Empati di Era Pandemi

Merawat Empati

Setahun lebih sejak dunia menghadapi pandemi, kita dipaksa beradaptasi dengan ketidakpastian. Perampingan pekerjaan, penurunan ekonomi, persoalan kesehatan, perjuangan menghadapi kesendirian di dalam pembatasan sosial berskala besar, dan penerimaan atas kehilangan-kehilangan yang terjadi tahun ini menjadi pengalaman sekaligus pembelajaran padat. Tiap orang mengalami ornamen perasaan yang berbeda beserta pemaknaannya. Tiap orang juga mengalami koping masing-masing atas emosinya tersebut. Tidak terkecuali kamu dan aku. 

Era pandemi mendorong kita untuk memindahkan sebagian besar aktivitas sehari-hari menjadi di rumah. Ketergantungan teknologi, globalisasi, dan persoalan lingkungan memengaruhi bagaimana kita beraktivitas di rumah. Hal ini tidak bisa lepas dari perubahan signifikan yang telah ada sejak tiga belas tahun silam. Thomas L. Friedman dalam bukunya Thank You for Being Late menjelaskan bahwa untuk memahami kondisi saat ini (yang menurutku masih relevan sejak bukunya dipublikasikan pertama kali tahun 2017), kita perlu memahami ketiga hal tersebut. 

Pertama, ketergantungan terhadap teknologi berkaitan dengan Hukum Moore yang menyebutkan bahwa sirkuit terpadu (integrated circuit) dalam teknologi dan komunikasi akan meningkat setiap dua tahun. Perkembangan teknologi, komunikasi, dan sirkuit terpadu ini semakin terlihat dari bobot transistor yang semakin mengecil dan ringan, ponsel yang semakin futuristik, dan kendaraan yang semakin praktis (contoh: self-driving vehicles). Kemudahan ini membuat orang tertarik dan akhirnya bisa dikomersialisasi. Komersialisasi berhubungan dengan pasar yang merupakan poin kedua. Globalisasi telah berlangsung sejak lama. Friedman menitikberatkan definisi globalisasi pada pasar besar. Investasi yang saling bertukar antarnegara dan kerjasama bidang ekonomi menggenjot pertumbuhan pasar. Dalam hal ini globalisasi membuat kita merasa semakin saling terhubung (interconnected) dengan informasi dan kejadian di luar batas geografi kita. Tentunya dengan bantuan teknologi, perilaku responsif terhadap isu global menjadi semakin mudah. Selain saling terhubung, menurut Friedman, kita juga semakin saling ketergantungan: we rise and fall together. Orang-orang menjadi lebih akrab dengan arus informasi yang lalu lalang baik yang publik maupun privat. Orang-orang merasa dekat di dunia maya karena informasi yang saling dibagikan satu sama lain. Ketika beberapa negara telah mengembangkan vaksin Covid-19, negara lain memupuk harapan untuk bisa mengaksesnya. Tentu ini tidak lepas dari mekanisme pasar. Tapi kita simpan topik itu untuk tulisan kapan-kapan.

Saling ketergantungan terhadap (pengguna) teknologi ini tercermin dalam anekdot satir yang dikutip Friedman. Tahun 2015 Boston Consulting Group memilih responden survei dari enam negara untuk menjawab pertanyaan berikut: apa saja yang akan kamu korbankan untuk tetap menggunakan ponselmu dalam setahun? Jawabannya cukup menarik: 64% berkata akan menukarnya dengan makan di luar, 51% menukarnya dengan binatang peliharaan mereka, 50% menukarnya dengan liburan, 51% menukarnya dengan satu hari libur dalam sepekan, 45% responden rela tidak bertemu teman mereka secara fisik dalam setahun demi akses personal ponsel mereka, dan 38% rela tidak berhubungan seks dalam setahun demi  ponsel mereka. Sebelum beralih ke poin ketiga, survei ini jelas memperkuat posisi teknologi dan keinginan untuk saling terhubung dan saling tergantung  di era pandemi. 


