Vakansi Sebelum Pandemi



Bermain di Curug Panjang

Awal Maret lalu aku dan teman-temanku melepas penat ke Bogor setelah merencanakannya jauh hari. Aku memang senang mengunjungi alam seperti pantai, hutan, atau gunung. Teman-temanku juga pelan-pelan mulai menyukai jalan-jalan ke alam. Setelah kompromi jadwal dan destinasi, Bogor menjadi pilihan karena akses yang mudah dari Jakarta. Kami memutuskan untuk berkemah di sebuah area komersil dekat Gunung Pancar. Kemah kali ini juga tidak seperti yang biasanya aku lakukan di gunung. Tidak ada carrier, tenda, kantong tidur, maupun logistik berhari-hari. Yang ada hanya kenyamanan. Betul, kali ini aku dan teman-teman memilih glamping alias glamour camping di area perkemahan Forrestry. Walaupun teman-temanku merasa kemah kali ini tidak betul-betul mewah, bagiku tidur di kasur di dalam tenda mewah dengan pemandian air hangat dan makanan buffet sudah lebih dari mewah. Memang harganya pun tidak setinggi glamping yang ada di daerah Bandung.


Karena kami sama-sama kerja, kami hanya bisa menghabiskan waktu akhir pekan saja. Selesai bekerja Jumat sore aku bergegas menuju Stasiun Bandung untuk bertolak ke Jakarta. Aku menitipkan kendaraan di parkiran di sana. Untuk motor biayanya Rp25.000,00/hari sementara untuk mobil Rp35.000,00/hari. Tiba di Stasiun Bandung lima menit sebelum kereta berangkat. Beruntung tak banyak antrian saat itu. Aku mepet tiba di stasiun karena sebelumnya aku sempat mampir ke beberapa warung modern untuk membeli hand-sanitizer mengingat kekhawatiran tentang wabah Covid-19. Namun hasilnya nihil. Menjelang pukul 23.00 WIB aku sudah tiba di Jakarta dan bertemu teman-teman. Aku mengobrol dengan mereka hingga lewat tengah malam.

Sabtu pagi pukul 09.00 WIB kami berangkat menuju Bogor. Kami sengaja pergi pagi untuk menghindari buka tutup satu arah di Bogor. Sepanjang perjalanan teman-temanku tak henti membahas Covid-19, sementara aku mendengarkan di balik kemudi sambil sesekali menimpali saja. Saat itu wabah Covid-19 memulai kasus di Jakarta, sedangkan pemerintah masih belum memberikan tanggapan responsif. Jadi, wajar bagi teman-temanku yang semuanya bekerja dan hidup di Jakarta memiliki kekhawatiran tersebut. Tiga hari  setelah kami liburan ada anjuran pemerintah untuk bekerja dari rumah (work from home).

Dalam perjalanan menuju Bogor aku berulang kali mencoba mengganti topik pembicaraan untuk mengingatkan bahwa kami akan berlibur sejenak. Usahaku gagal. Aku akhirnya pasrah dan mendengarkan mereka. Topik mulai teralihkan saat kami memasuki kabupaten Bogor siang hari dan mulai berdiskusi makanan pengisi perut. Kami mampir di Cimory Mountainview untuk isoma. Saat makan kami semua terdiam. Food unites people. 


Setelah Isoma
Pukul 13.00 WIB kami memulai kembali perjalanan. Sayangnya arus lalu lintas sudah mulai berganti jadi satu arah dari Bogor menuju Jakarta. Kami agak kewalahan karena tujuan kami masih berada di atas mendekati Puncak. Kami terpaksa turun mengikuti arus lalu lintas. Beruntungnya, ada jalan kecil di seberang Cimory Riverside yang rupanya merupakan jalan menuju lokasi kemah. Dengan mengandalkan Google Map, kami menelusuri permukiman warga dan pesantren. Setelah tiga puluh menit melewati permukiman warga, kami tiba di titik temu yang juga area parkir. Sebetulnya bukan area parkir seperti umumnya, melainkan hanya berupa sisi jalan saja dengan pos kamling di dekatnya.

Titik temu dan area parkir ini masih jauh dari wilayah kemah yang kami tuju. Pihak Forrestry menyediakan mobil shuttle double cabin untuk antar jemput karena jalan menuju lokasi cukup menanjak dan tidak mulus. Di area parkir sudah ada keluarga lain yang menunggu dijemput. Aku mengobrol sebentar dengan mereka. Kami harus menunggu mereka dijemput terlebih dahulu. Sambil menunggu mereka dijemput, kami membeli beberapa sisir pisang yang dijajakan dekat pos kamling dan mengobrol dengan penjual pisang tersebut.

