Ramadan Kali Ini




Di kampung tempatku tinggal ada satu masjid yang kadang-kadang aku datangi saat sedang di rumah. Karena permukiman tempatku tinggal tergolong kecil dan juga merupakan wilayah sangat padat penduduk, meskipun tidak mengenal dekat, orang-orang tahu satu sama lain. Kala pandemi mewabah awal 2020 orang-orang mulai sering berdiam diri di rumah. Mungkin sama sepertiku, mereka mulai memerhatikan tetangga atau kondisi di sekitar mereka. Salah satunya keseharian mereka. Mulai dari aktivitas di halaman, kegiatan di luar, atau beribadah ke masjid. Setahun pertama pandemi masjid yang tak jauh dari rumahku itu juga ikut ditutup. Namun tahun ini seiring dengan banyak warga yang sudah divaksin, masjid itu pun dibuka kembali dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan. Beberapa jemaah mulai ibadah di masjid dan salat tarawih juga sudah dibuka kembali. Hingga hari terakhir masjid itu selalu penuh.


Seingatku Ramadan tahun lalu, ada seorang pria tua yang selalu mengambil pojok paling kiri di saf pertama. Ia selalu meminta tolong jemaah lain menempatkan kursi lipat yang ia simpan di masjid sebagai tempat duduk yang membantunya salat. Orang dengan mudah bisa menebak bahwa ia sudah tidak sanggup berdiri lagi. Umurnya sudah kepala delapan. Namun begitu, ia selalu menyempatkan diri salat berjemaah di masjid saat azan memanggil. Dari rumahnya ia berjalan kaki dibantu tongkat. Kalau berpapasan denganku, aku kadang membantunya berjalan. Kadang aku berpapasan dengannya yang dipapah istrinya yang juga menungguinya sampai selesai salat. Hujan tidak menjadi halangan untuknya datang ke masjid, apalagi panas. Kegigihannya untuk beribadah membuatku malu. Aku masih relatif muda dan sehat dibandingnya, namun aku masih sering bermalas-malasan beribadah. Tidak hanya tahun ini, tahun-tahun sebelumnya sejak aku bermukim di sini, pria tua itu setia pergi ke masjid dan salat di tempat yang sama, yaitu pojok kiri saf pertama, dengan cara duduk di kursi lipat.

Beberapa hari memasuki Ramadan kali ini, aku masih sering bertemu dengannya. Kadang aku mengangguk dan bertukar salam. Aku sebetulnya bukan kupu-kupu sosial yang pandai memulai percakapan tiba-tiba. Namun, pertemuan di masjid perlahan-lahan menumbuhkan ikatan antarjemaahnya. Termasuk bagi kami. Kadang ia memintaku menempatkan kursi lipatnya. Kadang kami cuma bertukar teguran, atau bahkan anggukan saja. Dari anggukannya aku bisa menebak bahwa sebetulnya tak perlu banyak kata yang tertukar hanya untuk menjalin silaturahmi. 

Suatu hari saat selesai salat subuh di masjid, aku tersadar tempat pria tua salat itu kosong. Begitu pula zuhur, asar, magrib, isya hingga keesokan harinya dan juga hari-hari berikutnya. Dalam benakku, aku hanya menduga pria tua itu sedang ada urusan sehingga tidak bisa lagi datang ke masjid.

Beberapa hari berlalu hingga terdengar kabar bahwa pria tua itu sudah tiada. Kini, ada perasaan sendu yang luber dari dalam diri tiap kali aku melirik pojok kiri saf pertama. Padahal aku tidak begitu mengenalnya, tapi bulir air di sudut mata ini jatuh jua. Sama halnya saat April lalu aku mendapat kabar salah satu guru mengajiku juga sudah tiada. Aku sudah mengenalnya sejak kecil dan ia menjadi salah satu sosok yang aku teladani. Saat mendengar kabar duka tersebut, aku sedang di luar kota sehingga membuatku tidak sempat melayatnya. Aku hanya bisa menarik napas dan berdoa: sesungguhnya kita semua adalah milik Allah, dan kepada-Nya kita semua pasti akan kembali. Semoga ilmu yang bermanfaat yang ia bagikan semasa hidup akan menjadi pahala yang tidak putus. 

Jelang hari terakhir Ramadan, ada binar-binar kesedihan dan kehilangan yang terpantik lagi meminta untuk dievaluasi. Saat aku kehilangan Nenek dan sahabatku, kesedihan yang terasa begitu dalam dan meronta-ronta ingin dikeluarkan seperti teriak tangis yang memekikan telinga. Mungkin karena Nenek meninggal saat Lebaran. Jadi, momen yang harusnya dirayakan dengan suka cita terpatri dengan kesedihan. Berbeda dengan saat kehilangan mereka berdua, saat pria tua dan guru mengajiku meninggal, kesedihan yang ingin berteriak itu berubah sunyi.  Ia hanya menjelma isak tangis yang subtil menyatu dalam kepasrahan. Aku mencoba merasionalisasi. Mungkin, kedekatan atau proximity closeness yang berbeda terhadap orang menentukan seberapa banyak air mata yang terderai di pelipis kita. Tapi, nuraniku dengan cepat menepis rasionalisasi tersebut. Seringnya air mata ini juga terderai mengetahui kepergian orang-orang yang tidak aku kenal sama sekali. Ah, ini hanya sentimentalitas kehidupan saja. Begitu pikiranku tetap merasionalisasi. Karena pikiranku kini yang mengambil alih, lantas aku mulai merenungkan beberapa hal, salah satunya:

Everything ends and death is an inevitable certainty. Then what will remain of us when we’re gone?