Ketiga, permasalahan lingkungan yang semakin intens. Deforestasi, asidifikasi laut, degradasi lingkungan, perubahan iklim, pemanasan global, dan bencana antropogenik lainnya masih turut memeriahkan setahun ke belakang. Friedman berasumsi dengan permasalahan lingkungan yang semakin nyata dan meluas, kesadaran lingkungan akan semakin meningkat. Diskursus lingkungan akan semakin disebar di ranah publik. Namun kenyataannya tidak begitu. Perkembangan masif dari teknologi, dinamika sosial, dan perubahan lingkungan memiliki dampak akseleratif terhadap lansekap dan biofisik manusia dan bumi. Di sisi lain terlalu banyak orang yang mendegradasi lingkungan dibandingkan dengan upaya memulihkannya. Hal ini berkelindan secara kompleks dengan bidang politik, sosial, dan ekonomi. Friedman menyebutnya The Great Acceleration dan Power of Many. Contoh yang bisa aku pikirkan di era pandemi ini adalah tren sepeda. Mengendarai sepeda adalah ramah lingkungan, tapi produksi sepeda seringkali tidak. Fiber karbon (yang menjadi salah satu bahan rangka sepeda) tidak bisa didaur ulang, padahal waktu gunanya memang lama. Namun, biasanya sepertiga karbon perlembar akan menjadi ekses untuk membuat rangka sepeda. Akhirnya ekses ini menjadi limbah yang dibuang ke lautan. Satu orang mungkin tidak berdampak secara signifikan, tapi ketika menjadi sebuah tren dampaknya akan menjadi signifikan. Inilah Power of Many. 

Lantas apa hubungannya ketiga hal itu dengan empati? 

Ketiga pendorong perubahan yang disebut Friedman berjalan seiiring waktu hingga kita berhadapan dengan Covid-19. Era pandemi menjadi wadah besar untuk berefleksi terhadap emosi dan perubahan ini. Dalam setahun ini rasa cemas, jengkel, kesal, dan waswas teramplifikasi secara tidak sadar. Tidak hanya kebutuhan untuk bersosialisasi yang perlu dituruti, kebutuhan sehari-hari pun perlu dipenuhi. Dapur yang perlu dihangatkan dan keluarga yang perlu disokong membuat kita perlu membuat pilihan-pilihan yang logis. Rasanya kita akan mencari-cari alasan untuk bertahan hidup walau dengan mengedepankan kepentingan sendiri. Bertahan hidup dengan hanya mengutamakan kepentingan sendiri merupakan salah satu paradigma atau worldview yang menyatakan bahwa self-centrism dan survivability adalah penting. Namun di sisi lain pilihan-pilihan altruistik juga hadir memberikan alternatif untuk menghadapi ketidakpastian ini. Dengan belajar tentang kesadaran diri dan empati, kita juga bisa belajar memahami pilihan-pilihan pribadi dengan konsekuensi yang lebih baik dan sesuai dengan hidup masing-masing.


Mengenal Empati

Empati berasal dari bahasa Yunani, emphateia, yang artinya feeling into atau merasakan ke dalam. Secara umum empati adalah kapasitas untuk merasakan dan mengalami apa yang orang lain rasakan dan alami tanpa larut dalam emosi orang tersebut. Empati sering disandingkan dengan simpati. Sekilas keduanya tampak sama, namun berbeda. Simpati merupakan kapasitas untuk mengetahui apa yang orang lain rasakan tanpa tahu bagaimana perasaan atau pengalaman emosi orang tersebut. Di sisi lain secara spesifik empati menempatkan kesadaran diri untuk ikut memposisikan diri pada pengalaman dan perasaan orang lain. 

