Pengalaman Gowes ke Pangandaran


Belum lama ini aku memberanikan diri gowes ke Pangandaran. Sebuah keputusan yang menurutku cukup impulsif, mengingat sebetulnya aku tidak pernah mempersepsikan diri sebagai pesepeda jarak jauh. Oleh karena itu tawaran sebelumnya dari beberapa rekan untuk gowes ke Pangandaran aku tolak langsung. Pertama, aku tahu kondisi dan pace-ku dalam bersepeda tidak sekuat itu. Banyak yang gowes ke Pangandaran dalam satu hari saja, atau di bawah delapan jam. Dengan jarak sekitar 240 km, perjalanan ini di luar jangkauanku. Batasku dalam bersepeda hanya 150 km per hari. Kedua, aku ini orangnya pemalas yang hobi tidur. Jadi semisal memang sedang tidak ada kemauan, ya lebih mending memilih tidur.

Namun entah mengapa inner child dalam diriku mendorong untuk mencoba bersepeda jauh. Ingatanku masih basah dengan sepeda yang diberikan Bapak saat aku mendapat peringkat pertama kelas dua SD sebagai insentif beasiswa dari kantornya dahulu. Bapak kasihan melihatku dulu yang senang meminjam sepeda tetangga sampai lupa mengembalikannya. Aku juga teringat waktu bersepeda ke mana-mana saat tinggal di Belanda dulu. Tidak hanya menjadi tren dan hobi, tetapi juga kebutuhan sehari-hari. Mengingat hal tersebut menyalakan kembali pijar kegembiraan. Berbekal semangat yang belum surut ini, aku memantapkan diri untuk gowes ke Pangandaran sesuai dengan kemampuanku. Aku pun mengajak salah satu sahabatku, Kodok, yang memiliki pace gowes yang sama. Saat gowes berkelompok, kami berdua kompak jadi yang terbelakang. Kami juga pernah beberapa kali mendaki gunung bersama dengan teman-teman yang lain. Dengan begitu kami sudah paham pace dan tabiat masing-masing dalam perjalanan sehingga tidak akan saling membebani masing-masing.


Hari Pertama: Cimahi – Ciamis, Pukul 14.30 - 00.00 WIB

Kami berdua bertemu setelah salat Jumat dengan titik awal di Cimahi. Setelah memastikan persiapan matang, pukul 14.30 WIB kami berdoa dan memulai perjalanan. Dari Cimahi kami mengambil jalur melalui Gatsu menuju Cibiru. Awan mendung mengiringi kami. Udara sejuk perlahan berbuah tetesan air. Seperti yang aku duga, hujan turun begitu derasnya di Soekarno Hatta. Kami segera berhenti di sisi jalan untuk memasang jas hujan dan kover hujan tas kami. Untungnya aku membawa sandal, jadi aku sempat menukar sepatuku dengan sandal gunungku saat mengenakan jas hujan. Kami meneruskan perjalanan dengan daya lihat yang sempit karena derasnya hujan. 

Jalanan yang tergenang air membuat sepedaku berat. Kodok pun tertinggal di belakang karena membawa panier besar di kiri, kanan, dan atas pada boncengan belakangnya yang lebih berat dari bawaanku. Sementara aku hanya membawa panier medium dengan tambahan tas di sisi kiri belakang dan depan. Salah satu keunggulan mengendarai sepeda touring, kami bisa membawa banyak perlengkapan. Kelemahannya, berat. Karena itu aku mencoba meringkas bawaanku agar tidak berat dengan hanya membawa pakaian dry fit, alat mandi, ultra light towel, dan alat salat yang tipis.

Hampir dua jam hujan tanpa ampun membasahi kami yang melaju di jalanan. Kami melewati Cibiru yang macetnya luar biasa sehingga mengingatkanku pada masa-masa kuliah dahulu. Kami juga melewati jalan menuju gerbang tol Cileunyi yang sedang diperbaiki. Melewati daerah ini membawaku pada nostalgia delapan tahun kuliah yang penuh canda tawa dan juga air mata.

Apa yang lebih melankolis dari hujan, perjalanan, dan kenangan?

