Menemukan Rumah


Menemukan Rumah


Hiroshi: Somehow, i feel tired.
Kudo Sensei: About what?
Hiroshi: Everything is too tiresome even living.

Kali ini saya akan membahas mengenai film terakhir yang saya tonton. Sebenarnya film ini udah saya tonton satu tahun ke belakang namun saat itu [thanks to my ignorance] saya sering neken tombol fast forward cari scenes yang bagusnya aja. Alhasil makna dan pesan dari filmnya pun ga nguap seketika selesai menonton. Tapi tadi saya tonton lagi film ini dengan atensi penuh memenuhi keisengan saya sebelum tidur. Judul filmnya adalah The Homeless Student atau HĂ´muresu ChĂ»gakusei. Yap, ini adalah film  Jepang besutan sutradara Tomoyuki Furumaya.


Film yang berdurasi hampir dua jam tepatnya 116 menit ini benar-benar membuat mata saya berair dalam beberapa adegannya. Ceritanya sendiri mengisahkan seorang anak SMP berusia empatbelas tahun bernama Hiroshi (diperankan Teppei Koike) bersama kedua kakaknya, Kenichi (Akihiro Nishino) dan Yukiko (diperankan Chizuru Ikewaki) yang harus berjuang sendiri untuk membangun kembali cita-cita, mimpi, dan masa depan mereka. Suatu hari setelah hari terakhir sekolah menyambut liburan musim panas, Hiroshi pulang dengan mata membelalak melihat perabotan rumahnya sudah ada di luar dengan pintu rumah (rumah susun) yang sudah disegel dan dikunci. Hiroshi mencoba masuk ke dalam rumah namun usahanya sia-sia karena kuncinya telah diganti. Saat Hiroshi kebingungan, Yukiko datang dengan muka yang tak kalah bingung. Yukiko lebih ekspresif, tertawa sambil berkata, "What's wrong with our house?"  Tapi melihat raut wajah Hiroshi, Yukiko sadar bahwa ia tidak dalam situasi bercanda. Ketika mereka menunggu sebuah penjelasan apa yang sebenarnya terjadi, kakak mereka, Kenichi datang dan juga kebingungan melihat yang terjadi. Mereka bertiga bergabung dalam kebingungan dan menunggu sang ayah untuk datang menjelaskan. Tak lama setelah itu ayah mereka datang, menjelaskan bahwa rumah mereka telah dijual dan kini mereka harus hidup masing-masing. Ayah berkata, "I know it's gonna be hard but let each work hard and live our lives. Now, dismissed!" Ia pun lantas mengayuh sepeda dan pergi begitu saja meninggalkan mereka setelah berkata dengan dingin dan datar.

Kenichi, Yikoko, dan Hiroshi tercengang dan bergeming. Mereka tahu bahwa kini mereka sudah tidak memiliki rumah untuk tinggal, rumah dalam artian harfiah. Namun yang membingungkan mereka adalah mereka tidak tahu harus tinggal di mana karena ayah telah berhutang banyak kepada semua saudara dan relatif sehingga sulit untuk mereka meminta tingga bersama salah satunyal. Saat Kenichi meyakinkan kedua adiknya untuk tetap tinggal bersama, Hiroshi tiba-tiba memutuskan untuk tinggal sendiri. Ia berlari sambil berkata bahwa ia akan tinggal bersama temannya. Ia meminta Kenichi dan Yukiko untuk tidak khawatir.

Saat itulah perjuangan mereka khususnya Hiroshi dimulai. 

Film yang berdasarkan novel autobiografi Hiroshi Tamura ini secara serius telah membawa saya kepada simpati yang begitu besar. Film yang bergenre Drama ini benar-benar cocok ditonton bersama keluarga. Perjuangan Hiroshi yang buang air besar di pojok taman, makan rerumputan dan kardus, serta mandi di tengah guyuran hujan membuat hati saya berdegup kencang dan membuat saya belajar untuk tidak menyerah. Betapa tidak, banyak dari kita yang menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberi namun menyerah pada kemegahan dan kemewahan modernisasi. Klise memang.