Dalam survival of the fittest, kita berada dalam kondisi berlomba-lomba untuk bertahan hidup. Tidak ada salahnya mematok bertahan hidup menjadi standar dasar menjalani hidup, tetapi dalam konsep kehidupan yang lebih luas dan dalam, selain surviving, kita juga bisa meningkatkan kesadaran kita lebih dari sekadar bertahan hidup melalui thriving. Secara harfiah thriving diartikan sebagai maju, berkembang, atau tumbuh. Anna Akbari, penulis Startup Your Life: Hustle and Hack Your Way to Happiness, menjelaskan lebih dalam lagi bahwa thriving adalah upaya untuk tetap hidup dengan berpikir dan merasakan secara penuh. Lanjutnya, thriving membuat hidup lebih bisa dinikmati, menyenangkan, dan utuh. Dari ketiga kata harfiah dan penjelasan Anna Akbari, menurutku berkembang merupakan arti yang paling sesuai dengan kata thriving.

Persoalan sekadar bertahan hidup atau turut berkembang merupakan pilihan. Aku percaya takdir. Ketika kita mendapat satu kejadian nahas, itu adalah takdir yang tak bisa diduga. Tapi bagaimana merespon kejadian tersebut adalah pilihan kita. Misalnya ketika kita beberapa kali gagal (atau tersakiti) dalam hidup, kita akan cenderung menjadi satu di antara dua ini:  menutup diri karena traumatik atau membuka diri karena nothing to lose. Di sini empati bermain peranan sentral untuk mendorong sejauh mana kita bisa berkembang dan memulihkan rasa percaya terhadap diri sendiri dan lingkungan kita, terlebih di era pandemi yang membuat kita harus tetap sehat secara fisik dan mental. Secara personal tulisan ini menjadi sarana belajar (dan pengingat diri) akan makna empati di era pandemi dan akselerasi perubahan teknologi.

Empati dan kesadaran diri telah menjadi topik penelitian psikologi sejak lama. Larsen dalam tulisannya Cognitive Operations Associated with Individual Differences in Affect Intensity menyebutkan bahwa kesadaran diri membangun empati yang menempatkan kemampuan terbuka terhadap emosi diri akan meningkatkan kemampuan dalam membaca perasaan-perasaan orang lain. Dalam hal ini empati seringkali ditunjukan melalui pemahaman terhadap emosi orang lain yang jarang diekspresikan lewat kata-kata, seperti suara, gestur, dan ekspresi wajah. Hal ini didukung tulisan Daniel Goleman tahun 1999 tentang empati, akar perkembangannya, dan neurologinya di The New York Times. Menurutnya empati mulai tumbuh sejak saat kita bayi. Beberapa bulan setelah lahir, bayi bereaksi terhadap gangguan di sekitarnya seolah-olah mengarah padanya. Bayi akan menangis jika melihat atau mendengar bayi lain menangis. Pada usia satu tahun bayi akan mulai menyadari bahwa penderitaan di sekitarnya bukanlah penderitaan miliknya, walaupun bayi tersebut masih akan kebingungan apa yang harus ia lakukan terhadap penderitaan di luarnya. Tulisan Goleman juga ditopang penelitian psikologi perkembangan bahwa bayi bisa merasakan tekanan di luar dirinya sebelum ia sadar bahwa dirinya adalah bagian terpisah dari orang lain. Penelitian lainnya menunjukan bahwa ketika seseorang berada dalam tahapan yang sangat emosional dengan reaksi kuat dari amarah atau kesedihan, maka empati akan menjadi minimal bahkan hilang. Oleh karena itu empati membutuhkan ketenangan dan penerimaan sehingga tanda-tanda tak terlihat tentang perasaan orang lain bisa diterima dan dirasa oleh otak yang memproses emosi.