Aku menarik napas dan menghela perasaan melankolis tersebut dan mulai mengajak pikiranku untuk fokus mengayuh pedal di antara kemacetan yang menghadang di depan. Mungkin ini salah satu konsekuensi gowes saat jam pulang di akhir pekan, berupa kemacetan yang melatih kesabaran. Ditambah hujan yang belum ada tanda-tanda reda, entah mengapa aku malah menikmati semuanya ini. Tak lama setelah melewati Cileunyi, kami terbebas dari kemacetan. Walaupun menggunakan jas hujan, nyatanya kami tetap juga basah kuyup. Beberapa kali mobil yang melaju kencang setelah kemacetan mencipratkan genangan air di jalanan ke badan kami. Aku malah tertawa terbahak-bahak sampai tersedak campuran air hujan dan cipratan selokan.


Rehat di Rancaekek
Menjelang pukul 16.20 WIB kami berhenti di sebuah masjid di kiri jalan Cicalengka untuk salat dan rehat sejenak. Aku juga harus menghadiri rapat daring. Tiga puluh menit berlalu kami mulai mengayuh pedal lagi di tengah hujan yang sudah sedikit melunak. Dari Rancaekek kami melewati Nagrog, turunan Nagreg, dan Limbangan. Pukul 18.00 WIB azan magrib berkumandang dan kami segera mencari masjid terdekat lagi. Hujan kini turun lebih deras dari sebelumnya mengiringi pergantian sore ke malam.

Kami berhenti di masjid HJ Ayu untuk salat serta rehat. Di sebelahnya ada kantin yang dijaga sepasang suami-istri. Kantinnya tampak sepi. Kami mengobrol dengan Bapak dan Ibu tersebut. Mereka sudah terlihat sepuh. Semenjak pandemi, Bapak itu bercerita, kantinnya sepi pengunjung dan ia harus bertahan dari jualan apa saja. Aku teringat orang tuaku. Masa-masa sulit seperti ini membuat mereka harus memutar otak supaya dapur tetap mengepul. Saat kami memesan makanan, mereka tampak gembira. Padahal kami memesan tak seberapa. Aku memesan mi rebus telur, air mineral, dan kopi, sementara Kodok mi rebus plus nasi dan air mineral. 



Masjid Hj Ayu di Limbangan 

Tiga puluh menit berlalu dan hujan masih awet membasahi jalanan. Kami memutuskan menerobos hujan karena menunggunya berhenti sama saja menunggu ketidakpastian. Dari Limbangan menuju Gentong, jalanan agak turun dan disambung dengan tanjakan yang gelap dan berliku. Rumah makan atau restoran sudah banyak yang tutup. Penerangan jalan umum juga sangat minimal dan rawan tindakan kriminal. Padahal jalan yang kami lewati adalah jalan nasional. Sebuah pekerjaan rumah untuk pemerintah. Kami hanya mengandalkan penerangan rumah warga yang kami lewati karena lampu sepeda kami mendadak soak. Seharusnya lampu depan sepedaku bisa tahan air, tapi sepertinya baterainya sudah lemah. Sementara lampu sepeda Kodok nyalanya sudah tidak karuan. Mungkin ini juga alasan tidak banyak pesepeda yang memilih gowes ke Pangandaran malam hari. Padahal aku sempat berpikir betapa panas dan berdebunya jika gowes siang hari.

Di sisi lain, aku sangat mengapresiasi tambahan lajur roda dua di kiri – kanan jalan sepanjang Limbangan menuju Gentong sehingga tidak membuat macet atau menyusahkan mobil besar yang melaju di lajur utama. Karena ternyata hingga malam hari masih banyak mobil banyak melewati jalur ini, terutama truk besar dan bus umum. Aku harus sadar diri karena saat sedang bersepeda jika tidak sadar ruang jalan, aku bisa menghambat mobil atau kendaraan lain yang ada di belakangku karena merasa kagok menyusulku.

Sejam berlalu dan pertanyaan semacam ‘Tanjakan Gentong masih jauh ?’ atau ‘Tanjakan Gentong panjang?’ kerap dilemparkan Kodok sedari tadi. Aku jawab: sebentar lagi atau tidak terlalu panjang, agar ia tidak khawatir. Tak lami kami mulai mengayuh di tanjakan Gentong. Aku melaju lebih dahulu, sementara Kodok tertinggal di belakang. Ia harus turun dan istirahat sejenak. Aku berteriak kepadanya akan menunggu di depan. Dua puluh menit kemudian ia datang dengan tergopoh-gopoh kehabisan napas. Di sini kami mulai menukar sepeda kami. Sepeda Kodok terlalu berat dan Kodok sudah kehabisan tenaga. Sepeda Kodok ternyata tidak terlalu berat karena kedua bannya sudah diganti menjadi lebih tipis. Berbeda dengan ban sepedaku yang masih besar dan lumayan berbobot. Jadi kedua sepeda kami tidak begitu berbeda signifikan secara bobot. Kami pun tertawa menyadari ini. Tapi Kodok terus menggunakan sepedaku karena menurutnya lebih ringan.

