Pengalaman Mistis di Gunung Sunda


 Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan (Q.S. 1:5)


Prolog

Sudah lama aku ingin menuliskan pengalaman ini, namun tertunda rasa malas. Sebelumnya aku sempat berdiskusi dulu dengan teman-temanku untuk berbagi kisah ini atau tidak. Setelah agak lama berdiskusi, kami berkesimpulan cerita ini boleh dibagikan ke siapa saja dengan alasan bisa menjadi hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik. Cerita ini sudah pernah aku bagikan di Instagram dan Twitter.

Pengalaman yang ingin aku bagi di sini adalah kali pertama aku mengalami langsung kejadian mistis di gunung. Tiap kali mendaki gunung aku belum pernah mengalami kejadian mistis secara langsung. Pun saat kehidupan sehari-hari tidak pernah aku menjadi subyek utama. Tidak, aku tidak sengaja meminta hal ini terjadi. Paling kalau pun terjadi, aku hanya menjadi saksi saja, termasuk saat mendaki dengan teman-temanku. Tentu ini adalah hal yang perlu aku syukuri karena sejauh ini kami semua masih dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu aku percaya bahwa menentukan intensi sebelum melakukan sesuatu adalah setengah upaya menuju hasil yang ingin kita capai. Seringkali aku mengingatkan diri sendiri bahwa tujuan aku naik gunung adalah agar bisa mensyukuri ciptaan-Nya dan menggenapi diri lewat alam, bukan memperkaya pengalaman mistis, apalagi sengaja mencari-cari.

Kala itu sudah kurang lebih lima bulan sejak pandemi. Karenanya rencanaku untuk mendaki beberapa gunung besar di Jawa Timur harus ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Saat teman-temanku mengajak untuk mendaki Gunung Sunda yang terletak di dua kawasan administratif Subang dan Purwakarta, tanpa berpikir panjang aku menerimanya dengan semangat.

Sabtu pagi aku bersama temanku, Dimas, bertolak dari Cimahi menuju Subang. Titik kumpul adalah Tokma Subang. Di sana sudah ada temanku, Tedi, bersama tiga orang temannya. Butuh waktu sekitar dua jam bagi kami berdua tiba di Tokma Subang. Setibanya di Tokma Subang kami membeli logistik untuk kemping semalam saja. Kami juga berkenalan dengan tiga teman Tedi: Abah Anom, Cecep, dan  Anugerah. Awalnya aku menyarankan untuk kemping hari Jumat. Namun, Dimas dan Tedi kurang setuju karena Jumat malam saat itu adalah Malam Kliwon yang dipercaya memiliki daya magis dan spiritual lebih kuat dibandingkan malam-malam lainnya. Jujur, Gunung Sunda ini masih asing di telingaku. Saat mencoba mencari di Google, tidak banyak entri yang menjelaskan tentang Gunung Sunda di laman pertama pencarian. Saat mendaki atau melancong, aku memang terbiasa menyerahkan riset jalur ke Dimas dan Tedi. Menurut mereka berdua, Gunung Sunda relatif mudah didaki. Kira-kira butuh waktu tiga jam sampai ke puncak dengan medan yang tidak terlalu sulit.

Dari Kiri:
Cecep, Abah Anom, Dimas, Anugerah, Tedi, Pradip

Setelah menyiapkan logistik di Tokma Subang, kami mulai bergeser mengarah ke Gunung Sunda. Dari Tokma Subang ke pintu pendakian berjarak kurang lebih 10 km. Sebelum masuk gerbang kami diharuskan membayar tiket. Karena Abah Anom merupakan penduduk lokal yang kenal dengan penjaganya, kami bebas tiket masuk.