Menunggu sekitar empat puluh menit, mobil jemputan datang. Jalan menuju area kemah betul-betul menanjak dan agak rusak. Kiri kanan kami hanya melihat pepohonan besar dan bukit. Butuh waktu dua puluh menit untuk kami tiba di area kemah dan tak ada area parkir kecuali untuk mobil jemputan. Tak salah kami memarkir mobil di bawah.

Area kemah Forrestry ini berada tepat di pinggir jalan. Wilayahnya tidak terlalu luas, namun bersih dan nyaman. Ada kolam kecil untuk bermain anak-anak serta hammock yang dipasang melintang. Tenda yang kami tempati pun bagus dan dilengkapi listrik dan wi-fi. Selain itu petugas di perkemahan juga sangat ramah dan akomodatif. Kami bebenah dulu di tenda dan istirahat sebentar. Di dekat area kemah ada warung kecil milik warga dan surau kecil untuk salat. Di dekat situ ada warga yang merupakan peternak madu asli. Kami mencicipi madu yang belum diekstrak itu. Rasanya manis dan kenyal seperti agar-agar. Cocok untuk bersantai dengan keluarga dan teman.

Curug Panjang
Menjelang sore kami diantar menuju Curug Panjang yang berlokasi tak jauh dari area kemah. Hanya lima belas menit jalan kaki. Di sana kami perlu membayar Rp10.000,00 untuk tiket masuk.

Sore itu cuaca tidak mendung dan tidak pula terik. Tidak banyak orang yang mengunjungi. Aku langsung melepas pakaianku dan lompat ke dalam air sementara teman-temanku menunggu di tepian. Mungkin melihat aku begitu asyik bermain di air, mereka akhirnya tertarik untuk bergabung main air. Saat teman-temanku bersiap-siap masuk ke air, aku sempatkan untuk menyepi berduaan dengan pikiranku. Ada sebuah batu kecil yang cocok digunakan untuk kontemplasi. Aku biarkan telingaku mendengarkan riakan air yang terjun menghujam permukaan. Orang-orang berteriak dan tertawa. Angin sepoi-sepoi membelai pori-pori kulit. Bulir-bulir air membasuh tubuh. Perlahan ada perasaan damai, takjub, dan syukur. Damai karena inderaku mampu bekerja sama menyerap elemen-elemen alam. Takjub karena alam yang begitu menenangkan ini pasti merupakan kreasi Sang Pencipta yang begitu murah hati menghadirkannya sebagai berkah. Syukur karena aku berkesempatan menjalani momen ini bersama teman-teman sambil menginternalisasi perasaan ini.

Setelah cukup berdiam diri, aku bergabung kembali bersama teman-teman. Kali ini kami mencari aliran yang lebih tenang. Kami berjalan ke bawah menjauhi curug. Sambil bermain air kami juga foto-foto sebagai kenang-kenangan. Hampir dua jam kami bermain di Curug membuat kami kelaparan. Ada beberapa tukang makanan di sekitar curug. Aku memesan bakso goreng dan cuanki yang cukup untuk mengganjal hingga makan malam nanti.

Kembali ke area perkemahan kami mulai masuk tenda masing-masing. Aku bergegas mandi sebelum azan magrib berkumandang. Ada enam kamar mandi yang disediakan di area ini disertai dengan peralatan mandi termasuk handuk, sampo, dan sabun. Airnya juga hangat. Berbeda dengan saat naik gunung, tubuhku dipaksa berkoordinasi dengan pikiranku. Keduanya juga dipaksa untuk fokus mengatasi letih dan waspada saat treking. Kali ini tubuhku terasa sangat dimanjakan. Tak mengapa. Tubuh dan pikiran memiliki haknya masing-masing untuk beristirahat. 

Oh ya, aku jadi teringat terakhir kali aku kemah dan berendam dalam air hangat adalah saat berada di Rinjani. Aku dan rombongan saat itu menyempatkan diri berkemah di tepi danau Segara Anakan dan berendam di sumber air panas alami di balik danau. Nanti aku akan tulis pengalaman ini.

