Racauan Tengah Malam: Hidup adalah Sekolah Sejati

Beberapa minggu belakangan, ada beberapa sentimentalitas yang berkecamuk di pikiranku. Salah duanya adalah tatkala aku membaca puisi Chairil Anwar yang bertajuk ‘Derai-derai Cemara’ yang menjadi favoritku sejak lama dan menerima kabar gembira dari kawanku yang lulus sarjana di usia 36. Aku tidak tahu ke mana arah tulisan ini, yang jelas kedua sentimentalitas ini harus keluar dari pikiranku. 

Derai-derai Cemara

Aku percaya ketika seseorang berkarya dengan perasaan tulus, ada energi yang tersimpan dalam karya tersebut dan menunggu untuk diraih orang lain. Energi itulah yang tersampaikan tiap kali aku membaca Derai-derai Cemara. Berseberangan dengan puisi Chairil Anwar yang berjudul ‘Aku’ yang mengobarkan semangat hidup, Derai-derai Cemara menjadi puisi penutup kehidupan Chairil Anwar yang juga mencerminkan keberserahan hidupnya. Mati muda adalah salah satu berkah kehidupan, begitu Soe Hok Gie mengutip seorang filusf Yunani. Chairil Anwar, Mark Baumer, Caleb Reed, dan Chriss McCandless adalah sedikit dari banyak pemuda yang memegang teguh prinsip hidupnya sampai akhirnya harus menyerah pada takdir. Kulminasi hidup Chairil Anwar terefleksikan dalam dua baris pembuka puisi tersebut: 

Cemara menderai sampai jauh/ terasa hari akan jadi malam

Visualisasinya jelas dan pemaknaannya relevan dengan kehidupan. Karena itulah Derai-derai Cemara memiliki tempat spesial di hati ini.

Mari kita bahas soal ‘Cemara’. Cemara dengan sifatnya yang evergreen, mudah dirawat, dan tidak mudah kering atau rontok menyimbolkan semangat hidup yang kokoh menerjang badai kehidupan. Simbol kesederhanaan dan kebahagiaan abadi, bisa dikatakan juga begitu karena buktinya cemara dipakai sebagai judul novel dan film: Keluarga Cemara. Okay yang barusan ngarang. Sisanya juga. 

Balik lagi ke cemara dalam puisi tersebut, ia akhirnya harus berguguran juga, malah sampai jauh. Hal ini menunjukkan pengembaraan yang dibenturkan dengan absurditas hidup, atau barangkali kebrutalan realita yang berakhir dengan admission of defeat atau frase yang lebih aku suka: acceptance of one's fate. Mortalitas dan kefanaan kehidupan ini tercermin dalam interpretasi bait bahwa hari telah menjelma malam saat daun berguguran. Ke mana pun hidup ini bertualang, seberapa keras kita memberontak, akan tetap berujung pada tidur abadi.

Membaca Dera-derai Cemara menimbulkan perasaan mendalam terhadap kedukaan dan nasib diri. Terlebih lagi tengah malam. Tidak disarankan. Bagiku, puisi ini menyiratkan elegi syahdu untuk merayakan kekalahan hidup dan menerima kesedihan menuju haribaan kehidupan. Ada kesendirian yang mengakar dengan kuat. Bait terakhir puisi ini menutup perjuangan hidup seolah kita tidak berdaya di hadapan takdir:

Hidup hanya menunda kekalahan/ Tambah terasing dari cinta sekolah rendah/

Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/ Sebelum pada akhirnya kita menyerah//

H.B. Jassin, dalam bukunya yang berjudul ‘Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45’ terbit 2013, menyebutkan bahwa Chairil Anwar menulis puisi tersebut menjelang akhir hidupnya. Karena itu puisi tersebut ditempatkan di halaman akhir. Toto Sugiharto dalam ulasannya tentang Chairil Anwar: Dari Perintis Jalan Sampai Kritik Sastra Biografis terbit 2014 berpendapat bahwa puisi ini menyimpan perasaan tragis hidup seorang Chairil Anwar. Prinsipnya yang hidup untuk puisi bisa jadi penyebab kegagalan rumah tangganya atau karena latar pendidikannya dari sekolah rendah sehingga ia memang tidak memiliki pendapatan tetap. Disebutkan juga saat kesehatannya memburuk dan ia tidak memiliki uang, ada kemungkinan itulah alasan ia mencuri karya orang lain: untuk membiayai sakitnya.

Sampai sini aku malah merasa seperti akun gosip yang sedang membicarakan hidup orang lain di balik tulisan biografis. Demi kemaslahatan bersama, mari kita pindah subtopik.


