Tentang Bekerja, Kesendirian, dan Merasakan Hidup

Trenggalek, Januari 2023


Halo! Lama tak jumpa bukan berarti aku lupa!

Selamat menjalankan ibadah Ramadhan 1444 Hijriah bagi teman-teman yang menjalankan. Tahun 2023 sudah berlalu tiga bulan dan tulisan terakhirku masih bertengger di bulan September 2022. Awalnya aku berjanji untuk menulis sebulan sekali, namun ternyata aku malah belum mampu. Namanya hidup, berusaha semampunya, berusaha sekuatnya. Tak apa, kita tulis pelan-pelan saja.

 

Menulis telah menjadi salah satu terapiku sejak lama. Melalui tulisan yang entah dibaca orang maupun tidak, aku bisa mengolah pengalaman dan perasaan sendiri untuk terhubung dengan diri sendiri, pengalaman, dan orang-orang yang aku temui hari itu. Menulis membuatku merasa dekat dengan kesendirian dan kehidupan. Sebetulnya ada banyak draft yang aku rencanakan untuk aku utarakan lewat beberapa tulisan di blog ini, tapi hanya berakhir menjadi endapan di jurnal harianku saja atau penggalan jurnal harian di media sosialku. Alasan utamanya karena alokasi waktu dan tenaga yang semakin terbatas alias aku sudah beranjak tua. 

Sejujurnya aku belum bisa mengelola waktuku secara optimal sehingga hampir sebagian besar waktu sehari-hariku habis untuk memenuhi kebutuhan dasar bertahan hidup (bekerja, tidur, makan, dan olahraga). Namun begitu, jurnal harianku selalu setia menemaniku untuk menerima goresan emosi keseharianku sehingga saat aku baca ulang isinya sangat mentah, rampus, dan gabas. Sayangnya jurnal harianku terlalu mendetail dan penuh campuran emosi sehingga tidak akan bisa begitu saja dituangkan ke dalam tulisan ini. Supaya tidak melebar ke mana-mana (ini aku tulis sehabis kerja di sela waktu luang berolahraga sore), aku hanya akan meringkas tulisanku ke dalam tiga bagian singkat. Versi panjangnya menyusul.

 

Tentang Bekerja

Perubahan 2022 menjadi 2023 diwarnai kecupan dan kejutan kehidupan, yang menyenangkan maupun membuat tidak nyaman. Yang menyenangkan, pandemi COVID-19 sudah mereda dan aktivitas sehari-hari sudah menggeliat lagi. Yang membuat tidak nyaman pun ada. Menuju tahun ke tiga bekerja sebagai dosen, aku sudah merasa nyaman dan berada di zona aman. Namun, November 2022 aku mendapatkan tanggung jawab baru dalam pekerjaanku. Aku yang sejak 2017 sedang mempraktikkan slow-living sedikit banyak terguncang dengan amanat dan tanggung jawab baru ini. Mungkin aku kurang memiliki ambisi atau motivasi hidup, tapi aku tidak terlalu tertarik dengan jabatan dan harta berlebihan. Selama aku bisa minum kopi, tidur pulas, dan menafkahi kebutuhan dasar keluarga (termasuk kucingku), aku sudah merasa cukup dan bahagia. Beberapa kali aku menolak, beberapa kali pula aku diyakinkan bisa menjalani tanggung jawab ini.

Dalam hal ini, aku mencoba berefleksi lagi ke belakang. Seringnya hidup memberikan pelajaran bukan tentang apa yang kita inginkan, melainkan tentang apa yang kita butuhkan. Apa yang aku butuhkan untuk berkembang sebagai seorang manusia? Apa yang aku butuhkan untuk bisa terus berbuat baik? Apa yang aku butuhkan untuk bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain? Semua yang terjadi padaku menuntunku untuk hadir pada satu titik ini. Oleh karena itu, tanggung jawab ini aku emban dengan sepenuh hati. Jadi, buat teman-teman yang sedang melangkah keluar zona nyaman, takut dan khawatir itu tak mengapa, yang penting kita lakukan yang terbaik. Mari saling mendoakan!

