Budak Digital |
Digitalisasi media dan industri 4.0 telah menyeret kita
untuk beradaptasi dengan interconnectedness yang timpang tindih dengan kehidupan
profesional dan personal kita. Melalui media sosial produktivitas pekerjaan yang
berhubungan dengan dunia digital berkelindan dengan kehidupan pribadi. Meningkatnya
teknologi informasi dan komunikasi juga menggenjot kita untuk tanggap terhadap
dunia digital atau maya melalui literasi digital dan media sosial. Literasi
digital dan media sosial diartikan sebagai kompetensi untuk memilih dan memilah
informasi di dunia maya baik dalam kerangka membentuk informasi baru,
menyebarkannya, ataupun menggunakannya sesuai dengan kebutuhan kita. UNESCO mendefinisikan
literasi media dan informasi dengan lebih lengkap sebagai berikut:
“A set of competencies that empowers citizens to access, retrieve, understand, evaluate and use, create as well as share information and media content in all formats, using various tools, in a critical, ethical and effective way in order to participate and engage in personal professional and societal activities. This means that a 'media and information literate person must not only be a consumer of information and media content, but also a responsible information seeker, knowledge creator and innovator, who is able to take advantage of a diverse range of information and communication tools and media.”
UNESCO menekankan literasi sebagai tanggung jawab tidak hanya sebagai konsumen konten media dan informasi, tetapi juga sebagai pencari dan pembuat konten tersebut. Definisi ini menempatkan kita sebagai prosumer alias producer-consumer yang mengguncang kursi nyaman kita sebagai konsumen atau penonton dunia maya dengan menaruh beban untuk berpartisipasi dalam aktivisme sosial di dunia maya.
Dengan konsep producer-consumer media sosial bisa dipersonalisasi penggunanya sebagai co-producers perusahaan yang barangnya kita gunakan: pilihan spesifikasi gawai, aplikasi, daftar pertemanan, dan fitur lainnya. Sebut saja Facebook atau Instagram yang bisa memanen informasi yang kita berikan lewat daftar pertemanan atau pengikut kita. Menariknya, di sinilah para teoris studi digital menyebut masyarakat adalah sebuah pabrik, society as a factory, untuk melengkapi konsep eksploitasi dan perlawanan dalam media sosial. Jika masyarakat kita berfungsi sebagai pabrik dalam media sosial, maka betapapun naifnya kita menganggap kita yang menguasai media sosial dan teknologi, kita akan tetap menjadi bagian dari skema besar yang mengatur perilaku kita di dunia digital. Sejak awal kita bukan pemilik modal dalam dunia digital ini. Ini juga yang diutarakan film dokumenter The Social Dilemma di Netflix. Film tersebut menunjukan bahwa algoritma media sosial didesain sedemikan rupa melalui kepintaran buatan untuk mengalahkan logika berpikir penggunanya. Dalam satu adegannya disebutkan:
“Kita adalah produk dalam dunia digital ini. Perhatian kita di dunia maya adalah produk yang dijual kepada para pengiklan. Media sosial bukan sekadar alat yang menunggu untuk digunakan. Media sosial memiliki tujuannya sendiri dan caranya sendiri untuk mencapai tujuannya tersebut.”
Kutipan tersebut berbeda dengan keniscayaan yang kita sering amini bahwa media sosial hanyalah alat, sementara kita adalah penggunanya. Artinya kita berilusi bisa memegang kuasa penuh atas teknologi, termasuk dalam bermedia sosial. Kita percaya diri bisa mengontrol media sosial sesuai dengan kebermanfaatannya untuk kita sendiri. Misalnya, aku bisa memilih konten apa dan milik siapa yang bisa aku ikuti di Twitter atau Instagram. Namun seiring waktu aku merasa hingar bingar kehidupan di dunia digital mulai menyedot melebihi kemauanku untuk bisa mengontrol kebermanfaatan media sosial. Dalam hal ini media sosial dilengkapi dengan kecerdasan buatan dan algoritma yang didesain untuk menarik perhatian kita dan mengomodifikasi kepentingan kita secara komersial.