Menumbuhkan empati penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai fungsi dara bersosialisasi dan untuk menjalin toleransi. Hilangnya empati bisa berujung alexithymia, kondisi seseorang yang membuatnya sulit memahami dan mengungkapkan emosi. Lebih buruk lagi bisa menyebabkan antipati bahkan psikopati. Namun begitu, perlu digarisbawahi bahwa hilangnya empati juga bisa disebabkan oleh gangguan saraf sehingga manipulasi dan sikap dingin dalam mengeksploitasi orang lain menjadi biasa saja. Contohnya, ketika orang marah dan memukuli pasangan mereka maka detak jantung akan meningkat dan akan timbul rasa bersalah setelahnya. Pada orang dengan gangguan saraf memukuli pasangan adalah kegiatan biasa. Tak ada detak jantung yang meningkat, apalagi perasaan bersalah setelahnya. Untuk menumbuhkan empati bagi individu dengan kondisi seperti ini, Psikolog William Pithers dalam tulisannya Empathy: Definition, Enhancement, and Relevance to the Treatment of Sexual Abusers 1999 mengembangkan terapi alih perspektif (perspective-taking therapy) bagi para kriminal dan psikopat. Mereka terlibat dalam simulasi kejadian kriminal sebagai korban. Walaupun perkembangannya termasuk lambat, ada indikator bahwa mereka yang tidak memiliki empati mulai bisa merasakan perasaan menjadi korban.

Empati juga tidak selalu baik. Pada kadar yang berlebihan empati bisa membuat seseorang terganggu. Bayangkan saja mengalami perasaan melimpah ruah yang bukan dimiliki sendiri. Kecemasan, kebingungan, dan kekhawatiran  bisa jadi teramplifikasi. Goleman, psikolog yang menulis Emotional Intelligence, mengemukakan tiga jenis empati dengan dua jenis empati tambahan:

1.       Empati Kognitif, yaitu menempatkan diri dalam situasi seseorang dan melihat melalui perspektifnya. Goleman menyatakan emosi jenis ini mengandalkan logika dan pemikiran sehingga cocok untuk negosiasi dan lobi dengan menempatkan diri tanpa merasakan emosi orang lain sama sekali. Salah satu sisi gelap empati jenis ini adalah bisa menunjukan pengertian apa yang orang lain rasa, namun tidak bisa mendalami emosi yang dirasakan orang lain.

2.       Empati Emosional, yaitu menempatkan diri pada situasi orang lain dan merasakan apa yang ia rasa. Empati emosional ini lebih cocok dengan pengertian feeling into dibandingkan empati kognitif. Empati emosional berfungsi dengan baik pada profesi yang membutuhkan emotional attunement seperti dokter, perawat, bidan, relawan, dsb. Dengan memiliki empati emosional berarti kita siap memiliki kanal untuk mengakses apa yang orang lain rasa. Hanya saja empati jenis ini mengerahkan terlalu banyak emosi dalam mengerti perasaan orang lain sehingga memungkinkan kita tersesat dalam emosi tersebut. Karena itu batasan dan kontrol diri penting dalam membangun tembok empati emosional.

3.       Empati Cinta Kasih, yaitu empati dengan menempatkan cinta kasih sebagai daya gerak. Empati ini tidak hanya merasakan emosi orang lain, tetapi berupaya membantu menyelesaikannya baik berupa aksi maupun solusi. Empati cinta kasih dianggap empati seimbang yang menjembatani emosi dan logika dalam mengakses perasaan orang lain.

Selain itu ada dua jenis empati lainnya, yaitu:

1.       Empati Somatik, yaitu merasakan kesakitan fisik orang lain. Contohnya saat kita melihat seseorang dipukuli, badan kita ikut merasa sakit atau linu melihatnya.

2.       Empati Spiritual, yaitu merasakan koneksi langsung dengan kesadaran yang lebih tinggi secara spiritual. Menurut tradisi timur empati spiritual ini identik dengan tercerahkan.