 

Tentang Kesendirian

Dalam lima tahun terakhir ini aku menikmati proses perjalanan penemuan diri (self-discovery) untuk mengupas lapisan-lapisan dan kerak-kerak diri. Selama itu pula aku bersyukur bisa belajar terbuka terhadap keluarga dan sahabat-sahabat terdekat tentang apa yang aku lalui. Aku pun bersyukur atas apa yang bisa aku bantu untuk mereka. Penerimaan yang butuh waktu bertahun-tahun (15 tahun tepatnya) ternyata memang bisa dikuatkan dan dibuktikan oleh waktu yang dilalui bersama mereka. Waktu menjelma sebagai penguat ikatan intim melalui kerapuhan, keterbukaan, dan kecemasan yang menandakan kedekatan yang membuat hati hangat.

Aku merasa kapan pun dan di mana pun aku sedang sendiri, aku sebetulnya tidak sendiri. Dan aku menerima hal tersebut dengan suka cita. Baik sendiri maupun berdua, yang penting aku mampu menavigasi arah menjalani hari-hari dengan penerimaan dan rasa syukur.  

Dalam proses kesendirianku, ada satu hal penting yang luput. Hal yang baru aku sadari dalam perjalanan yang aku jalani sejak 2016 saat aku meninggalkan karirku di Indonesia untuk beralih menjadi backpacker di Australia adalah reaksi heran, kesal, bahkan marah dari orang-orang di sekelilingku. Ada sebagian orang terdekatku yang kurang menerima pilihan yang aku buat. Bahkan secara tidak sengaja pilihan ini membuat mereka terluka dan merasa diabaikan. Aku baru tahu saat aku fokus pada diri sendiri, persepsi mereka tentangku adalah distant, overly detached, dan emotionally unavailable. Aku merasa egois karena mementingkan perjalananku ini sehingga aku tidak menyadari ada orang-orang yang membutuhkan dukunganku. Meski pada saat itu aku pun sedang membangun ulang resiliensi diri melalui banyak pergumulan-pergumulan diri, aku meninggalkan orang-orang di sekelilingku dengan kesunyian. Dan saat mereka memutuskan untuk tidak lagi hadir dalam hidup, aku pun tidak menahan-nahan mereka. Pada saat itu memang aku terlalu fokus pada derita dan nelangsa diriku sendiri sehingga abai pada derita dan nelangsa orang-orang di sekitarku. Saat aku terlalu nyaman sendiri, aku lupa bagaimana merespon perasaan orang-orang di sekelilingku. Sejatinya berinteraksi dengan orang lain dan memahami mereka tidak bisa dilakukan dengan menyendiri. Aku sangat berterima kasih kepada sahabat-sahabatku dan orang-orang di persimpangan jalan yang menyadarkanku akan hal ini. 

Bagi yang merasa tersakiti dengan keputusanku untuk menyendiri, aku sungguh meminta maaf atas hal ini. Tak ada sedikit pun intensi untuk menyakiti.

Dan setelah banyak upaya rekonsiliasi dengan orang-orang terdekatku, akhirnya mereka bisa memahamiku dan aku pun memahami mereka. Semakin tua, aku semakin yakin bahwa komunikasi dari hati dan kejujuran diri bisa mendamaikan beberapa kepala yang isinya berbeda. This way I learn not to take things for granted.

 

Tentang Merasakan Hidup

Aku selalu percaya bahwa hidup adalah perkara siklus mengulang saja. Ada pertemuan, ada perpisahan, ada pertemuan, dan ada perpisahan lagi. Pertemuan dan perpisahan itu terlalu naif apabila dikaitkan hanya dengan kebetulan. Saat kita bertemu dengan seseorang, kita belajar dari orang tersebut: belajar hal baik yang bisa kita ingat-ingat atau belajar hal buruk yang bisa kita hindari. Saat pelajaran tersebut sudah selesai, berarti pertemuan pun berubah menjadi perpisahan. Saat kita selesai belajar di sekolah dasar, kita tentunya beranjak menuju jenjang selanjutnya. Betapa pun kita menyukai belajar di sekolah dasar.