Di perjalanan menuju kaki Gunung Sunda kami disambut hamparan perkebunan teh yang hijau dan kabut tipis yang menyelimuti Gunung Sunda dari kejauhan. Dekat dengan Gunung Sunda ini ada Curug Cijalu yang sudah dibuka sebagai daerah wisata komersil. Tiga puluh menit kemudian kami tiba di pintu masuk Gunung Sunda. Sebetulnya tidak ada pintu masuk resmi atau basecamp Gunung Sunda. Hanya ada dua warung kecil sebelum pintu masuk gunung yang berupa jalan setapak. Di sana Abah Anom menitipkan kendaraan kami kepada yang punya warung. Abah Anom bercakap dengan Ibu Warung. Katanya kemarin malam banyak orang yang mendaki Gunung Sunda untuk paniisian atau pertapaan. Dari percakapan tersebut aku menyimpulkan bahwa Gunung Sunda jarang dipakai untuk mendaki wisata, melainkan untuk tujuan spiritual. Bahkan menurut Abah Anom belum ada pendaki yang sengaja kemah di puncaknya dengan tujuan wisata. Kupingku mulai berdengung dan pikiranku mulai bercabang. Terlebih mendengar pertapaan yang tentunya kental dengan mistisisme.

Mistisisme merupakan topik menarik jadi perbincangan. Menurut Mochtar Lubis, salah satu karakteristik masyarakat Indonesia adalah percaya takhayul. Masih banyak orang yang belum bisa membedakan takhayul, spiritualisme, dan mistisisme. Takhayul merupakan kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada dan sakti, tapi sebetulnya tidak ada atau tidak sakit. Sementara menurut Jean Huston, seorang peneliti dan salah satu pendiri Human Potential Movement, mistisisme dan spiritualisme adalah hal yang serupa tapi tak sama. Menurutnya spiritualisme merupakan konsep yang lebih luas dari mistisisme, yaitu penyatuan dalam hubungan transendental antara manusia dengan Sang Pencipta. Sementara mistisisme diartikan sebagai pemahaman yang berkenaan dengan pengalaman yang berkenaan dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu persoalan mistisisme sangat individualis sekali. Berlaku bagi yang mengalami saja. Seringnya hal ini juga disebut dengan kebatinan.

Persoalan kebatianan membuatku teringat buku Mysticsm in Java karya Niels Mulder yang mendefinisikan kebatinan masyarakat Jawa yang mayoritas Muslim sebagai keberadaan dan penghormatan terhadap tatanan sosial yang secara fundamental terjada dalam diri individu.

"The practice of kebatinan is an individual-centred endeavour that places the deep self, the 'true I' ... at the very centre of all evaluation. It is the development of rasa that becomes the measuring rod of inner growth. The ultimate stage is to realize the conviction that one lives in step with Life, and has access to truth in a direct, unmediated way, drawing power from 'God' while, at the same time, being independent from source of truth outside the deep self."

Tentu saja tiap kepercayaan dan agama memiliki sudut pandang masing-masing mengenai spiritualisme dan mistisisme ini. Aku mulai bertanya-tanya sejauh apa kebatinan bisa dicapai secara praktis melalui pertapaan? Di sela-sela pikiranku yang sudah mengawang-ngawang, ia kembali terpasung di bumi saat rombongan bersiap-siap memulai pendakian. Sebelum memulai pendakian kami berdoa dulu memohon keselamatan. Sekitar pukul 13.30 WIB kami memulai pendakian.


 Babak I

Ada sebuah jalan kecil di kanan jalan setelah warung-warung. Memasuki jalan setapak itu, kami disuguhi sungai kecil yang airnya jernih dengan jembatan kayu seadanya. Udara segar dan renyahnya suara sungai yang mengalir seketika memenuhi liang kuping dan hidungku. Di kiri kanan masih berupa kebun warga yang ditanami umbi-umbian. Lima belas menit pertama jalan cukup datar. Selebihnya jalan mulai menanjak dengan tanah yang relatif gembur. Ternyata medannya tidak smeudah yang kami bayangkan. Kami berenam perlahan-lahan mulai kehabisan napas sehingga mengharuskan kami istirahat tiga puluh menit sekali. Buatku pribadi pepohonan dan kabut sering menjadi pembakar semangat. Kadang uniknya pepohonan dan tanaman menjadi distraksi tersendiri. Ada beberapa jalan setapak yang sangat sempit sehingga membuatku harus hati-hati melangkah. Selain itu ada beberapa percabangan jalan yang bisa membuat tersesat. Oleh karena itu sangat disarankan untuk mendaki bersama orang yang sudah kenal jalur. Di kelompok kami Abah Anom sering mengunjungi gunung ini. Ia sudah hapal jalan. Sepanjang pendakian tidak ada marka jalan dan penanda pos. Alih-alih keduanya, ada beberapa bilik temporer terbuat dari kayu dan bambu ditutupi plastik atau spanduk. Abah Anom juga pandai menunjukkan nama-nama tanaman, terutama Anggrek. Percakapan dan lelucon di sepanjang perjalanan membuat rasa lelah menyaru di balik deru napas.