Setelah menjajal tanjakan Gentong kami mulai menuruni Lingkar Gentong. Turunan meliuk bagai ular dan aku merasa takjub dengan gelapnya malam di jalan ini. Lampu depan sepeda Kodok yang aku pakai berkelap-kelip tidak karuan. Lampu kota terlihat dari kejauhan. Udara malam segar menyapa muka dan kulit. Aku tetap berhati-hati menuruni jalanan karena kacamataku basah oleh air hujan dan kondisi jalanan sangat gelap. Sesekali cahaya lampu mobil yang lewati menerangi jalanan di sekitarku. Lewat Lingkar Gentong, kami tiba di Rumah Makan Gentong sekitar pukul 21.00 WIB. Biasanya rumah makan ini buka 24 jam, tapi belum juga tengah malam sudah tutup. Sebelum melanjutkan gowes, kami foto-foto terlebih dahulu sebagai suvenir perjalanan.

Kami lanjut gowes dan mempercepat pace sepeda kami mengingat hari sudah semakin malam sementara titik istirahat terakhir kami hari ini masih jauh. Sambil mengayuh sepeda, aku memerhatikan jalanan sebelah kiri. Jalur ini adalah yang selalu dilewati keluargaku saat mudik ke Panjalu, Ciamis. Di kiri jalan, ada satu masjid yang selalu didatangi almarhumah Nenekku tiap kali mudik. Masjidnya tidak mewah, sangat sederhana malah. Namun, almarhumah selalu ingin berhenti dan salat di situ saat pulang maupun pergi mudik. Lagi-lagi kenangan menyeruak ke dalam pikiranku. Tanpa berhenti aku terus mengayuh sepeda melewati masjid tersebut dan melewati Suryalaya, jalan menuju kampung halamanku, Panjalu.

Melewati Suryalaya kami mulai bisa gowes santai karena sudah masuk jalan di Tasikmalaya. Hujan sudah melunak menjadi gerimis dan ruas jalan yang besar tidak terlalu banyak dilewati kendaraan. Penerangan jalan umum sudah jauh lebih banyak. Kami istirahat sebentar di warung yang masih buka dan mengatur ritme perjalanan. Kami menargetkan sampai Ciamis pukul 23.00 WIB. Saat kami istirahat waktu sudah menunjukan pukul 22.15 WIB. Tanpa istirahat lama-lama, kami mulai lagi mengayuh pedal sepeda lamat-lamat. Jalanan dari Tasikmalaya menuju Ciamis sangat lengang. Aku bisa mendengar deru angin di kupingku. Belum lagi suara malam saat melewati pesawahan di pinggir jalan. Karena lengang, kakiku otomatis mengayuh lebih cepat agar cepat sampai tujuan. Satu jam kemudian kami  tiba di perbatasan kabupaten Ciamis. Kami foto-foto sebentar dan mulai berani menanggalkan jas hujan yang sedari tadi kami pakai. Setelah kami tanya ke Tukang Sate yang ada di dekat batas kabupaten, ternyata hari ini di belahan Ciamis sini kering tanpa hujan. Kami mulai lagi menggoseh sepeda di jalanan yang lurus terus saja menuju titik rehat terakhir hari ini, yaitu Masjid Agung Ciamis. Kami berencana salat dan bermalam di sana.