Dari kelima empati tersebut, ada kalanya diri kita berpindah-pindah dari satu tipe empati dan hal ini sesuatu yang wajar. Empati bisa menguat, bisa juga melemah. Idealnya empati cinta kasih adalah yang terbaik untuk dimiliki. Awalnya empati dianggap sebagai kemampuan lahiriah yang tidak bisa diajarkan. Hal ini juga ditekankan Helen Riess dalam jurnalnya The Science of Emphaty, yaitu seiring dengan perkembangan pengetahuan dan penelitian, empati bisa ditumbuhkan: kapasitas kita untuk mempersepsikan dan merasakan penderitaan orang lain dipelajari dengan mengizinkan diri sendiri untuk merasakan dan memahami penderitaan orang tersebut.

Dalam interpretasiku menumbuhkan empati berarti perlu mengalami apa yang orang lain rasakan. Contoh sederhana, jika kita tidak bisa mengalami kelaparan, bagaimana kita bisa berempati dengan orang yang kelaparan? Ini berhubungan dengan privilese hidup masing-masing. Namun begitu dengan mengajarkan cinta kasih dan menghargai kehidupan, empati akan tumbuh dengan sendirinya tanpa harus mengalami. Dengan membayangkan tidak bisa makan dan kelaparan membuat orang tersebut bisa merasakan kelaparan walaupun belum pernah mengalami. Banyak yang salah paham hal ini dengan schadenfreude, yaitu kenikmatan dan kesenangan atas penderitaan orang lain. Padahal ada garis jelas yang membedakan keduanya.

Lantas apakah menumbuhkan empati berarti harus pernah mengalami? 

Jawabannya tidak. Ingat Pithers menerapkan terapi alih perspektif bagi para kriminal untuk merasakan apa yang dirasakan korbannya. Hasilnya tidak sama dengan proses mengalami, tapi dengan mengenalkan pada perasaan-perasaan asing, empati diharapkan bisa tumbuh perlahan.

Setiap orang memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda. Bukan hanya memenuhi kebutuhan biologis dalam bentuk makanan, minuman, dan rasa nyaman, tetapi juga kebutuhan spiritual. Namun begitu, karena pesatnya langkah orang-orang dan aktivitas yang seringkali menghimpit, kita sering menutup mata terhadap kebutuhan kita yang terakhir ini. Kondisi ini juga dipengaruhi lingkungan tempat kita dibesarkan dan membuat kita memiliki pandangan hidup yang dituangkan kepada perilaku kita saat ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Psikolog Alfred Aldred bahwa perilaku dipengaruhi pengalaman, lingkungan, dan faktor sosial tempat seseorang dibesarkan. Tak hanya itu, kepribadian kita juga ditentukan oleh konfrontasi dorongan kasih sayang, vokasi, dan sosial. Tidak bisa dihindari bahwa kita saat ini merupakan aksi dan reaksi yang terjadi pada kita saat tumbuh dan berkembang. Namun begitu, ada beberapa faktor lain yang berpengaruh yaitu bagaimana seseorang menginternalisasi kondisi eksternalnya. Menurut Adler, faktor tersebut tidak bisa diberlakukan secara universal kepada setiap orang. Karenanya ini disebut psikologi individu. Contohnya, dua anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang sama belum tentu memiliki kepribadian dan perilaku yang serupa. Seseorang yang tinggal di lingkungan buruk belum tentu memiliki perangai buruk, pun sebaliknya, seseorang yang tinggal di lingkungan baik tidak otomatis menjadi tumbuh menjadi baik.