Dari segi cerita, plot film ini tidak gampang ditebak. Ditambah lagi pembawaan karakter Hiroshi yang  kuat sebagai seorang siswa dan juga anak yang rindu pada ibunya membuat mata saya berkaca-kaca berulang-ulang. Seperti saat Hiroshi yang harus tinggal di sebuah perosotan di taman dekat rumahnya dan harus mengalami penolakan dari anak-anak di sekitarnya. Dengan plot campuran, saya juga merasuk ke dalam perasaan Hiroshi. Flashback yang Hiroshi alami saat ibunya meninggal dan kenangan yang meninggalkan luka dan kesedihan yang mendalam baginya merupakan salah satu alasan mengapa Hiroshi tidak mau menyusahkan kedua kakaknya. So he thought he had better off alone. Selain itu tokoh Yukiko dan Kenichi digambarkan sebagai kakak yang bertanggungjawab dan juga mengayomi. Meski mereka sadar bahwa mereka tidak bisa membahagiakan satu sama lain namun mereka berusaha untuk bahagia bersama.

Film yang diproduksi pada tahun 2008 ini berhasil membawa saya melihat realita yang terjadi di Jepang mengenai homelessness. Terlebih lagi potret seorang pelajar yang masih belia harus menghadapi kenyataan bahwa i am surviving this world alone. Film ini merupakan refleksi keadaan ekonomi masyarakat Jepang saat itu yang terkena dampak krisis ekonomi global yang menyebabkan banyak keluarga harus kehilangan rumah mereka dan berdampak sangat buruk bagi anak-anak mereka. Dalam film ini digambarkan jelas proses kedewasaan Hiroshi yang menghadapi kenyataan dengan melanjutkan hidup. Pemuda Jepang seperti yang direpresentasikan oleh Hiroshi menjadi personifikasi bahwa sebenarnya pemuda (Jepang) memang harus bisa mandiri menghadapi segala keadaan. Saya pernah membaca sebuah artikel kebudayaan masyarakat Jepang yang menyatakan bahwa anak lelaki berusia 17 tahun di Jepang memang sudah harus meninggalkan rumah dan hidup mandiri. Nah di Indonesia? Yang nikah aja masih banyak  diayomi orang tua. Tekanan sosial dan ekonomi di Jepang memang tinggi namun hal itu dibarengi dengan mental achievement mereka yang juga tinggi disertai karakter yang kuat. Tak heran juga jika kasus bunuh diri juga merebak tiap tahun di sana, harakiri. Selain itu tidak seperti apa yang selama ini saya pikirkan bahwa masyarakat Jepang itu individualis sekali, dalam film ini digambarkan bahwa masyarakat atau komunitas sosial di Jepang berperan penting untuk merekatkan kepekaan sosial dan kesadaran akan menolong sesama.

Film ini juga tidak menggurui kita dengan jadilah ayah yang bertanggung jawab sebagai jawaban dari mengapa ayah pergi begitu saja. Selain itu tidak diceritakan juga anak-anaknya memiliki dendam kesumat terhadap ayahnya yang telah menelantarkan mereka. Inilah yang saya sukai. Mereka ikhlas menerima takdir mereka namun mereka masih merasa bahagia seperti saat Yukiko berkata bahwa, "All these things, happened to us, make me happy."  

Hiroshi juga menampilkan karakter pemuda yang rapuh dan juga putus asa. Hal ini tergambar jelas di dalam sebuah dialog antara Hiroshi dengan gurunya Kudo Sensei  yang saya sukai:





Kudo Sensei: Me too. I also feel tired. When i go to sleep, i think it's fine if my eyes remain closed then i dont have to open them again. This year, i'm 28 years old. I already feel so at my age. So i think i can understand Tamura's Kun tiredness. I really like Tamura Kun. Aren't you the one who alwyas makes everyone smile?

Hiroshi: That's not big deal
Kudo Sensei: Maybe you haven't noticed but everyone has received lots of power from you. Then about the rest by yourself.



Akhirnya penantian film ini yang diam duduk manis menunggu dimainkan di mediaplayer telah usai. Saya telah menginternalisasi makna film ini. Semoga anda juga bisa memahami dan juga menyesapi apa sebenarnya kebahagiaan itu. Saya juga menangkap apa sebenarnya home itu. Film ini menunjukan bahwa menyerah bukanlah bentuk pasrah. Setiap masalah didesain dengan alat pemecahnya. Masalah  juga membuat kita bisa menjadi dekat dengan keluarga kita.

Penilaian saya empat bintang dari lima!

Comments

  1. Looks like a good movie.. where can I get the CD?

    ReplyDelete
  2. hi ishmayana. indeed, the drama is ardently enough and the characters are deeply built. you can get it at your fave cd stores nearby, if you live in Bandung, perhaps you can find it in Chelsea dvd or you can simply explore Kota Kembang. goodluck!

    ReplyDelete
  3. Thanks for the info... I will look for it (just need to look for the spare time first now.. )

    ReplyDelete

Post a Comment