Ciamis Manis

Jalanan lurus membuatku agak bosan. Aku mengecek pergelangan tanganku, 15 menit sudah lewat tapi kami belum juga tiba di alun-alun kota. Aku melihat lagi pergelangan tanganku, baru 15 menit kemudian, masih belum tiba juga. Aroma mengantuk sudah menjalar ke mata dan kakikku. Kodok yang menggunakan sepedaku juga berada di belakang dan merasakan hal serupa. Stamina kami sudah hampir habis. Setelah mengecek jam tangan 15 menit kemudian, dari kejauhan kami melihat Masjid Agung Ciamis yang berdiri megah. Sebelum tengah malam kami sudah tiba di Masjid Agung Ciamis. Setelah tanya-tanya ternyata Masjid Agung Ciamis tutup karena pandemi. Sebelum memutuskan tidur di mana, kami mengelilingi alun-alun Ciamis untuk mengisi naga dalam perut yang sudah keroncongan dari tadi. Suasanan tidak begitu ramai, tapi juga tidak terlalu sepi. Masih banyak tanda kehidupan malam, mulai dari beragam makanan dan orang-orang lalu lalang.

Kami menjatuhkan pilihan kepada nasi goreng seharga Rp12.000,00 yang masih tersedia hingga tengah malam. Porsinya begitu banyak sehingga mampu memuaskan naga di perutku. Setelah kenyang, kantuk menyerang. Kami bergegas mulai mencari masjid untuk salat dan tidur. Akhirnya kami putuskan untuk menutup hari di masjid Al-Ikhlas, tak jauh dari alun-alun kota. Di halaman masjid ada seseorang yang sedang istirahat juga. Kami mencoba bergerak sesunyi mungkin.

Udara dingin mulai terasa menyelimuti badan karena adrenalin sudah mereda. Aku lekas mengganti baju basah dengan kering, mengambil air wudu dan salat. Aku mulai menggelar sarung untuk tidur di halaman masjid sementara sepeda sudah terkunci di pohon dekat tempat kami tidur. Sebelum mengakhiri hari ini, aku mengucap banyak syukur karena hari ini bisa terlewati dengan selamat dan sehat.

 

Hari Kedua: Ciamis - Pangandaran, Pukul 08.30 - 15.20 WIB

Mataku membelalak karena azan subuh berkumandang. Aku tidak tidur dengan nyenyak karena lantai masjid yang begitu dingin serta posisi tidur yang tidak begitu nyaman. Kupikir Kodok juga mengalami hal serupa. Namun inilah esensi perjalanan: menikmati apa yang tersedia. Aku mencoba membuka mata lebar-lebar seraya mengumpulkan nyawa untuk mengambil air wudu.

Sebetulnya kami tidur dekat dengan bedug masjid. Aku menduga muazin tidak menabuh bedug karena kasihan melihat kami tertidur di bawah bedug. Sementara Kodok masih proses mengumpulkan kesadaran, aku ikut salat berjamaah. Subuh saat itu cukup ramai karena ada beberapa mobil yang sedang dalam perjalanan beristirahat untuk salat di masjid ini.

Setelah gantian salat, aku dan Kodok tak kuasa menahan kantuk untuk tidur lagi. Aku tahu seberapa banyak tubuhku butuh istirahat, karena itu badanku meminta jatah rehat lebih banyak. Kami sepakat untuk melanjutkan gowes pukul 08.00 WIB.  Menjelang pukul 08.00 WIB badanku sudah segar dan bugar. Ternyata know your limit and strength sangat penting dalam perjalanan. Mengetahui kondisi diri sendiri adalah penting: seberapa jauh jiwa dan raga bisa didorong dan seberapa jauh jiwa dan raga bisa dipahami untuk saling melengkapi. Ini yang aku senangi dari perjalanan. Ada banyak hal yang bisa aku pelajari dari diri sendiri.

Bermalam di Masjid Al-Ikhlas

Pukul 08.00 WIB kami sudah bangun dan mulai bebenah. Roti yang kami bawa sebelumnya menjadi menu sarapan pagi. Pukul 08.30 WIB kami meninggalkan masjid Al-Ikhlas untuk bertolak menuju Pangandaran. Kami sudah balik mengendarai sepeda masing-masing. Jalanan Ciamis di pagi hari saat akhir pekan sungguhlah tenang, asri, dan sejuk. Dari Ciamis menuju Banjar jalanannya hanya lurus saja. Cahaya matahari yang menerobos masuk pepohonan di kiri – kanan jalan menjadi penyemangat perjalanan. Kami juga bertemu dengan pesepeda lainnya dan bertukar salam. Gowes pagi hari bisa mempertemukan kita dengan pesepeda lainnya sehingga menambah semangat perjalanan.