Kesendirian dan kesepian yang aku jalani selama lima tahun belakangan ini bertransformasi menjadi kekosongan dan keutuhan. Aku agak bingung menjelaskannya, tapi ada perasaan utuh sekaligus kosong. Kadang mereka hadir bersamaan, kadang salah satu mendominasi lainnya. Kosong yang aku rasakan ini berbeda dengan hampa. Seperti sebuah nol besar yang hadir dan bermakna dalam angka, walaupun ia sering dianggap tidak ada. Ia justru ada. Mungkin dalam tulisan berikutnya, aku akan coba deskripsikan lebih baik lagi tentang hal ini.

Kekosongan ini membuatku belajar untuk merasa. Aku beberapa kali bercerita bahwa beberapa kejadian besar dalam hidupku yang berkaitan dengan duka kehilangan membuatku mati rasa. Dan dalam waktu lima tahun terakhir ini, aku bisa kembali merasakan pelan-pelan emosi yang menyenangkan dan positif. Aku bisa merasa tenang, damai, dan bahagia. Aku bisa tertawa terbahak-bahak sampai menangis terpingkal-pingkal dan sungguhlah emosi seperti itu yang membuat hidup ternyata masih layak dilayani.

Dalam tiga bulan pertama tahun 2023 ini banyak sekali yang terjadi. Ada kejadia-kejadian menyenangkan, ada pula hal yang biasa saja. Dan menutup 2022 lalu, aku sempat mengikuti Trail Run di Lawu, Borobudur Marathon, dan memperbaharui lisensi selamku menjadi advanced open water. Dan menjelang puasa Ramadhan, aku sempat mengunjungi makam kakek dan nenek. Tak ada lagi perasaan sedih atau amarah dan drama ‘kenapa aku ditinggal sendirian?’ sambil menangis di nisan kakek dan nenek. Yang ada hanya perasaan tenang dan rasa syukur pernah bisa mengenal mereka. Oh ya, aku juga sempat ziarah ke makam Tan Malaka di Kediri. Aku yang sebenarnya memiliki ketakutan dengan perpisahan dan proses berduka, ternyata bisa juga pelan-pelan meluruhkan perasaan itu dengan kebersyukuran dan penerimaan. Semua itu membuatku merasa hidup.

Aku yang awalnya (terpaksa) menerima bahwa hidup sehari-hari itu hanya bekerja untuk bertahan hidup dari satu tagihan ke tagihan lainnya, nyatanya aku masih bisa merasakan hidup, kebahagiaan, dan cinta. Kemampuan untuk merasakan itu adalah anugerah terbesar bagiku. Jadi, aku masih tetap bersyukur dengan segala yang aku alami beberapa bulan ke belakang ini.

Tahun 2020 aku pernah menulis catatan kecil ini di puncak Gunung Sunda – yang selalu aku ukir dalam hati:

Aku mensyukuri tiap luka yang menggores jiwa dan ragaku sama halnya dengan aku mensyukuri suka cita yang mengikuti langkahku. Kesempatan untuk bisa mencicipi suka cita dalam kehidupan yang sementara dan sekejap ini setara dengan derita, patah hati, dan kebingungan yang sepaket datang dalam kehidupan ini.

 

Semoga apapun yang kita alami saat ini bisa kita terima dengan lapang dada.


Lawu, November 2022 

 

Nusa Penida, Desember 2022

 

 

Comments

  1. Semoga apapun yang kita alami saat ini bisa kita terima dengan lapang dada.

    Amin amin amin. Semoga.

    ReplyDelete

Post a Comment