Tentang Berbahagia

Solo-roadtrip Bandung - Banyuwangi

Halo, lama tak jumpa!

Tiga bulan pertama sudah kita lalui mengisi 2024 semoga kita semua dalam kondisi baik. Oh ya, aku menyempatkan menulis selesai salat Tarawih di Istiqlal. Senang rasanya bisa berkunjung lagi ke sini. Selamat menunaikan ibadah Ramadan bagi teman-teman yang menjalankan. Semoga lancar dan membawa banyak berkah.

Sejak tulisan terakhir, ada beberapa pengalaman yang ingin aku bagikan. Salah satunya tentang upaya merekonstruksi definisi kebahagiaan diri. Ada masa saat aku muda dan penuh tenaga dan berambisi dengan pemenuhan pencapaian dan resolusi-resolusi hidup yang kebanyakan materialistis seperti punya rumah, mobil, sekolah, menikah, dsb. Seiring waktu, perjalanan hidup melunakkan bagian-bagian keras dalam diriku layaknya tetesan air yang melubangi batuan. Aku bertemu orang-orang yang memberikan pelajaranku baik langsung maupun tidak; sadar maupun tidak. Aku juga mengalami peristiwa-peristiwa yang mendorongku untuk belajar menerima apa yang aku tak punya selayaknya apa yang aku punya. Aku tidak tahu definisi kebahagiaanmu dan itu sepenuhnya otoritasmu, namun bagiku, esensi kebahagiaan sepertinya terletak bukan pada kekekalannya, melainkan kesementaraannya. Jika bahagia kekal, maka manusia akan bosan dan mulai mencari kegiatan untuk menyabotase kebahagiaannya itu. Mungkin ini sudah tercatat dalam genetik kita semenjak tragedi buah Khuldi. Dari kekekalan langit, kita bertumbuh menjadi manusia yang begitu rapuh dan terikat ruang dan waktu. Namun begitu, kesementaraan hidup itulah yang membuat aku belajar mengapresiasi hidup ini. Hari ini ada, esok tiada.

Kesementaraan membuat 2023 berlalu begitu cepat namun lambat, padat namun berjeda, berkesan namun biasa saja, menyenangkan sekaligus memicu air mata, menjungkirbalikkan sekaligus meninabobokan. Semuanya seperti sebuah pengulangan pelajaran paradoks. Dari stasiun ke bandara ke pelabuhan ke terminal. Dari laut menuju gunung menuju ruang-ruang kecil tengah kota. Dari lelapnya tidur di kasur empuk hingga kerasnya ubin masjid dini hari. Dari logika dan kalkulasi risiko hingga mengikuti intuisi yang hadir saat sunyi.

Anggrek Liar di gunung Raung 

Jika kita terbiasa sendiri, kita mengetahui bahwa hanya kepada Sang Pencipta-lah kita bisa sepenuhnya berharap dan menggantungkan diri. Mendaki gunung sendirian menjadi bagian dari pengalamanku melancong. Aku pernah mendaki sendirian beberapa gunung di sekitar Bandung, namun kali ini mendaki gunung yang agak tinggi jauh dari rumah menjadi pengalaman berbeda. Mungkin untuk sebagian pendaki, ini hal yang biasa. Bagiku, ini adalah pengalaman yang sangat personal. Ada tiga gunung yang aku sendirian kunjungi tahun 2023: Cikuray, Argopuro, dan Raung yang tulisannya (seperti biasa) hanya bertengger pada jurnal pribadiku.

Aku belajar memahami kapasitas diri dengan mendaki Cikuray sendirian. Saat itu sehabis kerja, aku menyetir ke Garut dan bertemu kang Wawan, salah satu warga yang sering dititipkan kendaraan pendaki. Pendakian ini terasa khusyuk karena sejak mendaki sampai tiba di puncak hanya ada aku sendiri. Walau pada akhirnya, ada dua orang pendaki/mahasiswa yang ikut aku turun dan tersesat berjam-jam (ternyata kami turun lewat jalur evakuasi yang hanya butuh waktu dua jam, tapi kami tersesat di kebun warga yang jaraknya beberapa punggung bukit dari Pemancar di Cikuray). Pengalaman ini cukup komedi karena saat sendiri aku hanya bertanggung jawab untuk diri sendiri, sementara saat bersama (orang yang lebih muda) otomatis aku yang harus bertanggung jawab. Ada momen kami kehabisan air dan harus minum air dari pematang sawah. Aku bilang kepada mereka, “Ini airnya bersih kok (mudah-mudahan, tambahku dalam hati).” Ada momen aku melihat salah satu di antara mereka melempar sepatu gunung mereka dengan kesal karena tidak kunjung tiba di Pemancar Cikuray yang sudah terlihat di depan mata. Jangan khawatir, aku sudah meminta maaf dan kami berteman di Instagram.