Menjelang pukul 09.00 WIB kami berhenti untuk menyetel sepeda kami. Dudukan sepeda Kodok sepertinya agak rusak. Begitupula dengan punyaku. Kami memutar otak untuk mengakali persoalan ini. Kami membawa ban dalam serep, pompa angin, beragam kunci, tapi kami lupa membawa seat clamp cadangan. Ini salah satu hal vital dalam bersepeda karena agak sulit mencari seat clamp yang sesuai saat dalam perjalanan. Beruntung, kami bisa mengakali seat clamp kami dengan mengganjalnya menggunakan plastik. Untuk sementara persoalan terselesaikan. Aku mengingat kejadian ini baik-baik sebagai bahan evaluasi untuk perjalanan selanjutnya.


Banjar Menuju Pangandaran

Satu jam kemudian kami tiba di kota Banjar dan mampir sejenak untuk makan siang. Kami makan soto Banjar seharga Rp12.000,00. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dengan perut kenyang. Jalanan penuh naik dan turun, tapi kami tidak memaksakan diri. Kami melaju dengan perlahan tapi pasti tanpa berhenti. Aku sempat ingin foto-foto, namun keinginanku kalah oleh rasa lelah yang membuatku menempel terus di jok sepeda.


Masjid Babussalam

Menjelang zuhur kami berhenti lagi untuk salat di Masjid Babussalam. Kami bertemu dengan seorang pria berusia 70 tahun yang bersepeda dari Majalengka menuju Pangandaran. Ada beberapa pesepda lainnya yang juga sedang istirahat. Kami sempat bertukar cerita sejenak. Setelah itu kami salat berjamaah. Setelah itu kami berpisah untuk gowes masing-masing. 

Aku dan Kodok mampir ke Indomaret di seberang masjid. Aku sempat mengisi botol minumku dengan minuman dingin. Aku juga sempat jajan cilor yang sangat gurih dan enak. Setelah kenyang, kami bersiap-siap lagi mengayuh sepeda kami.

Panas matahari mulai menyengat kulit kami terlebih di jalanan menuju pantai yang begitu panas. Kakiku seolah berkomplot dengan pikiranku untuk menggowes sepeda lebih cepat dari seharusnya sehingga meninggalkan Kodok di belakang. 


Aku merasa sendiri dengan pikiranku. Banyak pikiran dan emosi yang muncul ke permukaan: tentang kehidupan, keluarga, kehilangan, kebahagiaan, kesedihan, termasuk penerimaan dan penemuan diri beberapa tahun terakhir ini. Hal-hal yang kadang luput dalam keseharian muncul perlahan untuk diperhatikan. Tak terasa air mata pelan-pelan bercucuran bercampur dengan keringat.

Aku mulai mengambil alih dan memperlambat laju sepeda kemudian berhenti di Indomaret Kalipucang untuk menunggu Kodok. Masuk ke Indomaret membuat tubuhku keenakan terkena paparan pendingin ruangan. Sambil menunggu Kodok aku memakan es krim dan meminum minuman dingin. Tiga puluh menit kemudian Kodok tiba di Indomaret. Kami istirahat sejenak sebelum lanjut gowes ke Karang Nini.

Menuju Karang Nini

Gowes menuju Karang Nini diawali tanjakan yang berkelok-kelok namun diakhiri turunan yang cukup panjang. Kiri – kanan pepohonan besar sehingga membuat jalanan sedikit adem. Selesai dari turunan kami dihadapkan pada jalanan lurus dan panjang. Inilah Karang Nini. Kurang lebih tiga puluh menit kami melewati jalanan ini disertai matahari sore hari yang mulai ramah. Lagi-lagi aku melaju sendiri ke depan tanpa disadari. Entah karena ingin segera tiba, atau memang terbawa suasana.

Lantas tanpa aku sadari, aku sudah tiba di kabupaten Pangandaran. Patung Ikan Marlin menyapaku dalam diam. Beberapa pesepeda sedang khusyuk berfoto ria. Sementara sebagian lainnya duduk istirahat di taman dekat patung. Udara panas menguap menjadi haru.