Sebuah artikel dalam Social Cognitive and Affective Neuroscience menjelaskan bahwa Facebook, Instagram, dan Twitter menyebabkan aktivasi brain circuity implicated in reward. Artinya, perhatian di media sosial memengaruhi beberapa bagian otak. Media sosial memengaruhi fungsi beberapa bagian otak dengan beragam cara yang unik. Misalya, The Ventral Area (VTA) yang memacu dopamin saat kita menerima feedback positif di media sosial berupa likes. Di sisi lain media sosial juga bisa memengaruhi otak secara negatif. Seperti berjudi dan narkotika, media sosial berpotensi menumbuhkan kecanduan tidak sehat yang bisa berpengaruh terhadap fungsi pembuatan keputusan dan dan proses pencernaan emosi. Menerima likes, komentar positif, dan engagement dari orang asing di media sosial menimbulkan perasaan aktualisasi diri dan rasa berharga semu. Sayangnya, masih banyak pengguna media sosial yang menutup mata terhadap efek samping kecanduan media sosial ini.
Identitas Diri di Media Sosial
Media sosial dan psikologi manusia dipintal oleh benang yang rumit. Perlahan-lahan kita merelakan sebagian kedaulatan diri lewat transfer identitas dan eksistensi ke media sosial: Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, dsb. Hasilnya, kita semakin bergantung kepada media sosial. Lantas pertanyaan yang perlu kita alamatkan kepada diri sendiri adalah:
Siapa kita tanpa media sosial?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, aku ingin mengingat seseorang yang pernah aku temui di Workum, Belanda, yang menihilkan penggunaan listrik apalagi media sosial. Saat itu 2014 aku sedang mengunjungi Workum di provinsi Friesland, Belanda Utara untuk pekerjaan dan dipertemukan dengan Reid De Jong yang dikenal hidup tanpa listrik. Reid adalah sosok yang ramah. Ia merupakan seorang arsitek yang tinggal di mercusuar Workum sejak 1967. Segala perabotan De Jong dibuat tanpa bantuan listrik. Jika ada sesuatu yang harus ia potong, ia menggunakan gergaji biasa. Pencahayaan di rumahnya hanya menggunakan kayu bakar dan lampu minyak. Sebelumnya ia memiliki panel surya, namun ia copot karena idealismenya untuk tetap hidup tanpa listrik. Kala itu tiap rumah di Belanda sudah dibekali akses internet. Tapi ia menolaknya. Mercusuar yang menjadi rumahnya sudah bisa dikategorikan berkelanjutan dan self-sufficient. Ia pernah berkata hidup ia baik-baik saja sebelum adanya listrik dan internet dan akan selalu begitu.
Ia juga yang menginisiasi Workum Boat Festival tempat balap kapal tahunan Strontrace diadakan dari Workum menuju Warmond. Salah satu syarat untuk mengikuti perlombaan ini adalah kapal atau perahu yang digunakan haruslah tradisional tanpa adanya mesin. Dengan hanya memanfaatkan angin semata, balap kapal ini menjadi salah satu yang tersulit di dunia.
Kalau biasanya kita bisa menunda janji dan pertemuan sosial dengan teman lewat ponsel, Reid harus mengantarkan informasinya beberapa hari sebelum waktu yang dijanjikan. Di mata aku hal ini tidak praktis, namun punya nilai idealis yang sangat aku apresiasi. Ia membuat waktu menjadi sakral, berbeda dengan kita yang kadang membatalkan janji secara tiba-tiba lewat aplikasi perpesanan berbasiskan internet. Aku tak bisa berhenti mengaguminya. Temanku yang tinggal di Belanda baru-baru ini memberitahuku bahwa Reid meninggal November lalu di usianya yang ke 86.