Menjelang magrib teman-temanku juga bergantian mandi. Setelah itu kami mengobrol ringan di dalam tenda sambil menunggu makan malam. Makan malam disajikan pukul 19.00 WIB. Menunya ada ayam goreng, sosis, tahu, tempe, dan lalapan. Karena bisa makan sepuasnya, aku tak sia-siakan kesempatan itu. Untuk mereka yang menginap dua malam disajikan steak sebagai makan malam. Malam itu seharusnya ada api unggun. Namun hujan turun walau tidak lebat. Di sini ada juga layar tancap dengan beragam variasi film. Jadi jika hujan besar dan aktivitas tidak bisa dilakukan di luar, kami masih bisa menonton di dalam ruangan.

Menjelang pukul 22.00 WIB kami masuk tenda masing-masing. Aku dan teman-teman satu tendaku mengobrol sampai akhirnya mereka tertidur. Aku luangkan waktu sejenak untuk menulis catatan harian dan membaca novel. Kala itu aku sedang membaca Hippies karya Paulo Coelho. Sempat terpikir menulis esensi pertemanan dalam kerangka Etika Nicomachean milik Aristoteles. Mendekati tengah malam hujan semakin syahdu menerpa tenda. Mataku sudah berat dan badanku sudah meminta untuk istirahat. Aku memejamkan mata dan tidur.

Curug Cibulao
Menjelang pukul lima pagi, aku terbangun untuk salat subuh. Saat bangun aku merasa berbeda. Aku merasa segar. Tidurku sangat nyenyak sekali. Tidur ternyenyak sepanjang tahun ini. Sangat nyenyak sampai habis salat, aku bergegas tidur lagi. Saat terbangun, teman-temanku berkata bahwa aku tidur sambil tertawa dan membuat mereka ketakutan. Aku sendiri tidak ingat akan hal ini.

Kami masih bermalas-malasan bangun hingga pukul 07.00 WIB karena sarapan sudah siap. Kami disuguhi nasi goreng. Lumayan enak dan porsinya pas. Sekitar pukul 09.00 WIB kami bersiap-siap untuk bermain di curug yang lebih tinggi, yaitu curug Cibulao. Kami diantar menggunakan mobil shuttle karena lokasinya ternyata cukup jauh. Curug ini berdekatan dengan kampung budaya Sunda, Paseban. Karena kami harus pulang pukul 14.00 WIB kami memutuskan untuk bermain di curug saja. Kami meminta dijemput sekitar tengah hari.

Curug Panjang
jika ingin berenang ke tengah perlu menyewa pelampung 

Curug Cibulao ini lebih banyak dikunjungi dibandingkan Curug Panjang. Mungkin karena area parkir lumayan luas. Dari pintu masuk kami berjalan selama lima belas menit menuruni anak tangga. Di curug ini kami membayar tiket masuk Rp12.000,00 per orang dan menyewa sebuah pelampung seharga Rp10.000,00. Tiba di hadapan curug, ternyata curug ini lebih indah dari curug sebelumnya. Ditambah hari sedang terik. Cocok untuk menikmati hari. Kami mulai bermain dekat air terjunnya. 


Setelah Menyusuri Sungai 
Setelah itu kami menyusuri ke aliran yang lebih tenang untuk sekadar bersantai dan mengobrol. Sebetulnya ada opsi body-rafting seharga Rp125.000,00. Kami tidak ambil karena mengingat alokasi waktu yang terbatas. 

Keliatan ngobrol emang?
Lagi-lagi aku tak sadar memisahkan diri dari teman-temanku dan asyik sendiri. Ini salah satu hasil tangkapan temanku. Katanya aku seperti sedang mengobrol dengan seseorang.

Setelah puas bermain di curug, kami kembali menapaki tangga menuju area parkir. Di sana sudah ada mobil shuttle menunggu kami. Di area kemah kami mulai bersih-bersih dan bersiap pulang. Sebelum pukul 14.00 WIB kami sudah kembali ke area parkiran di bawah. Kami memberikan tip kepada staf karena keramahannya. Sebelum pulang ke Jakarta, kami mengisi perut di salah satu rumah makan di Bogor. Aku juga tak ingat pernah makan selahap itu hingga kekenyangan. Sore hari kami tiba di Jakarta. Aku langsung pamit kepada teman-temanku untuk menuju ke Stasiun Gambir dan pulang ke Bandung.

Gerbong kereta yang aku tumpangi tidak begitu ramai. Dalam perjalanan pulang aku membaca buku sambil sesekali menatap jendela kereta. Di saat sedang melamun ke luar jendela,  ada notifikasi dari kantorku bahwa mulai besok sudah work from home sudah berlaku.

Aku menghela napas dan bersyukur masih sempat vakansi ke alam.

Comments