Tentang 34

Ditemani dua anjing gunung 


Senin, 10 April lalu, menggenapkan umurku menjadi 34. Aku yang seonggok daging yang berjalan di muka bumi dan menghabiskan oksigen ini masih melajang, belum menikah, belum memiliki standar sukses yang ditentukan masyarakat jamak, dan belum menggapai mimpinya (yang entah apa)Namun begitu, aku tetap merasa bahagia menginjak usiaku yang ke-34 ini.

Jika kamu masih mengikuti tulisanku yang lampau, kamu mungkin sadar bahwa aku bukan orang yang terobsesi dengan selebrasi ulang tahun dan pencapaian besar/absolut/luhur dalam hidup. Begitu pula kali ini. Tak perlu ada kue mahal dengan lilin di atasnya (walaupun ibu dan adikku sempat membelikanku donat dengan lilin gemuk  yang sering dinyalakan saat mati lampu di rumah – dan aku sangat berterima kasih karena aku menjadi bagian dari hidup mereka), tak perlu ada ucapan selamat (walaupun aku tahu beberapa di antara kamu sempat mengirim pesan subuh buta dan pagi hari hanya untuk mengingatkanku atas 10 April – dan aku sangat mengapresiasi jalan kita yang bersilangan), tak perlu ada syarat agar aku ingat bahwa 10 April, 34 tahun lalu, sama-sama saat sedang Ramadan, aku lahir ke dunia ini.

Dalam keseharian, kontemplasi dan refleksi yang menjadi bagian favorit keseharianku dalam memaknai hidup yang tersemat pula dalam momentum ulang tahun ini. Tak ada persiapan apa pun, aku pergi memanfaatkan waktu luangku untuk berkemah sendirian di Gunung Puntang. Dalam perjalanan, pikiran-pikiranku dan perasaan-perasaanku terburai satu persatu. Tak lama kemudian, saat aku menginjakkan kaki di Gunung Puntang, suara alam berorkestrasi dengan suara sunyi yang perlahan menenangkan hatiku. Gradasi warna hijau membuat mataku damai. Hari itu masih puasa Ramadan, tak ada pengunjung selain aku. Aku menutup mata dan dalam momen detik di antara pijakan kakiku di tanah basah dan bentangan alam yang begitu megah, aku merasa terhubung. Tidak hanya dengan sekelilingku, tetapi juga dengan diriku sendiri. Aku diam. Entah berapa lama. Membiarkan angin gunung keluar masuk pori-pori dalam tubuhku. Merasakan kembang-kempis yang ada di dadaku. Membiarkan pikiran-pikiranku yang berkecamuk gaduh menjadi bisu dan hening.

Merasa cukup, aku segera membongkar ranselku dan mulai mendirikan tenda. Aku kira aku sendirian, ternyata ada suara-suara serangga, desir angin, aliran sungai, dan dua anjing gunung yang menemaniku sampai pagi hari. Aku tidak sendirian. Momen tersebut aku gunakan untuk melamun, memasak (dan sempat lupa bawa kompor), dan menelusuri pengalaman-pengalaman yang lalu.

Dengan standar kapitalisme dan materialisme, mungkin saat ini aku belum bisa dianggap cukup. Walau demikian, aku tetap merasa cukup. Aku berpikir kebahagiaan tidak selalu bisa diukur oleh materi. Walaupun aku tahu ini terkesan meromantisasi kemiskinan struktural, aku hanya ingin menekankan bahwa untuk bahagia kita tidak perlu memiliki sesuatu terlebih dahulu. Bagiku, cukup untuk bertahan dan hidup menjalani sehari-hari dan cukup untuk memejamkan mata dan membuka mata kala malam dan pagi berganti rupa, dan menyaksikan orang-orang terdekatku bahagia merupakan bagian kebahagiaan inheren dalam diriku. Aku juga mengenal orang-orang di luar sana yang bahagia tanpa menautkan diri mereka dengan materialisme.