Bagiku pertemuan dengan Reid meninggalkan kesan mendalam. Apa yang Reid lakukan tentunya akan sulit untuk diterapkan di daerah urban di Indonesia di mana penggunaan media sosial dan internet sudah melekat di kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan menengah ke atas. Berdasarkan Statista Indonesia merupakan negara kelima dengan pengguna Twitter terbanyak. Sementara untuk Instagram rata-rata warganet dunia menghabiskan satu jam sehari untuk mengaksesnya. Warganet Indonesia rata-rata menghabiskan tiga sampai lima jam sehari untuk mengakses Instagram. Disebutkan bahwa penggunaan waktu media sosial yang sehat berada di bawah rata-rata penggunaan global. Namun hal ini bisa dikesampingkan jika kita bekerja di dunia digital. Di sisi lain aku yakin masih ada sebagian orang di perkotaan yang tidak berpartisipasi dalam hingar bingar media sosial baik karena pilihan pribadi, maupun ekonomi.
Hal ini relevan dengan apa yang disebut dalam Marx in The Age of Digital Capitalism. Dalam buku tersebut Christian Fuchs mengelaborasi bahwa kebangkitan media sosial telah memunculkan buruh digital untuk mengisi kekosongan posisi-posisi yang mengoptimasi dunia digital. Posisi yang dimaksud adalah social media strategist, social media manager, social media editor, social media consultant, dsb. Dengan kompleksitas kapitalisasi dan komersialisasi media sosial kita bertransformasi menjadi produk digital. Sementara masyarakat kelas bawah tidak bisa secara penuh mengakses media sosial dengan segala prasyaratnya, seperti spesifikasi ponsel dan kuota internet. Hal ini memunculkan istilah alienasi digital. Secara personal hal ini sangat ironis menyadari status buruh kita tidak hanya tertera di dunia nyata, tetapi juga dunia maya.
Detoksifikasi Media Sosial
Sama seperti hal lainnya di dunia, media sosial memiliki manfaat dan mudaratnya bergantung penggunanya. Aku bisa melihat manfaatnya dari sebagian orang yang mendapatkan pekerjaan dan bertemu jodoh di media sosial. Sementara mudaratnya, ada banyak yang tertipu juga oleh orang yang memanfaatkan media sosial di luar kewajaran. Perundungan digital, flaming, roasting, bahkan penyebaran hoaks sulit dikendalikan. Di Twitter, misalnya, berita bohong ternyata tujuh kali menyebar lebih cepat dan lebih jauh dari informasi terpercaya. Kita menyaksikan beberapa kasus di media sosial yang malah menyedot kegembiraan dan membuat sebagian orang merasa depresi. Banyak orang menganggap media sosial menjadi tempat untuk memamerkan kebahagiaan berdasarkan standar masyarakat kita. Media sosial lantas bertransformasi menjadi arena masturbasi sosial dan pelanggengan narisisme subtil. Aku membenarkan hal ini karena aku akui masih terjebak di dalamnya. Termasuk dalam menyadari bahwa aku bagi sebagian orang adalah toksik digital, mengingat Twitter dan Instagram adalah medium eskapisme personal. Ibaratnya beberapa orang muntah pikiran di media sosial, misalnya Twitter. Kemudian beberapa orang itu saling mengonsumsi muntahan satu sama lain. Tentu kita memiliki pilihan report atau block. Tapi seberapa sering kita menggunakan fitur tersebut? Seberapa efektif keduanya dalam memerangi cyber army dan toxic buzzer?
Berbicara muntahan digital, memfilter muntahan orang lain tak bisa kita lakukan kalau kita tak bisa memfilter muntahan diri sendiri. Otak kiri aku kemudian menggugat, namanya juga muntahan ya gimana bisa kita filter secara sadar? Setidaknya kita tahu diri tidak muntah di ruang publik. Gugatan lainnya menyusul dari amigdala, Twitter kan bersifat personal dan hanya merespon reaksi emosional terhadap kata-kata, jadi sah-sah aja kita muntah di ruang pribadi kita? Betul, sah-sah saja, tak ada yang melarang menggunakan media sosial untuk kepentingan masing-masing. Hanya saja muntahan kita itu bisa menyakiti orang lain tanpa disadari.
