Potret Monolog

Minggu ini beneran minggu yang hectic buat saya. Bukannya saya ga terbiasa dengan kesibukan tapi saya enggak suka spontanitas-an. Being spontaneous is not me. Meski pada dasarnya saya impulsif, tapi menyangkut profesionalisme menurut saya preparasi adalah sesuatu yang penting. 

Enough with the complaints, Selasa lalu sepulang dari kampus menuju kantor, saya menemukan kejadian yang menarik di bis. Bis damri yang beroperasi di Bandung dan sekitarnya pasti ramai oleh pengamen, pedagang kaki lima, penjual kroan, atau peminta-minta. Nah kali ini saya ga ngeliat kesemuanya itu tapi saya negliat seseorang sedang bermonolog. Sebelumnya saya pernah liat ada orang baca al-qur'an dengan artikulasi dipaksakan dan tajwid yang berantakan di dalam bis yang pada akhirnya dia minta receh sebagaimana pengamen beres nyanyi. Yah, we live in a messed up world. Nah monolog yang dibawa orang itu agak mencuri perhatian saya. Monolognya berisi. Kaya orasi. Ngomongin BBM, incumbent, potret kemiskinan, ketidakadilan, ketimpangan sosial  dan sebagainya. Ada kalimat yang menyentuh, "Oh....Ibu pertiwi dilukai oleh anaknya sendiri. Korupsi di birokrasi." 

pake topi, rambutnya gondrong
Saya pikir sebagian besar penumpang gak merhatiin isi monolognya. Bisa dilihat dari segelintir orang yang ngasih recehannya. Mungkin lebih asik buat mereka denger lagu-lagu picisan daripada denger monolog yang malah asing ditelinga mereka. Actually, it has been twice. Pertama, dulu banget waktu tahun pertama kuliah, saya lihat orang yang berbeda baca puisi di dalam bis. Bacain puisinya Chairil Anwar sama Rendra, lupa judulnya apa. Tapi menurut saya, kedua orang tersebut put all his heart into it jadi monolog dan puisinya ga kosong sekosong lagu-lagu yang dibawain pengamen. Dilihat dari situ, entah idealisme ataupun kebutuhan sehari-hari, sedikit apresiasi ga begitu mahal untuk nunjukin begitu pedulinya kita sama mereka. Di Belanda sama Perancis, orang baca puisi di tengah jalan, malah ditontonin sama banyak orang terus dikasih uang juga. Di Wina, ada orang yang kerjaannya bikin puisi/syair buat wisatawan, on the spot. Di Indonesia? yah, Ibu pertiwi yang dilukai oleh anaknya sendiri. Oh ya, i found out later that the one with monologue is part of Komunitas Sastra Jalanan. Pantes.


Comments