Terkadang bahagia itu muncul dalam diri melalui penyadaran dan pengalaman hal-hal yang tampak sederhana. Dalam tubuh yang merenta ini, aku tidak selalu merasa kuat, tetapi badan dan jiwaku selalu giat aku rawat. Di tengah perjalanan naik dan turun kehidupan ini, aku tidak setiap saat merasa tangguh, tapi aku selalu melewati kesulitan-kesulitan yang aku hadapi. Ada kalanya beberapa episode dalam hidup berhasil meluluhlantakkanku, tapi aku belajar tetap tabah. Aku belajar bangkit. Aku belajar, belajar ulang, dan bahkan membongkar ajar (unlearn).

Kegagalan menjadi bayanganku sama seperti keberhasilan yang menemani perjalananku saat ini. Duka, kecewa, kehilangan, penderitaan, dan kesedihan yang pernah aku pertanyakan, menjadi bagian yang aku terima sebagai warna-warni dalam perjalanan ini. Mimpi yang berubah dan tak berbuah menjadi penerimaan yang tak lagi aku ratapi karena apa pun yang terjadi aku masih diberikan rasa bersyukur dalam kehidupan ini. 

Aku mencoba mengingat kembali pelajaran-pelajaran yang pernah aku alami sebagai pengingat diri: emosi yang sulit dicerna, episode saat aku tersungkur pada dasar hidupku (dan tak tahu bagaimana caranya bangkit dari dasar tersebut), dan rasa syukur yang lamat-lamat tumbuh. Aku belajar duduk bersama emosi, pengalaman, dan perasaan yang membuatku tak nyaman (atau bahkan traumatis) dan menerimanya sebagai bagian diri dan kehidupan ini.

Satu hal yang aku terus ingat: pengalaman buruk tidak mendefinisikan keseluruhan diriku. Pengalaman pahit tidak membuatku menjadi pahit. Aku masih punya pilihan untuk keluar dari kepahitan tersebut.

Dari tahun 2012 – 2019 aku mengalami dan mendalami pengalaman-pengalaman soliter dalam diri. Perjalanan mengerjakan tesis yang lebih ke spiritual ketimbang akademik, hubungan interpersonal dan intrapersonal yang runyam, petualangan untuk belajar ke negara-negara asing, melancong menghadapi sifat-sifat manusia lain yang membuat tak nyaman, menyelami diri sendiri, dan menumbuhkan romantisme dan optisime kehidupan, serta menemukan ketenangan dalam nihilisme dan pesimisme. Saat sedang sendiri atau sedang tidak sendiri namun merasa sepi, aku belajar mendedah lapisan-lapisan pikiran sampai akhirnya aku merasa sebetulnya kita bisa memilih dalam menjadi diri sendiri: menjadi hanya lapisan-lapisan tanpa inti, atau menjadi inti dari lapisan-lapisan. Tak ada yang bisa menjawab dan mendikte pilihan dan keputusan kita dalam memandang hidup. Kita bisa menggunakan beragam kacamata dalam memandang hidup ini. Atau kita juga bisa mencoba melepas segala kacamata yang selama ini bertengger di batang hidung kita dan melihat dunia apa adanya. Lagi-lagi ini adalah pilihan yang bisa kita latih untuk sadari.

Dari segala yang temporer, waktu dan ruang adalah faktor tetap yang menemani diriku bertumbuh (baca: menua). Setidaknya menurutku seperti itu. Saat aku sedang melancong di Australia, aku pernah berkenalan dengan seorang Yogi di New Castle yang memberikan beberapa pandangan hidupnya. Salah satunya, waktu dan ruang adalah ilusi semata. Aku sempat tak mengerti. Dari segala ilusi seperti harta, cinta, rasa, dan suka-cita, ia memilih waktu dan ruang yang menurutku bentuknya justru paling nyata dan paling hadir. Menurutnya waktu dan ruang adalah konsep yang diciptakan manusia untuk bisa berjalan teratur dan berarah. Satu detik yang kita alami sekarang bergegas menjadi satu detik masa lalu dan satu detik masa depan yang kita harapkan berubah menjadi satu detik masa kini. Begitu pula dengan umur. Tiap detik secara fisik, kita berubah. Berekspektasi segala sesuatu menjadi tetap dan sama adalah hal naif yang menjadi obsesi kita semua. Saat aku bercerita kepada temanku yang seorang fisikawan, ia sangat tidak setuju dengan hal tersebut. Menurutnya ruang dan waktu adalah nyata, bukan persepsi. Ia adalah ukuran kita tumbuh dan bergerak. Lagi-lagi tiap orang memiliki pandangan hidupnya masing-masing. Mungkin John Locke benar dalam hal ini. Kita terlahir sebagai tabula rasa yang mendapatkan pandangan hidup melalui pengalaman dan persepsi indrawi. Tak heran pandangan seseorang bisa berbeda satu sama lain. 