Istirahat Sejenak

Setelah kurang lebih dua jam pendakian, kami tiba di daerah terbuka yang dikelilingi tebing. Daerah terbuka ini seperti desa kecil yang terdiri dari beberapa bilik temporer. Pepohonan besar menjulang tinggi. Dan ada aliran air kecil yang mengalir. Mirip seperti Desa Konoha di manga Naruto. Di sini kami mengistirahatkan kaki dan mengatur napas. Di sini ada beberapa orang yang sedang memasak mi instan. Dugaanku, mereka bukan pendaki karena mereka tidak membawa tas gunung seperti kami. Beberapa di antaranya berpapasan mendahului kami saat mendaki. Mereka hanya membawa sarung dan kantong plastik berisi barang-barang esensial mereka. Berbeda dengan kami yang lengkap dengan peralatan gunung.

Abah Anom mengambil periuk yang disimpan di dalam bilik semi permanen. Rencananya kami akan membuat nasi liwet di puncak. Membayangkannya saja sudah membuat naga di perutku menggeliat kelaparan. Tak lama di dalam bilik, Abah Anom keluar bilik bersama seorang kakek yang ia panggil Abah. Ia mengenalkan kami kepada Abah sebagai bagian dari rombongannya. Saat memberitahunya bahwa kami akan berkemah di puncak, beliau berkata sambil tersenyum, “Jangan lupa berdoa.”

Aku berusaha tidak menafsirkan nasihatnya sebagai suatu peringatan macam-macam, melainkan sebuah nasihat sederhana dan umum dari orang tua kepada anaknya. Menjelang pukul 16.00 WIB kami meneruskan pendakian. Tidak tanggung-tanggung kami langsung disuguhi tanjakan yang cukup ekstrem. Aku dan Abah Anom bisa berjalan di depan sementara sisanya berjalan di belakang. Semakin dalam kami melangkah, pepohonan semakin besar dan lebat. Vegetasi juga semakin rapat. Aku sudah tidak bisa melihat permukiman yang tadi kami lewati. Menjelang pukul 17.00 WIB kami istirahat untuk salat berjamaah, lalu rehat sejenak. Aku mengamati alam di sekitarku dan menemukan jamur-jamur besar ini.

Jamur di Bawah Pohon

Tanpa beristirahat terlalu lama, kami melanjutkan pendakian. Aku berharap bisa sampai di puncak sebelum magrib melingkupi kami. Aku kurang suka berjalan di gunung saat gelap. Pertama, aku menggunakan kacamata. Biasanya saat gelap, suhu menjadi turun dan kabut mulai melingkupi area puncak. Akibatnya, kacamataku jadi berembun. Terlebih saat hujan tiba. Biasanya aku akan sering tersandung. Aku juga tidak memakai sepatu. Hanya sendal gunung yang solnya sudah lembut karena berusia hampir enam tahun. Aku berdoa supaya malam itu tidak hujan deras. Kedua, semakin malam biasanya semangat kami semakin turun. Artinya, kami bisa saja bermalam di tempat yang kami kira cocok untuk mendirikan tenda tanpa mengacu pada destinasi yang ditentukan di awal pendakian. Hal ini bisa mengganggu jadwal perjalanan kami. Dengan mempertimbangkan hal ini, logikaku berkata untuk mulai mempercepat langkahku.