Kemampuan memfilter muntahan diri dan orang lain semakin lama bisa semakin usang dan kotor. Bayangkan saja filter air limbah yang harus dibersihkan dan diganti setahun sekali. Sayangnya, kita tak punya banyak privilese untuk membersihkan filter kita, apalagi menggantinya dengan yang baru. Filter usang akan merambat ke masalah kesehatan mental dan fisik yang berujung penghamburan waktu dan tenaga yang merupakan kombinasi mewah. Setidaknya bagi aku. Oleh karena itu, aku belajar mendetoksifikasi diri –membersihkan filter usang ini – pelan-pelan dan sedikit demi sedikit.
Sejak 2009 media sosial seperti Twitter dan Instagram menjadi medium eskapismeku, kalau bukan pelepasan dan pelampiasan emosi. Facebook kini sudah lama tak aku urus. Blog tetap aku jalankan sebagai terapi rutin. Awalnya aku ikut membuat akun Twitter pada November 2009 sebagai media komunikasi alternatif dengan teman-teman kampus. Seiring berjalannya waktu teman-teman kampus aku yang dulu aktif di Twitter kini sudah banyak yang tidak aktif. Jumlah mereka yang aktif masih bisa dihitung jemari tangan. Kini tujuan awal membuat akun Twitter telah bergeser menjadi sarana aktualisasi diri atau pemenuhan ego.
Dalam tiga tahun terakhir ini aku belajar membatasi nafsu dan ego bermain media sosial. Aku berusaha membangun mental shielding untuk tidak mudah terpancing isu-isu tertentu di media sosial. Media sosial membuatku memiliki false sense of importance melalui partisipasi dengan isu-isu tertentu. Dengan tergabung dalam gelombang tren yang populer di media sosial, aku mengaktualisasi diri aku untuk merasa penting. Ini bisa jadi gejala latah sosial yang perlahan-lahan menjadi candu yang bisa mengerosi kewarasan diri.
Banyak penelitian yang mengulas tentang hubungan pikiran dengan candu media sosial. Andreassen dan Pallesen dalam penelitiannya 2014 yang berjudul Social Network Site addiction – An Overview mengemukakan bahwa individu yang kecanduan media sosial bersikap sangat khawatir terhadap media sosialnya yang disetir oleh dorongan tak terkendali untuk masuk ke dalam akun media sosial mereka saat ada waktu luang dan menggunakannya tanpa arah. Eraslan dalam penelitiannya 2015 yang dimuat di jurnal The Anthropologist edisi 21 bertajuk tentang sensitivitas interpersonal dan penggunaan problematik Facebook menjelaskan bahwa ada asosiasi positif penggunaan media sosial berkepanjangan dengan masalah kesehatan mental seputar stres, kegelisahan, dan depresi yang semuanya berasosiasi negatif dengan kesehatan jangka panjang. Beberapa gejala kecanduan media sosial meliputi persoalan perubahan selera hati dan kognisi, reaksi emosional dan fisik, serta masalah psikologis dan interpersonal.
Sementara itu esai menarik tentang detoksifikasi digital diantarkan kolumnis The Telegraph Luxury Henrietta Thompson. Dalam esainya yang berjudul Look Around, Thompson menelisik kelekatan kita dengan penggunaan gawai dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, dengan masuk ke dalam super konektivitas, akses instan, dan mentalitas selalu hadir, penting untuk bersikap waspada dan merasakan adanya sesuatu entah apa yang hilang di dunia nyata saat menghabiskan waktu terlalu banyak dengan acang kita. Seorang pecandu teknologi Matt Charnon menulis pengalamannya melakukan satu minggu detoksifikasi digital dalam The Bold Italic. Walau ternyata gagal dalam menyembuhkan kecanduannya, detoksifikasi digital berhasil membuat Charnon sadar akan kecanduannya. Ia merasa bahwa ia perlu mengatur batasan penggunaan teknologi dan internet sehingga mencapai titik setimbang penggunaan dan pelepasan internet.
Dari
beberapa bacaan tersebut, aku dapat menyimpulan bahwa detoksifikasi media
sosial memiliki peran penting yang dianggap sepele untuk menjaga kewarasan diri
di dunia maya dan meningkatkan literasi digital. Beberapa upaya yang bisa kita
lakukan untuk mengendalikan ego kita dalam bermedia sosial adalah sebagai
berikut:
1.