Mengenai ruang dan waktu, umur 34 membuatku semakin tersadar bahwa aku tak berdaya di hadapan keduanya. Tahu-tahu aku sudah 34. Padahal rasanya baru kemarin aku duduk di Green Park Darlinghurst sedang meratapi hidup tanpa air mata. Sebagai manusia dan makhluk sosial (dan aku yang suka merasa sok paling menderita ini), mengalami hal-hal pahit yang mungkin traumatis membuatku secara responsif dan reaktif menjauhi kerumunan dan orang-orang. Tapi aku belajar bahwa kekhawatiran, ketidaknyamanan, ketakutan, kesulitan semua bisa ditabung menjadi satu untuk dikembalikan pada asalnya: kefanaan dan kesementaraan. Aku pernah berkali-kali menyoroti dalam tulisanku yang lalu bahwa yang aku alami di usia dua puluhan membuatku menjadi pribadi yang pahit dalam memandang hidup, mati rasa, teralienasi, dan merasa jauh secara emosional dari orang-orang terdekat. Tidak hanya tidak mau (atau tidak bisa) merasakan kebahagiaan, aku juga  tidak mau (atau tidak bisa) merasakan kesedihan. Dengan memblok semua perasaan itu, aku merasa bisa merasakan kedamaian, walau akhirnya aku sadar ternyata kedamaian tersebut menjadi semu. Seiring berjalannya waktu aku pelan-pelan bisa lagi merasakan emosi yang membuatku nyaman dan tidak nyaman. Melepaskan dari keterlekatan dan melekatkan dari keterlepasan. Aku belajar menjadi begitu begitu saja tanpa menolak yang begitu begitu saja. Dan kesempatan ini adalah salah satu momen yang paling aku syukuri sepanjang hidupku.

Semua pengalaman yang aku internalisasi, baik-buruk maupun manis-pahit, aku pelajari sebagai fondasi untuk menjadi diri sendiri. Aku belajar untuk membongkar pengalaman-pengalaman yang membuatku menjadi difficult. Dengan keterbatasan diri ini, aku tetap percaya banyak hal. Salah satunya adalah bahwa semua yang terjadi dalam hidup sudah sesuai dengan skenario terbaik Sang Pencipta dan tak ada satu pun yang sia-sia. Aku juga menyadari bahwa pengakuan bahwa diri ini lemah ternyata yang menjadi salah satu penguatku dalam menjalani hidup dan menerima absurditasnya. Sebuah paradoks yang begitu indah: tidak berpura-pura kuat, tidak berpura-pura bahagia. Aku jadi teringat Death By Black Hole yang ditulis ahli astrofisika Neil deGrasse Tyson. Pada halaman 47 ia menulis,

“What are the lessons to be learned from this journey of the mind? That humans are emotionally fragile, perennially gullible, hopelessly ignorant masters of an insignificantly small speck in the cosmos.”

Menyadari kerapuhan diri, bukan berarti terlena dalam ketidakberdayaan. Aku juga memahat dalam hati tulisan Soe Hok Gie pada Catatan Seorang Demonstran halaman 91,

“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: 'dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan'. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.”

Ada momen menyakitkan dalam hidup, tapi ada juga momen yang membuat kita merasa hidup dan merasa bersyukur atas kurang dan lebihnya hidup ini. Semoga dalam segala suka-duka perjalanan hidup kita ini, kita bisa tetap menemukan dan memakna bahwa hidup yang ada apa adanya ini layak dijalani. Setidaknya pada usiaku ini, aku masih bertekad menjadi orang baik dan bermanfaat tidak hanya bagi diriku sendiri tetapi juga untuk orang-orang sekitarku. Itu saja lebih dari cukup bagiku.

Selamat ulang tahun, Dip. Selamat ulang tahun juga R.M.P Sostrokartono. Selamat ulang tahun juga bagi teman-teman yang memaknainya.


Bocah ulang tahun

Comments

Post a Comment