Fajar di gunung Cikuray

Argopuro merupakan gunung ke dua yang aku daki tahun lalu dan trek terpanjang di pulau Jawa. Aku berangkat naik kereta tiga hari setelah lebaran 2023. Selesai menunaikan tugas sebagai anak yang mengantar, menemani, dan menjemput keluarga pulang kampung, aku tanpa berpikir panjang langsung membeli tiket kereta ke Surabaya untuk menuju Situbondo. Ternyata di daerah Situbondo sedang hujan besar, kabut, dan badai. Aku tiba di pos registrasi sore hari dan memohon untuk naik sendirian dengan dalih bahwa Argopuro bisa didaki sendirian. Walaupun agak khawatir, akhirnya petugas tersebut membolehkanku naik dengan syarat harus naik ojek menuju Pos bayangan 1. Tiba di Pos 1 sudah magrib. Aku salat dahulu dan memulai haiking ke Pos 2 yang ditempuh dalam waktu 3 jam. Setelah mendirikan tenda, komporku hanya bertahan 15 menit karena selangnya tersumbat air hujan yang membekukan. Setelah mencoba memperbaikinya sendiri yang berakhir membakar mesh bagian dalam tendaku, aku menutup malam dengan menghela napas sangat panjang. Setengah tertawa, setengah khawatir, aku bilang kepada diri sendiri masih beruntung aku sudah menyiapkan makanan kering siap makan. Pagi harinya aku tidak menyerah untuk menghidupkan kembali komporku. Aku berhasil membuat mi rebus setengah matang. Karena masih ada 2 malam yang harus aku lalui, aku mulai berpikir menyisihkan makanan kering siap makan yang agar aku makan pelan-pelan. Saat sudah pasrah tidak akan menyantap masakan hangat, Beruntung dalam perjalanan ini aku bertemu sekelompok pendaki yang menawarkan kompor mereka (terima kasih Mas Jati),

“Bang, makan sini.” Balasku Mas Jati.

“Udah, bang.” Jawabku singkat.

“Bawa kompor kan? Tanyanya singkat.

“Bawa Bang, cuma kemarin beku kena hujan. Gak bisa dipakai.” Jawabku agar tidak terlihat terlalu sengsara.

“Walah. Sini bareng aja. Pakai kompor ini. Kami udah beres masak.”



Setelah Badai di Gunung Argopuro

Kami berpisah di danau taman hidup setelah bersama dua malam. Agak melankolis buatku, karena seperti omongan Rumi bahwa kita ini adalah pelancong sementara di kehidupan ini yang sedang transit menuju keabadian. Aku sempat berefleksi tentang orang-orang yang pernah berpapasan jalan di hidup dan mungkin keberadaan kami saling memberikan makna dan pelajaran. Di Argopuro aku juga sempat bertemu ayam dan merak hutan yang sangat cantik dan anggun. Lanskap alam yang membuatku tak habis berzikir. Perjalanan ini mengajariku untuk lebih bisa wawas diri dan rendah hati sebab rupanya banyak hal di luar kendala kita ada pada takdir-Nya. 

Setelah menyetir 1200 KM 

Gunung ke tiga adalah Raung yang menutup tahun 2023. Aku pertama kali menyetir sendirian dari Bandung menuju Banyuwangi selama 14 jam. Ada banyak kenangan-kenangan saat menyetir ditemani camilan ringan, kopi botol, serta lagu-lagu Panji Sakti dan Tulus. Sebelumnya aku hanya pernah roadtrip di Darwin dan Bali, tapi tidak pernah menyetir selama itu. Saat letih, aku menepi ke area rehat dan tidur di halaman masjid. Tiba di Banyuwangi, aku merasa bangga kepada diriku sendiri. Terlebih setelah berhasil naik Gunung Raung yang cantik. Aku bertemu pohon Cemara yang besar sekali batangnya, anggrek liar yang menawan, serta bebatuan kaldera oranye khas  gunung aktif. Aku pertama kali mendengar Oh ya, Gunung Raung tidak bisa didaki sendirian, jadi kita harus bergabung dengan grup pendaki lainnya..


Bermain bersama manta

Aku sempat juga mengunjungi lautan. Aku akhirnya mencoba menyelam bebas di Nusa Penida dan bermain bersama manta di dalam air. Bau laut dan debur ombak, hamparan langit biru dan awan yang berarak, serta degup jantung menyatu bersama kepingan-kepingan kenangan dan kebahagiaan yang baru. Ini kali kedua aku mengunjungi Nusa Penida setelah sebelumnya mengambil sertifikasi selam lanjutan. Aku sempat mengeksplorasi pulau dengan cuaca yang begitu cerah dan terang.

Di antara langkah-langkah yang aku lalui bersama deru napas dan suara alam, maupun pertemuan-pertemuan dengan orang-orang, aku mengapresiasi betapa kompleks sekaligus sederhana tubuh dan pikiran manusia. Melalui perjalanan, seperti yang Ralph Waldo Emerson pernah ungkap dalam Society and Solitude, manusia berjalan tanpa tergesa dan juga tanpa berhenti sehingga ada jiwanya yang maju terus dari awal perjalanannya sampai akhir untuk menyerap tiap kemampuan, pikiran, emosi, dan perasaan yang menjadi bagian hakiki dirinya. Perjalanan-perjalanan ini, baik dekat maupun jauh, sebentar maupun lama, menjadi akumulasi siapa kita sebenarnya. Kesendirian, perjalanan, dan alam menyediakan ruang dan waktu yang tepat untuk berkontemplasi dan berefleksi tentang diri sendiri (dan orang lain).

Puncak gunung Raung

Aku bersyukur 2023 membawaku merasakan kedalaman dalam denyut nadi dan mata lautan yang membawaku singgah sebelum pulang. Butuh waktu lama dan pengalaman yang mungkin tidak semuanya menyenangkan untuk menerima bahwa kebahagiaan terletak pada menjalani hidup itu sendiri. Dan pelajaran paling penting yang terpatri di memori intiku adalah secercah harapan untuk bisa menjalani hidup ini sebaik mungkin dan sepenuh mungkin tanpa harus tenggelam dalam langkah orang-orang kebanyakan. Jika bahagia memang sementara, mari kita regup tanpa sisa. Dan kita berdoa semoga ada cukup waktu.

Semoga.

 


Comments