Yang menjadi sorotan adalah perasaan mengalami ini tidak bisa diajarkan lewat buku teks atau cerita belaka. Kita tidak pernah merasakan bagaimana kelaparan jika kita memiliki akses terhadap makanan dan minuman 24 jam selama 7 hari. Butuh latihan untuk masuk ke dalam kondisi tersebut. Walaupun tidak langsung mengalami, latihan ini menjadi jembatan untuk mengerti perasaan dan pengalaman orang lain. Karena itu dalam agama yang aku yakini, selain sebagai ibadah, puasa yang juga menahan nafsu (termasuk makan dan minum) merupakan sebuah metode untuk menumbuhkan empati. Hal ini juga dilakukan pada agama dan kepercayaan lain yang menekankan pentingnya berwelas asih pada mereka yang menderita karena kemiskinan. 


Merawat Empati

Aku bukan orang yang punya empati paling besar, apalagi memahami empati. Pembelajaran tentang empati aku dapatkan sebagian besar dari pengalaman-pengalaman. Sisanya dari guruku. Hidup memberikanku banyak privilese untuk belajar banyak hal. Salah satunya adalah empati yang menjadi silabus panjang seumur hidupku. Untuk bisa berempati biasanya aku mengalami. Hal ini jelas tidak terencana. Contohnya, aku pernah harus luntang-lantung malam hari sampai tidur di taman karena tak ada tempat tidur. Aku pernah tidak punya uang sama sekali dan harus bekerja banting tulang hanya untuk makan dan bayar sewa tempat tinggal. Aku pernah bekerja membersihkan toilet. Aku pernah bekerja sampai tubuhku kebas dan sakit. Aku pernah makan makanan sisa orang lain yang hendak dibuang. Aku pernah kehilangan banyak hal. Aku pernah patah hati sampai lupa berapa kali. Dan pengalaman-pengalaman lainnya.

Bukan, ini bukan kompetisi siapa yang paling banyak menderita karena aku yakin sesungguhnya penderitaan kita adalah setara. Kita sama-sama menderita. Pengalaman-pengalaman ini memang tampaknya biasa saja karena banyak juga yang mengalaminya walau dalam bentuk dan energi yang berbeda. Pengalaman ini menjadi penting untuk diri sendiri yang mengalami, tapi mungkin tidak relevan bagi orang lain. Hidup mengajarkan empati kepada orang dengan cara yang berbeda-beda.  Bagi orang yang perlu menabung lama, kehilangan barang yang ia sukai merupakan kesedihan yang luar biasa. Bagi orang yang berlimpah materi, kehilangan barang yang sama belum tentu mengakibatkan kesedihan yang serupa. Perbandingan ini menjadi banal ketika disandingkan kepada dua orang yang jelas berbeda. Dengan begitu sekelumit pengalaman dalam belajar menumbuhkan empati bisa dirasakan melalui kesederhanaan, ketabahan, dan bersikap legawa. 

Dengan dasar seperti ini berarti empati memang perlu diajarkan, ditunjukkan, dan dilakukan sejak kecil. Tiap orang lagi-lagi memiliki cara masing-masing dalam menumbuhkan dan merawat empatinya masing-masing. Bagiku beberapa cara untuk merawat empati diri adalah sebagai berikut:

1.       Pergi ke alam untuk mengapresiasi makhluk selain diri

2.       Membatasi diri terhadap emosi yang berlebihan dengan belajar menolak permintaan orang

3.       Puasa dan bermeditasi untuk mengenal emosi dan belajar mengendalikannya

4.       Terbuka dengan lingkar pertemanan yang dianggap dekat

5.       Melakukan kegiatan volunteerism

6.       Berkomunikasi secara terbuka

7.       Berolahraga untuk menyalurkan emosi yang meluap-luap


Pada akhirnya empati menggerakkan hati. Dan untuk bisa menggerakkannya, kita perlu merasakan dulu hati sendiri. Hanya diri sendiri  yang bisa memahami sejauh apa arti perasaan diri, lantas menempatkan pada posisi dan perasaan orang lain. Semoga saja kehadiran teknologi, globalisasi, dan kerusakan lingkungan ditambah pandemi ini tidak menggerus empati kita sampai membuat kita merasa hampa dan mati rasa. 

Semoga.

Comments