Bersama Marlin Pangandaran

Aku melirik jam tangan: 15.25 WIB. Kodok tiba tak lama kemudian. Kami mulai berfoto-foto sambil menikmati momen. Menjelang pulul 16.00 WIB, kami segera menuju penginapan. Kami menginap di penginapan murah seharga Rp150.000,00 per malam. Kami tidak ingin buru-buru pulang. Setidaknya dengan menginap semalam, kami bisa jalan-jalan menikmati matahari tenggelam dan terbit di Pangandaran. Penginapan yang kami tuju berjarak lima menit dari patung Ikan. Untuk sepeda, tak ada tiket masuk kawasan pangandaran. Sesampainya di penginapan, kami bebenah, mandi, salat hajat, dan beristirahat. 

Senja di Pangandaran 


Menjelang magrib, kami keluar penginapan menuju pantai untuk melihat  matahari tenggelam. Aku mengambil buku harianku dan menulis pengalaman perjalananku ini. Aku merekam momen senja dengan mata dan kameraku dan menginternalisasi rasa syahdu dan syukur yang merayapiku, seraya berdoa perasaan dan kenagan ini tidak hilang dimakan usia.

Lepas menikmati senja, kami mulai mencari makan. Setelah berputar mencari tempat makan di seputar pantai Pangandaran, kami akhirnya mencoba makan di salah satu warung boga bahari yang cukup terkenal yang saat itu sedang sepi pengunjung. Sebelumnya kami melewati rumah makan boga bahari lainnya, namun  urung makan di situ karena sedang penuh pengunjung. Karena itu kami memutuskan makan di tempat yang agak sepi pengunjung. Aku makan malam sangat banyak sebagai hadiah untuk tubuh yang sudah membantu banyak dalam perjalanan ini. Menjelang pukul 22.00 WIB kami balik badan menuju penginapan untuk istirahat.

 




Hari Ketiga: Pangandaran – Bandung, Pukul 11.15 - 19.30 WIB

Fajar di Pangandaran 

Malam itu aku tidur nyenyak dan bangun dengan bersemangat. Kamar yang aku tempati cukup nyaman, luas, dan berpendingin ruangan sehingga bisa melepas lelah selama di perjalanan sebelumnya. Aku terbangun pukul 04.00 WIB dan menulis buku harian sambil menunggu subuh. 

Setelah salat subuh aku dan Kodok bersiap-siap untuk gowes lagi. Kami bergegas gowes untuk menyaksikan matahari terbit di Pantai Timur yang jaraknya hanya 10 menit dari penginapan kami. Banyak pengunjung yang sudah memadati pantai. Kami mencari tempat yang lebih sepi untuk menghindari keramaian.

Ingat jangan salah tempat. Pantai Barat untuk melihat senja, Pantai Timur untuk melihat fajar. Puas menikmati momen, kami mencari sarapan dan informasi untuk pulang. Setelah itu kami kembali ke penginapan untuk siap-siap pulang. Lewat sedikit pukul 11.00 WIB, kami sudah ada di terminal Pangandaran untuk pulang. Kami menggunakan kendaraan umum dengan biaya Rp150.000,00 per orang dengan tambahan Rp50.000,00 per sepeda.



Penutup

Bagi sebagian orang gowes Bandung – Pangandaran biasa saja. Bagiku bersepeda sejauh itu merupakan salah satu pencapaian diri karena bisa memahat rasa syukurku dalam memahfumi perjalanan ini. Bukan soal jarak yang menentukan jauh dekatnya perjalanan, bukan kecepatan laju sampai tujuan, melainkan kesadaran diri untuk menikmati setiap bosehan, setiap rehat, dan setiap kontemplasi perjalanan, yaitu hidup adalah perjalanan panjang dalam menemukan, melepas, dan menemukan. Banyak istirahat, banyak foto-foto, banyak mengobrol, banyak merenung, terlepas laju kendaraan yang kita kendarai, yang terpenting adalah hati gembira selama perjalanan sampai tujuan.

Semoga kita masih diberikan nikmat sehat dan sempat untuk melakukan perjalanan-perjalanan diri selanjutnya.

Comments

  1. Luar biasa kang Pradip. Lanjutkeun

    ReplyDelete
  2. Pulangnya naik bis? Trus sepedanya jg masuk bis atau bagasi? Mantapp..
    💪💪

    ReplyDelete
  3. Thank you for this story/trip report/personal contemplation. Really enjoyed reading it, and I found relatable feelings and thoughts I get waktu lagi sepedaan too many times.

    ReplyDelete

Post a Comment