The Sugarush

Sabtu minggu lalu, saya janjian ketemu sama the GBers. Temen-temen yang udah dua tahun satu kelas waktu SMA. Meskipun satu kota karena merasa tiap dirinya itu orang sibuk kami jadi jarang sekali berkumpul. Namun begitulah sahabat, sekalinya ketemu banyak cerita terderai dari mulut masing-masing. Saya bersama founding fathers GBers memutuskan untuk bertemu di Sugarush Braga pukul dua siang. Saya ngsms mereka kalau saya datang telat karena ada beberapa hal yang mesti saya kerjakan. Pukul tiga lebih saya bertemu mereka di meja empat belas dengan piring dan gelas yang sudah hampir kosong.

Sebelumnya, saya lagi ga mood buat keluar rumah. Akhir minggu kemarin emang saya rencanain untuk beermalas-malas ria. Tiduran di ruang keluarga sambil nonton sinetron yang ga mutu ditemani secangkir hot milked green tea atau selonjoran di kamar sambil beresin novel diiringi alunan lagu-lagu klasik bisa jadi sebuah repose ringan di akhir minggu. Dan sorenya saya tutup dengan jogging atau renang sampai setengah pingsan. That will be simply great. Tapi sjakan GBers untuk bertemu sebenarnya sulit ditepis. Betapa saya rindu mereka. Teman sedari SMA yang sudah melalui suka dan duka bersama dan saya, salah satu sahabat mereka, menolak untuk bertemu karena saya sedang dalam my sorry mood? Ah, betapa jahatnya saya.

Setelah beres urusan, saya langsung cabut ke Braga. Di Sugarush, Fitri, Reza, dan Gita udah menghabiskan sepiring appetizer dan dessert. Saya nampak bersalah membuat mereka menunggu lama tapi ya mereka ngerti kenapa saya (sering) datang telat. Dan karena saya juga tidak terlalu lapar, saya hanya memesan Raisin Choco (Rp. 16K). Setelah ngobrol epilog lima belas menit, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Waffel yang kering dan renyah bener-bener pas digabung sama es krim coklat ditambah saos coklat dan taburan kismisnya. Waffelnya tidak terlalu manis jadi pencocolan potongan waffel ke dalam lelehan es krim coklat memberikan manis yang ga giung.

Delicious Raisin Choco

Setelah beres melumat Raisin Choco, Gitapun tertarik mesen Rainbow Cakee yang terkenal itu (lupa berapa harganya):

tempting Rainbow Cake

The Sugarush emang enak dijadiin tempat ngobrol sama temen-temen tapi kurang cocok kalo dipake buat ngafe sendiri karena ruangannya agak ribut. Eksterior dan interior plus pencahayaan lampunya memang didesain untuk bersosialisasi tanpa harus berkontemplasi yang berat-berat.

Sambil makan, kami pun ngobrol. Kami banyak ngobrol sana sini tentang hidup yang begitu berbeda dari masa-masa SMA. Si A yang sudah menikah, diikuti si B dan si C. Cerita patah hati, jatuh cinta, the in-between, dan kami benar-benar menikmati malam minggu itu. Setelah dari Braga, kami memutuskan untuk nongkrong sambil makan okonomiyaki di kedang Ling-Ling Sultan Agung tapi sebelumnya Gita dan Fitri nongkrong dulu di Wendy's menunggu saya dan Reza yang pergi sholat. Selesai sholat, kamipun menemui mereka yang sedang nongkorng di Wendy's dan akhirnya melahap eskrim dan mashed potato

Saya suka heran, kami jarang ketemuan namun tetep seperti sahabat yang masih satu kelas satu sekolah.
Dan menyadari hal itu, seperti itulah kami, sahabat kontemporer yang bertemu kilat tanpa karat.

Comments

  1. itulah yang namanya persahabatan berkualitas. tetap terjaga sekalipun jarang bertemu... benar kata pepata: "Pacar boleh datang dan pergi, tapi sahabat sejati pasti akan ada selamanya".

    ReplyDelete
  2. kalo lo GBers, kalo gw namanya hepipapimami... sekarang udah jarang banget ketemu, karena kesibukan sebagai dokter di tempat masing-masing. tapi sekalinya ketemu, kayak banyak bahan cerita yang bisa diomongi tanpa jeda... bermula dari hobi hingga menjadi suatu persahabatan

    ReplyDelete

Post a Comment