Pengingat Singkat Hari Ini

Cerita Hari Ini

Hidup tak perlu begitu sempurna untuk berbahagia. Pun tak perlu penuh lika-liku drama untuk berduka. Setetes suka dan duka, bahagia dan nestapa, keduanya lebih dari cukup untuk tenggelam dalam hidup yang sementara ini. Internalisasi keduanya ke dalam lombong pengalaman layaknya hujan yang turun menyentuh tanah dengan kepastian serta lantas merembes ke dalam pori-pori yang tak terlihat di permukaan; tetesan yang tak pernah hilang dan tak lepas dari siklus bertransformasi dan berubah bentuk.


Mungkin kita diciptakan begitu kompleks, paradoksikal, namun komplementer dengan maksud dan tujuan tertentu: terdiri dari bagian luar dan dalam yang kuat dan juga lemah. Kasar dan juga lembut. Pada awalnya kita dilahirkan rapuh dan tak berdaya dengan letupan-letupan tangisan yang keras tanpa disusut. Pelan-pelan letupan itu tertahan menjadi isakan yang hanya bisa menggedor-gedor rongga dada. Mungkin inilah hakikatnya kita: berawal dari keberadaan yang sangat lemah hingga memudar dan akhirnya berserah, seperti biji tanaman yang disiram dan bertumbuh menjadi kuat hingga akhirnya meranggas dan layu. Namun seiring waktu, tumbuh kembang jiwa dan raga membuat kita percaya diri bahwa di antara lemah itu tersisip kemauan kita untuk merasa kuat. Beberapa tanaman berbuah manis dan menghasilkan banyak daging. Bisa jadi demikian pula kita didesain; di antara lemahnya awal dan akhir, ada kekuataan untuk bisa menopang diri sendiri bahkan orang lain. Dengan memahami ini lantas tidak seharusnya selamanya kita memaksa diri untuk kuat, tidak pula seterusnya kita mengaku lemah. Layaknya tulang belulang yang melindungi organ dalam dan organ dalam yang menyokong cangkang luar, begitu pula peran kita dalam alam semesta. Ada yang berperan tangguh, ada yang berperan rapuh. Namun keduanya setara dan mengisi proporsi signifikansinya masing-masing.

Mengecilkan penderitaan orang lain tak pernah membuat kita kuat. Membesarkan kebaikan-kebaikan diri bukanlah tanda kelembutan. Tiap orang berjalan dalam skemanya masing-masing dengan bebannya tersendiri. Trauma masa lalu, patah hati yang bertubi-tubi, penderitaan dalam sepi, perjuangan yang tak bisa diurai dalam kata, ataupun kesedihan yang tak cukup dialirkan lewat air mata, ada kalanya semuanya tak terlihat maupun terangkum dalam sosok kita sehari-hari. Ada kalanya kita tak punya pilihan kecuali mencoba kuat. Ataupula pilihan yang kita ambil adalah mencoba bahagia dengan menerima apa yang terjadi.

Dalam keterasingan saat merasa tidak ada tempat berpulang atau bernaung, kehilangan yang begitu menyesakkan, dan kebingungan dalam membaca kompas perjalanan, ingatlah bahwa ada suara petunjuk jalan menuju pulang. Suar yang menunggu kita di ujung perjalanan. Bahwa dalam kesendirian kita tidak selalu sendiri. Bahwa di balik kemalangan terletak sebuah makna yang menunggu digali. Bahwa setelah gelap, ada terang. 

Keberserahan dan penerimaan dalam hidup adalah perjalanan panjang. Ia hanya bisa ditemani dengan setia oleh determinasi untuk tidak hanya melihat dunia sebagaimana adanya, tetapi juga melalui pemaknaan dan kebaikan. Dalam perjalanan panjang ini menemukan diri sendiri berarti memeluk kedua sisi tangguh sekaligus rapuh kita apa adanya. Selesai dengan diri kita yang paradoksikal ini. 

Tulamben, 28/03/2021 23.23 

Comments

Post a Comment