Teman-teman yang lain sudah mulai gelisah dan sering menanyakan berapa lama lagi kami tiba di puncak. Hanya Abah Anom yang tetap tenang karena ia satu-satunya yang paham medan dan jarak tempuh. Waktu baru menunjukan pukul 17.30 WIB, tapi suasana sudah gelap. Kami mulai menyalakan lampu kepala. Abah Anom, Cecep, dan Anugerah hanya membawa satu senter. Akibatnya kami harus berbagi penerangan. Abah Anom berjalan paling depan dibuntuti olehku. Sementara di belakangku ada Tedi, Dimas, Cecep, dan Anugerah. Hebatnya di kondisi yang hampir gelap gulita hanya bermodalkan sorotan lampu yang bertengger dari kepalaku, Abah Anom bisa berjalan dengan lincah. Sementara aku sudah jelas kewalahan. Terlebih saat kami melewati aliran sungai. Mau tak mau kakiku harus berendam di dalam aliran sungai yang setengah lumpur itu. Abah Anom mengingatkan kami untuk berhati-hati terhadap pacet yang suka menempel dan menghisap darah. Saat aku menyenter mata kakiku sebelah kanan, ada tiga pacet yang menempel. Biasanya pacet akan lepas saat ia sudah kenyang menyedot darah. Aku berkata pelan pada pacet-pacet itu, “Ini sebagai pengganti tiket masuk ya.”

Menjelang pukul 18.00 kami berhenti di sebuah pohon besar yang roboh dan memalang jalan. Kami mematikan semua lampu dan beristirahat sambil mendengarkan suara hutan di tengah peraduan senja yang syahdu. Angin yang berdesir, burung-burung malam yang baru keluar dari sarangnya, dan deru napas kami berenam. Abah Anom kemudian menunjuk ke arah ujung atas sebuah pohon besar. Katanya ia melihat bayang-bayang sesuatu. Awalnya kami mengira itu lutung, namun setelah diperhatikan ternyata tupai terbang. Aku sebetulnya tidak fokus pada tupai terbang, melainkan pada pohon di sebelahnya. Seperti ada sosok hitam yang memeluk pohon sambil menatap kami. Aku berusaha untuk bersuara, tapi badanku keburu merinding. Akhirnya aku tutup mulut.

Setelah tiga puluh menit kami duduk di atas pohon yang roboh tersebut, kami mulai lagi berjalan. Cecep dan Anugerah sudah terlihat kehabisan energi. Mereka berdua jalan paling belakang dan sering tertinggal. Akhirnya kami mengubah formasi pendakian. Aku dan Dimas berjalan paling belakang. Kami mengobrol random tentang film, masa-masa sekolah, manga dan anime, sampai perbedaan jagoan DC dan Marvel. Biasanya Dimas mudah lelah dan gampang tersugesti. Anehnya (atau untungnya), ia terlihat bersemangat sekali. Aku masih biasa-biasa saja. Aku tahu aku sudah lelah, tapi kaki ini harus tetap melangkah. Semakin lama kami terdiam, semakin larut kami tiba di puncak. Abah Anom harus menjawab kami yang berulang-ulang bertanya, “Berapa lama lagi?” Ia selalu menjawab, “Sudah dekat. Lima menit lagi.”

Lima menit berubah jadi lima belas menit, berubah jadi dua puluh lima menit. Tiba-tiba Anugerah yang berjalan di depanku terperosok di kanan jalur yang berupa tebing terjal. Aku spontan memegang kedua tangannya. Semua terkejut. Aku sorot badannya yang terperosok dan melihat badannya menggantung di bibir jurang. Abah Anom segera menghampiri kami. Kami pun segera menarik Anugerah. Anugerah sudah mulai kelelahan. Ia sudah tidak berjalan. Akhirnya beban bawaan Anugerah diberikan kepada Abah Anom. Ia berjalan di belakang Abah Anom.