Menjadi Sarjana

Derai-derai Cemara berkelindan dengan pikiranku tentang pendidikan yang dipicu oleh kabar dari seorang teman beberapa minggu lalu, yaitu ia telah lulus kuliah sarjana di usianya yang menginjak 36 tahun. Dulu kami pernah bekerja di pabrik di daerah Cimareme, Padalarang. Bagi kami kuliah itu mahal dan belum tentu balik modal. Sebagai pekerja pabrik, sulit bagi kami untuk menabung sambil menafkahi hidup. Apalagi temanku itu harus memenuhi perannya sebagai kepala keluarganya. Selain itu bekerja sambil berkuliah sangatlah melelahkan secara fisik dan mental. Kala itu walaupun berada di keluarga yang tidak mampu, aku memiliki privilese lebih banyak: beasiswa dan keluarga yang mendukung. Oleh karena itu mendengar kabar tersebut, sebagai seorang kawan, tentunya aku sangat bangga dan bahagia.

Dengan biaya harga ijazah sarjana yang relatif mahal bagi orang yang berasal dari keluarga yang tidak mampu seperti kami, pendidikan otomatis menjadi komoditas mewah. Mari berhenti sejenak dan pindah untuk bergosip keluarga sendiri. 

Bapakku pernah bekerja sebagai sopir dan buruh kasar. Ibu sedikit lebih kreatif. Ia pernah bekerja sebagai tukang jus, tukang penatu, tukang roti bakar, tukang gerobak nasi, dan menjadi pedagang kaki lima. Berdua, mereka pernah buka warung kecil-kecilan tapi rugi karena habis dimakan keempat anaknya. Keempat anaknya ini harus sekolah menggunakan beasiswa. Kakakku lulus sarjana dengan beasiswa salah satu perusahaan farmasi. Ia kadang mengamen dari satu angkot ke angkot lain. Aku berpikir ia bukan karena butuh uang, tapi karena hobi yang tidak tersalurkan. Ia juga pernah jualan rokok di kampusnya. Yang seringkali ia konsumsi sendiri. Adik pertama dan kedua lulus kuliah juga dengan beasiswa penuh. Adik pertama malah sempat membantu ibu berjualan di pinggir jalan Pasar Baru. Adik pertama memang anak teladan. Kalau hidup adalah kompetisi paling menderita, sepertinya adik pertama sudah menang.

Aku? Jelas dengan beasiswa juga sambil bekerja. Sampai magister. Mudah-mudah bisa sampai doktor juga karena masih belum mampu biaya sendiri. Atau memang terbiasa sekolah dibayari orang lain. Mental gratisan.

Intinya, biaya kuliah adalah mahal. Dengan biaya yang mahal itu, terkadang kuliah tidak mencerminkan pengalaman dan pengetahuan yang dijanjikan: kelas kosong, gap pendidik dan peserta didik, kesibukan urusan birokratis dan administratif, ketimpangan teori dan praktik, penilaian yang berkutat pada angka. Semua itu menjadikan ijazah hanya kami pandang sebagai tiket mahal untuk masuk pasar kerja yang lebih tinggi. Sebuah kertas untuk bertahan hidup dan memperbaiki kesejahteraan diri dan keluarga.

Entah kenapa aku ingin mengutip Paulo Freire. Boleh ya? Menurut Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed terbit 1970, pendidikan seringkali bersifat transaksional, yaitu mengondisikan peserta didik hanya bisa menerima dan pendidik hanya bisa memberi. Hubungan hirarkis antara keduanya terbentuk sebagai cerminan masyarakat opresif, yaitu bahwa pendidik (dosen dan guru) memberikan pengetahuan dan tahu segalanya. Sementara peserta didik diposisikan sebagai penerima pengetahuan yang tanpa tahu tentang apapun. Yang satu memberikan ceramah dan menentukan aturan, sementara yang satu hanya mendengarkan. Konstruksi seperti ini, menurut Freire, tidak membangun pendidikan yang membebaskan, kritis, emansipatif, dan dialogis. Karena itu, pendidikan bukan hanya kebutuhan bagi siswa, tetapi juga untuk pengajar agar bisa berkembang berbagi pengetahuan: baik memberikan maupun menerima.

Anak didik menjadi peminjam, sementara pendidik menjadi pemberi pinjaman. Keduanya berada di dalam institusi yang disebut Freire sebagai bank pendidikan. Anak didik hanya diberikan kesempatan sebatas menerima, mengisi, atau mengembalikan pinjaman 'pengetahuan' yang mereka terima yang disusun sedemikian rupa oleh sistem. Tanpa adanya apresiasi kreativitas, transformasi diri, dan pengetahuan, proses being dan becoming individu akan terhambat. Dalam konsep perbankan, individu dilihat sebagai objek yang bisa dikelola dan dikendalikan. Pendidik mengontrol hal tersebut dengan tegas sehingga semakin peserta didik berusaha keras mengembalikan pengetahuan yang mereka pinjam sebelumnya, mereka semakin menjadi tidak kritis yang membuat mereka melihat diri mereka sebagai bagian sistem yang sudah ada, bukan sebagai pembawa perubahan. Semakin mereka menerima peran mereka sebagai penerima pasif, semakin mereka menerima dunia apa adanya sebagai potongan realitas yang dipinjamkan kepada mereka.

