untuk membuat ruang kosong yang baru. Reset.
Dalam bukunya On Genealogy of Morality Nietzche menjelaskan Tabula
Rasa sebagai alasan to make room for
something new atau active forgetfullness alias kelupaan aktif. Kelupaan
aktif adalah kesengajaan untuk menghapus atau menulis ulang kenangan dan ingatan
yang sudah tertulis. Kelupaan aktif ini tergambar dalam film Eternal Sunshine
of The Spotless Mind (2004) dengan salah satu tokoh utamanya Clementine yang
menghapus ingatannya beserta kenangannya akan hubungannya dengan kekasihnya
Joel. Dalam film ini ingatan tentang pengalaman menyakitkan Clementine dihilangkan
secara paksa melalui sebuah mesin dengan seizin penderita. Clementine memilih
menghapus ingatannya agar ia bisa membuat ingatan baru. Sayangnya menghapus
ingatan itu tidak serta merta menghapus pengalaman yang pernah terjadi pada
Clementine. Ingatannya hanya dibuat lupa, sementara tubuhnya tetap mengalami. Sebagai
contoh, aku bisa lupa pernah tersandung batu, tapi tak menghapus
pengalaman tersandung yang pernah terjadi padaku. Dalam garis waktu manapun
kejadian itu selalu ada dan empiris. Melupakannya hanya akan berusaha menolaknya. Tabula
rasa dan kelupaan aktif ini dideskripsikan cukup akurat dan jenaka dalam film Eternal
Sunshine of The Spotless Mind.
Dari segi persepsi dan pengalaman Tabula Rasa dan kelupaan aktif adalah dua
elemen tak terpisahkan dalam diri seseorang. Di satu sisi Diri berfungsi sebagai
Tabula Rasa yang merekam segala rasa, prasangka, dan pengalaman yang terjad
pada tubuh, indera, dan pikiran. Di sisi
lain kelupaan aktif berfungsi sebagai otoritas otonom untuk mereduksi rasa
sakit dalam hidup atau bahkan menghapus kenangan buruk agar kenangan yang baru
bisa terbentuk dan menggantikan yang lama.
Tapi, bagaimana bisa menjalani momen saat ini dan berharap pada masa depan
saat kita tak mau merangkul masa lalu? Bagaimana kita bisa ingat memperjuangkan
hari ini, saat tak ada jejak hari
kemarin yang bisa diingat? Bagaimana kita bisa melangkah pada hari esok,
saat tak mau mengingat hari kemarin?
Pertanyaan itu dijawab Nietzsche secara implisit. Ia menjawab pentingnya menyadari masa depan sebagai sikap dasar untuk menerima masa lalu dan sebaliknya. Menurutnya kita harus menghilangkan kebiasaan lupa terhadap masa lalu dan menghilangkan kebiasaan menolak luka lama untuk bisa berjanji pada diri sendiri pada hari esok yang lebih baik. Untuk sadar pada masa sekarang, kita juga perlu sadar masa lalu dan masa depan. Karena itu merelakan kepergian, perpisahaan, dan kesendirian sama halnya dengan menulis surat dengan alamat pasti melalui layanan pos. Surat itu pasti terkirim jika alamatnya lengkap. Dan saat kita mengirim lewat layanan pos ada sebuah komitmen yang tak bisa diganggu gugat pasti terkirim ke tangan penerima. Pengalaman yang terjadi lewat tubuh adalah sangat intim dan spiritual karena tidak hanya menyangkut apa yang ada di luar diri tetapi juga yang bergejolak dalam diri. Dalam hal ini pikiran kita adalah kekuatan aktif (an active force) yang berusaha menginternalisasi apa saja yang ada di hadapannya. Dalam interpretasiku Nietzsche berusaha menyimpulkan bahwa penderitaan dalam perpisahan, kehilangan, dan kesedihan tidaklah buruk jika kita bisa menerimanya secara ksatria.
Nietzsche menambahkan bahwa penderitaan menjadikan kita manusiawi. Kita bisa mengingat janji yang kita buat dan pengalaman yang terjadi pada kita, atau mengabaikannya. Karena itu ketika kita berjanji kepada seseorang daan kita tidak menepatinya, kita cenderung beralasan lupa. Namun ketika kita menyadari pengalaman dan janji yang kita buat terhadap diri sendiri, kita bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Ketika merasa bertanggung jawab, niat kita menjadi kuat dan independen terhadap segala pengaruh. Lantas pada akhirnya kekuatan niat dan kemandirian sikap ini dijaga oleh nurani kita. Nurani inilah yang menjadikan manusia manusia.
Belajar Menerima
Tabula rasa dan kelupaan aktif hanyalah sebuah konsep; abstraksi yang bisa
saja tidak tepat bergantung kehidupan pelakunya. Namun yang bisa aku pastikan,
kita tak bisa menerima yang baik tanpa mengetahui yang buruk. Melalui
perpisahan, kita menghargai perjumpaan. Melalui kehilangan, kita menggenapi menemukan.