Sepuluh menit dari tempat Anugerah terperosok, tepatnya pukul 19.25, kami tiba di puncak dengan perasaan lega. Akhirnya. Aku berteriak mengucap syukur sambil merekam video suasana sekitar. Ini videonya:

Gunung Sunda memiliki puncak terbuka, sempit, dan memanjang yang hanya bisa menampung dua tenda berkapasitas empat orang. Di ujung puncaknya ada sebuah tugu. Di sebelahnya ada bivak yang menyerupai bilik yang ditutupi dedaunan. Aku mendekati tugu tersebut dan bersiap mendirikan tenda. Sesekali aku mencuri pemandangan malam yang cukup mengompensasi rasa lelahku sedari tadi.

Anehnya, Abah Anom yang tiba pertama di puncak buru-buru menjauhi tugu tempat aku berdiri. Ia segera membuat api unggun dengan muka agak pucat. Aku sebetulnya menyadari hal tersebut, tapi mencoba untuk berpikir positif. Tubuh dan pikiranku sudah mendambakan nasi liwet dan istirahat, tak ada energi untuk berpikir macam-macam. Jadi, aku segera mendirikan tenda tempat istirahat. Kami mendirikan dua tenda. Satu untuk aku, Dimas, dan Tedi, satu lagi untuk Abah Anom, Cecep, dan Anugerah. Pintu tenda kami saling berhadapan. Setelah tenda sudah berdiri, barang-barang kami masukkan ke dalamnya. Kami bergegas mulai membuat makan malam dan minuman hangat. Abah Anom sedang membuat nasi liwet, sementara kami membuat lauk-pauknya.

Nasi Liwet di Gunung Sunda

Malam begitu cerah. Sambil menunggu nasi liwet matang, kami mengobrol dan mengevaluasi pendakian kami. Muka yang tadi tegang kini berubah rileks dan penuh canda tawa. Tak terasa nasi liwet sudah matang. Kami juga sudah menyiapkan ikan asin, tahu, tempe, sambal, dan kerupuk. Menjelang pukul 22.00 WIB kami masuk ke tenda masing-masing. Di dalam tenda terasa hangat. Mungkin karena itu, Tedi dan Dimas sudah terlelap. Jarang sekali kami tidur di gunung bisa merasa hangat. Aku merasa gembira. Badanku sudah letih dan perutku sudah kenyang. Aku sudah masuk ke kantong tidur yang hangat dan mulai memejamkan mata. Malam ini aku pasti tidur nyenyak.

Rupanya aku keliru.


Babak II

Di saat aku hampir tidur nyentak. Tiba-tiba aku terbangun. Mataku terbelalak seperti merasa ada yang mengawasi. Aku lihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan: 00.30 WIB. Di luar angin hilir mudik berisik dan membuat tenda bergetar. Aku mencoba mengakses informasi dari perasaanku ini. Salah satu yang membuat kita terbangun tiba-tiba adalah karena hypnic jerk, yaitu tubuh mendadak mengalami kontraksi kuat dalam waktu singkat saat tertidur. Salah satu contohnya, saat kita bermimpi jatuh dari gedung, kita tiba-tiba bangun seolah jatuh juga. Nah, hypnic jerk ini bukan yang aku alami. Aku tidak mengalami kontraksi otot atau mimpi terjatuh. Karena aku adalah seorang light sleeper, biasanya aku bisa terbangun apabila ada orang masuk kamar atau ada suara hembusan angin sedikit pun. Inilah yang aku rasa. Ada sesuatu di dalam tenda yang otomatis membuat tubuhku terjaga.

Di saat aku sedang merasionalisasi, ada sekelebat bayangan hitam lewat di luar tenda. Karena malam yang cerah dan tenda yang tidak terlalu tebal, aku bisa melihat bayangan benda atau orang di luar tenda. Aku lagi-lagi merasionalisasi, mungkin yang tadi lewat adalah ranting yang terbawa angin. Aku mulai mengajak tubuhku untuk kembali tidur. Aku melihat Dimas dan Tedi tidur memunggungiku. Dimas dekat pintu tenda, Tedi di tengah, sementara aku paling belakang. Dekat tugu puncak.