Mengapa kita takut kepada kematian? Mengapa kematian dianggap kehilangan, jika pada hakikatnya kita hanya berpulang kepada Sang Pemilik Jiwa?

Mungkin karena kematian dianggap akhir perjalanan dan mungkin kita terlalu mencintai dunia ini sehingga kita takut (atau belum siap) meninggalkannya. Padahal tiap-tiap yang berjiwa sudah pasti akan merasakan kematian. 

Tapi perlu diakui, secara biologis kematian memang mengerikan.

Kurang lebih seperti ini. Menjelang kematian, tiap otot tubuh akan melunak. Saat tubuh melunak, pupil membesar, rahang mungkin akan terbuka, dan kulit akan melorot. Jika ada urin dan feses yang tersimpan dalam tubuh, keduanya akan dikeluarkan juga. Kematian, khususnya yang regular, tidak terjadi secara instan. Kematian, sama dengan kehidupan, adalah proses. Beberapa peneliti bahkan membuktikan bahwa otak masih bisa tetap berfungsi selama sepuluh menit setelah jantung berhenti berdetak.

Satu jam setelah dideklarasikan mati, tubuh kita mengalami penurunan suhu atau yang dikenal dengan dingin kematian, algor mortis, untuk menyesuaikan dengan suhu sekitar. Beberapa jam kemudian darah akan berkumpul pada area-area tubuh yang terdekat dengan tanah karena efek gravitasi, atau yang dikenal dengan livor mortis. Jika ada bagian tubuh yang dalam posisi yang sama untuk beberapa jam, bagian tubuh tersebut akan terlihat memar, sementara bagian lainnya akan terlihat pucat.

Anggota tubuh lainnya dan persendian akan menjadi kaku beberapa jam kemudian melalui proses yang dikenal dengan rigor mortis. Saat tubuh mencapai kekakuan maksimal, lutut dan siku akan melentur dan jari-jari tangan dan kaki mungkin akan tampak bengkok. Namun setelah sekitar 12 jam, proses kekakuan mortis ini akan mulai berbalik arah karena pembusukan jaringan internal yang berlangsung antara satu dan tiga hari.

Kemudian, dalam setahun tubuh yang dikubur di dalam tanah akan membusuk dan terdekomposisi meninggalkan hanya tulang belulang. Delapan hingga dua belas tahun kemudian, tulang belulang itu akan terdekomposisi dan menyatu dengan tanah.

Kematian, seperti yang aku sebutkan sebelumnya, adalah proses juga. Sama seperti pertemuan dan perpisahan yang merupakan satu sifat kesementaraan dunia ini. Kita hidup, kemudian meninggal. Dari tiada, mengada, kembali tiada. Bertemu, kemudian berpisah.

Lantas, ketika kita menyatu dengan tanah, apakah yang tersisa dari kita? Unsur-unsur organik diri yang diurai dekomposer dan akhirnya ludes dimakan waktu? Kenangan dan perasaan orang-orang terhadap kita yang pelan-pelan mulai pudar? Air mata keluarga yang ditinggalkan yang lamat-lamat kering? Harta benda yang kita sayangi dan sulit dapatkan itu – tak satupun bisa kita bawa ke dalam kubur, bukan?

Apakah kita akan meninggalkan luka, kebencian, dendam, penyesalan, dan kenangan buruk semasa hidup? Apakah ada ruang di saat-saat terakhir untuk mengubah itu semua? Apakah ada waktu? Apakah kita mau?

Rentetan pertanyaan itu mengiringi air mata yang menelur di malam-malam belakangan ini. Beberapa anggota keluarga, sanak familiku, dan teman juga meninggal dalam satu tahun terakhir ini. Karena itu amplifikasi pertanyaan tersebut menggaung semakin keras dalam pikiran minta jatah untuk diperhatikan. Yang tersisa selain ingatan tentang mereka, adalah doa yang kita salurkan sebagai bentuk kasih sayang dan kerinduan mendalam. 

Mungkin, dalam hidup yang penuh absurditas ini menggantungkan diri pada kehidupan semata akan berujung pada kekecewaan. Sebaliknya, menggantungkan diri hanya pada kematian akan berujung pada kepahitan.

Kita tak pernah tahu kapan pertemuan terakhir kita akan membekas. Yang kita tahu, kita berjalan bersama-sama menuju ujung terowongan kehidupan. Dalam jejak yang sama-sama kita lalui, mengingat kesalahan dan perpisahan seringnya menimbulkan kesenyapan dalam diri. 

Sebagai makhluk yang penuh cela dan dosa ini, kata-kata maaf saja mungkin tidak cukup aku utarakan untuk mereset kesalahan, sakit hati, kekesalan, dan kekecewaan yang aku sebabkan. Baik sengaja maupun tidak. Sadar maupun tidak. Walau jauh dari cukup, kata maaf ini adalah upaya tulus dalam rangka memahami bahwa meskipun berbuat salah dan khilaf adalah manusiawi, bukan berarti kita bisa bersembunyi di balik alasan tersebut dan secara sadar mengulangnya lagi dan lagi sehingga tanpa kita sadari kesakralan kata 'maaf' kian berkurang. Tumbuh dengan mawas diri agar lebih baik lagi dalam meminimalisasi kesalahan, mengakuinya, dan memperbaikinya merupakan proses seumur hidup. 

Karena itu, aku minta maaf. 

Sungguh. 

Semoga kita bisa bersilangan jalan lagi sebagai pribadi yang lebih baik di satu kesempatan. 

Jika tidak dalam waktu dekat, mungkin suatu saat nanti.

 

Comments