Mengurangi waktu konsumsi media
sosial
Aku pernah menghitung puncak aku bermain
Twitter adalah enam jam sehari yang tanpa aku sadari menumpulan sensitivitas
terhadap dunia nyata di sekitarku. Dengan mencapai enam jam sehari otakku mulai
berkonspirasi dengan tubuhku untuk terus berupaya memenuhi enam jam sehari
tersebut. Oleh karena itu untuk mengurangi waktu mindless kita di dunia
maya, kita perlu menyadari jumlah masif yang kita habiskan di dunia maya.
Dengan begitu kita bisa memulai rencana untuk mengurangi konsumsi media sosial.
Sejauh ini aku berupaya mengurangi konsumsiku menjadi hanya di akhir pekan
saja.
2.
Menjadi warganet pasif
Ini yang lumayan susah. Aku pernah
terjebak dalam self-righteousness dan menjadi overly critical. Menahan
untuk berdiam diri mengontrol untuk tidak berkomentar lebih sulit dibandingkan
melayangkan komentar-komentar (yang aku klaim) kritis. Dari sini aku perlahan
belajar untuk detach dari isu-isu tertentu dan membiasakan diri untuk tidak
merasa kompeten dalam banyak hal. Dengan begini aku sengaja melatih
pikiranku untuk tidak hanya fokus pada isu-isu yang aku anggap penting saja,
tetapi juga yang membawa sensitivitas bagi pengguna media sosial lain. Dengan
kata lain aku mencoba supaya muntahan digitalku tidak dikonsumsi mentah-mentah
oleh pengguna media sosial lainnya.
3.
Memasang Aplikasi Digital Well-Being
Aplikasi ini tersedia di Playstore untuk
Android. Dengan memasang aplikasi ini aku menentukan target dan rencana screentime
media sosialku. Dulu kuota screen time ku untuk Instagram dan Twitter
masing-masing adalah satu jam sehari. Hal ini membantuku mencerna waktu-waktu
produktif di luar dunia maya. Awalnya aku merasa tertinggal karena ketinggalan
banyak hal yang sedang hangat dibicarakan di media sosial. Rupaya inilah yang disebut
online exclusion. Aplikasi ini berusaha memberitahu kita bahwa online
exclusion pada derajat tertentu memiliki dampak positif untuk kesehatan
mental kita. Tubuh dan pikiran kita perlu istirahat dari media sosial.
4.
Mengolah Raga dan Pikiran
Menonton video orang berolahraga selama 30 menit pastinya berbeda dengan berolahraga. Waktu berjalan sangat cepat di media sosial karena fokus kita yang melekat erat di media sosial. Karena itu tubuh kita terbiasa idle. Dengan memutuskan untuk beraktivitas fisik, tubuh kita mulai kembali tergerak. Misalnya dengan berolahraga kita bisa memacu endorfin dan oksitosin dalam tubuh yang menjinakkan perasaan cemas dan gelisah kita. Atau bertemu dengan teman lingkar dalam kita untuk membina hubungan sosial yang lebih aman dan personal. Kalau sudah merasa jengah dan jenuh dengan media sosial, beranikan diri untuk sign out.
Konklusi
Detoksifikasi digital penting untuk mengurangi kecanduan dan ketidaksadaran kita terhadap keterhubungan dunia maya. Sejauh ini aku bisa fokus terhadap pikiran sendiri dan membangun mental shielding yang lumayan tebal. Aku juga mulai bisa mengendalikan dorongan untuk mindless browsing ataupun lambasting. Keduanya dianggap sebagai pemicu mindless behavior yang bisa menyebabkan perilaku tak teratur (erratic). Pikiran dibiarkan keluyuran sampai terlalu lelah tanpa ada tujuan yang jelas bisa menyedot energi kita tanpa disadari. Sama seperti seorang pejalan tanpa tujuan, berjalan tanpa arah di dunia maya hanya akan menguras energi dan menghasilkan lelah belaka.
Comments
Post a Comment