Kali ini aku tiba-tiba ingin mengutip  R. F. Price. Boleh juga ya? Dalam bukunya Marx and Education in Late Capitalism terbit 1986, Price mengkritik analisis marxis yang terlalu fokus pada pendidikan di sekolah sebagai pembebasan diri. Sementara pelajaran yang menentukan being dan becoming seseorang berada di luar sekolah. Price berargumen bahwa pendidikan merupakan transformasi individu dari kondisi yang terbatas menjadi individu yang sedikit lebih bebas. Inilah yang menjadikan alasan pendidikan sebagai arena untuk meraih liberasi dan emansipasi diri dalam bentuk pengetahuan dan pemahaman harus sejalan dengan nilai kehidupan di luar kelas. Walaupun institusi pendidikan dalam kapitalisme akhir hanya fokus pada eksploitasi dan opresi kaum buruh, bukan berarti menghilangkan sekolah dan pendidikan sebagai elemen penting dalam proses liberasi diri. Price, sama dengan Freire, menekankan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan sama-sama pembelajar yang belajar dari satu sama lain.

Freire dan Price sudah disebut, mari beralih ke Jeffrey R. Di Leo sekalian, boleh ya? Menurut Di Leo dalam bukunya Higher Education Under Late Capitalism terbit 2017, pendidikan tinggi saat ini menempatkan tekanan besar pada individu dan institusi untuk menerima kemajuan ekonomi sebagai perkembangan akademik. Pendidikan tidak lagi mengedepankan nilai-nilai kritis dan emansipatif, melainkan hanya fokus pada angka, nilai, dan kemajuan kuantitatif sebagai diskursus bekal masuk ke dalam industri. Pendidikan malah dinormalisasi menjadi fungsi seleksi sosial yang memastikan subordinasi terhadap sistem yang represif dan menyiapkan peserta didik hanya untuk terintegrasi dalam struktur pasar yang akan mengeksploitasinya. Pendidikan dalam masyarakat kapitalis akhirnya menjadi mekanisme yang membagi buruh potensial dengan kemampuan dan ijazah berbeda-beda untuk kepentingan industri dengan mengedepankan ambisi profit, produktivitas, dan kemajuan ekonomi.

Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi menjadi mata uang yang menyimpan nilai ekspektasi tinggi terhadap prospek pekerjaan individu. Tanpa adanya promosi tentang membangun dan memperluas cakrawala pengetahuan, prospek lulusan dan serapan lulusan menjadi poin terpenting dalam institusi pendidikan. Bagiku dan juga kawanku, bukan berarti kesesuaian kerja dan ijazah tidak penting. Namun ada poin yang lebih penting yang terlewati saat membangun hubungan pendidikan emansipatif dan kebutuhan industri. Jika boleh jujur, ijazahku saat ini sama sekali tidak berhubungan dengan prospek pekerjaan yang digadang-gadang oleh prodi aku kuliah. Bayangkan jika setiap lulusan harus bekerja sesuai dengan prospek kerjanya. Mungkin kita hanya akan dikotak-kotakkan berdasarkan selembar ijazah yang dianggap mewakili kemampuan terbaik kita tanpa memandang keinginan dan kebutuhan kita dalam satu pekerjaan. Pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan di kelas penting, tapi tidak mengurangi pentingnya pengalaman di luar sekolah, di luar kelas, yang seringkali menjadi modal utama untuk bertahan dan berkembang dalam kehidupan.

Apa hubungannya antara puisi, kabar gembira, dan pendidikan kita? 

Jujur, aku pun tidak tahu. Sudah aku bilang ini hanyalah sentimentalitas yang mengendap.

Mungkin seharusnya seseorang yang gemar berpuisi bisa hidup dari berpuisi. Mungkin kabar gembira untuk menjadi sarjana di usia 36 tahun bisa menjadi pelajaran buat kita bahwa hidup ini bukanlah perkara berkompetisi dengan orang lain, melainkan bahwa untuk mencapai hal yang kita anggap penting dalam hidup tidak ada kata terlambat. Atau mungkin pendidikan kita seharusnya tetap mengedepankan kesederhanaan dan esensi yang dicetuskan Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, melalui Tut Wuri Handayani yang berarti seorang pendidik mendukung proses eksplorasi diri anak didiknya tanpa paksaan dan tekanan sehingga sebagai seorang individu, anak didik bisa mengambil langkah dan keputusan sesuai dengan pemikirannya sendiri yang menjadi dasar pendidikan sebagai bentuk liberasi diri.

Lantas, sejauh mana pendidikan kita menanamkan nilai kritis, emasipatif, dan berorientasi empati? Bukan sekadar menyiapkan individu yang siap dipakai sebagai sekrup perekonomian?

Jawabnya ada di ujung langit. 

Mengikuti Chairil Anwar, sebanyak apapun waktu kita di dunia, ada saja yang tetap tidak bisa diungkapkan. Terasing dari cinta yang pernah kita teguk dan kealpaan menjenguk privilese pendidikan – keduanya adalah penundaan kekalahan sampai akhirnya kita mengangguk dan menyatakan menyerah.


Mungkin lewat tengah malam, sudah waktunya kita tidur. Yuk.

 

Comments