Ada suka di antara duka; ada duka di balik suka. Ramai yang begitu sunyi
senyap; hening yang begitu gaduh.
Lantas timbul lagi pertanyaan-pertanyaan susulan.
Bila hidup mewujud perjalanan panjang, apakah luka kita yang terima di masa
lalu bisa hilang? Atau justru melepuh karena kehilangan-kehilangan lainnya yang
menanti.
Bagaimana merelakan sesuatu yang pergi dan tak kembali lagi, saat
perpisahaan bertubi-tubi menyesaki diri?
Mengapa ada perjumpaan, jika perpisahaan adalah mutlak keniscayaan?
Pertanyaan-pertanyaan retoris semacam itu akan terus bermunculan dalam hidup. Dan dalam waktu yang berjalan, ada kita yang berusaha menemukan jawabannya. Sebagian bisa kita jawab, sebagian lagi menguap bersama waktu. Pada akhirnya hanyalah diri kita yang mengada menemukan serpihan diri yang berserakan. Diri kita yang meniada dalam ketidakberdayaan dalam waktu yang menghimpit. Pengalaman-pengalaman kita ditempa waktu agar menjadi katalisator untuk memaknai derai airmata dan letupan tawa. Mengada, kemudian menjadi tiada. Sesederhana itu.
Aku paham menyakitkannya kehilangan. Aku paham perpisahan bisa mengendapkan
luka yang menganga bertahun-tahun. Banyak orang yang pernah aku relakan pergi,
dan tak sedikit orang yang harus merelakan aku pergi. Hal ini mungkin juga
berlaku bagi kamu dan orang lain; kehilangan dalam beragam bentuk dan
perpisahan pada waktu yang tak pernah terduga.
Kehilangan orang terkasih: anggota keluarga, orang tua, pasangan, dan
sahabat. Ketidakhadiran orang tua dalam hidup. Perlakuan menyakitkan seseorang.
Penolakan orang-orang. Pelarian mencari afeksi dan validasi. Kesepian dan
kesedihan merasa tidak dimengerti. Dunia yang terlalu kuat mengempit diri. Semua
itu terjadi dan dialami tubuh dan pikiran kita, namun tidak lantas membuat kita tak layak untuk hidup. Tak lantas membuat kita memaksa lupa. Kita layak
hidup. Momen sedih layak diingat sebagaimana momen gembira. Kita layak bersuka seperti kita layak berduka.
Penerimaan yang semakin dalam terhadap diri sendiri dan yang terjadi akan mengangkat kesepian dan kesedihan yang merongrong menjadi bagian indah dari hidup. Kesepian dan kesedihan memang menyakitkan, tapi bukan berarti mengecilkan makna kebahagiaan
yang pernah kita tenggak.
Begitu pula perpisahan. Perpisahan yang terjadi tidak serta merta
menganulir kebersamaan yang pernah dilalui. Berpisah adalah hal yang berat
untuk dilakukan. Tapi bagaikan hidup dan mati, perpisahan dan perjumpaan adalah
kenyataan tak terelakan. Seberapa pun sering kita berpisah, ia akan tetap menyakitkan.
Mungkin ada yang beruntung bisa terbiasa dengan kehilangan, perpisahan, dan kesedihan. Mungkin ada juga yang tidak bisa. Namun seiring waktu, kita akan belajar dari pengalaman bagaimana tubuh dan pikiran kita bekerja sama lamat-lamat merayakan semuanya.
Bukan, bukan bergembira di atas peristiwa yang menyedihkan. Akan tetapi
menerima bahwa di balik pertanda pasti ada makna. Di balik kesedihan ada
pelajaran. Seberapa besar kesedihan yang kita timbun, kekecewaan, dan
kemalangan yang menimpa kita, tubuh dan pikiran kita memiliki hak berbahagia.
Lewat pengalaman hidup kita pelan-pelan belajar menerima.
Lewat waktu kita pelan-pelan belajar menjalani hari.
Belajar merelakan walau itu menyakitkan.
Belajar merayakan walau itu perpisahan.
Setelah mencukupi diri dengan mengingat kenangan di tempat-tempat sentimentil, sore itu aku lanjutkan bersepeda dengan menyaksikan semburat lembayung senja di langit yang sedang cerah.
Tak perlu muluk-muluk. Tak perlu mewah. Cukup mengalami saja sudah berarti.
N.B.
Aku tersadar aku berhutang terima kasih kepada almarhum guru Biologiku.
Terima kasih, Bu Tri. Semoga damai di sisi Tuhan.
Terima kasih. Tulisan yang menyentuh.
ReplyDeleteSedang mencoba merelakan apa yang belum pergi. Tulisan ini berarti bagi saya. Terima kasih.
ReplyDelete