Aku menarik napas dan mencoba tetap tenang. Aku tidur telentang. Kupejamkan mata sambil mencoba melepas kesadaranku untuk masuk ke alam mimpi lagi. Saat mencoba masuk ke alam bawah sadar, tiba-tiba ada sosok yang hadir dalam pikiranku. Seorang kakek lengkap dengan pakaian kerajan zaman dahulu yang kemudian berganti-ganti menjadi sosok perempuan mengenakan kebaya. Asing dan tak ku kenal wajahnya. Lagi-lagi sambil setengah sadar aku berupaya merasionalisasi bayangan tersebut. Mungkin mereka manifestasi ketakutanku saat menonton film horror atau mendengar cerita menyeramkan. Namun begitu, logika ku menolak rasionalisasi itu. Aku tak pernah menonton film dengan wajah-wajah seperti itu. Semakin aku berupaya merasionalisasi, semakin banyak orang-orang yang tak dikenal itu bermunculan dalam pikiranku. Karena tidak bisa membendung mereka semua, aku memaksa membuka mata sambil tergopoh-gopoh. Kulihat jam tangan menunjukan pukul 01.15 WIB. Karena aku tidur telentang, otomatis aku melihat ke atas tenda. Bayangan yang tadi kulihat sekelebat semakin banyak melintas di luar tenda.

Aku mulai merasa aneh. Aku coba mengirim kode ke Dimas. Biasanya jika terjadi sesuatu di dalam tenda dan kami tidak bisa berkata apapun, kami akan membangunkan salah satu dengan meminta sesuatu. Saat itu aku minta minyak badan GPU. Dimas tahu bahwa aku tidak suka GPU. Seharusnya kode SOS ini berjalan lancar. Tapi Dimas tertidur nyenyak. Perlu tiga kali aku memanggil namanya sampai ia benar-benar bangun. Anehnya, ia tidak sadar bahwa aku sedang mengirim kode SOS. Ia terbangun dan mengambil minyak GPU yang aku minta, kemudian memberikannya kepadaku. Setelah itu ia tidur lagi. Benar-benar seperti robot. Tanpa berbicara sepatah kata.

Aku mencoba menenangkan diri. Aku membangun kembali kesadaranku dengan informasi yang aku tangkap dari sekitar. Namun di saat panik seperti ini agak susah untuk menjaga self-awareness. Secara teoritis memang bisa dipahami, namun praktiknya, terlebih dalam keadaan panik, tubuh kita begitu ingin berontak dari ketenangan. Aku mulai menenggelamkan kepala ke dalam kantong tidur seraya berzikir dan berdoa. Tujuannya untuk mengingatkanku sendiri akan Entitas Tertinggi Yang Maha Segalanya, Allah SWT. Aku mencoba berserah diri. Di saat aku berdoa, angin bertiup semakin kencang. Bayangan-bayangan itu semakin jelas di dalam kepala. Badanku terasa berat. Aku sampai harus memaksa mataku untuk terpejam.

Analoginya seperti ini: bayangkan kamu berada di kamarmu yang memang kamu kunci. Di luar kamar ada banyak orang yang menggedor pintu kamarmu bahkan mendobrak memaksa masuk. Ada rasa takut, kaget, dan khawatir yang campur aduk. Kamu juga memastikan bahwa pintumu tetap terkunci dan solid tak bisa didobrak.

Itulah perasaan yang menyelimutiku. Seperti ada yang ingin mendobrak masuk ke dalam kamarku. Dan semakin kuat aku berupaya untuk menahan mereka supaya tidak masuk, semakin besar upaya mereka untuk mendobrak masuk. Di saat itu, kakek yang memakai baju kerajaan itu yang paling keras memaksa masuk. Ia rupanya memakai beskap emas berkilauan. Aku tetap berzikir dan berdoa. Lama-lama badan dan pikiranku merasa capek. Aku sempat berpikir apakah aku mengalami disorientasi, halusinasi, atau hipotermia. Lagi-lagi logikaku menyangkal itu semua. Gunung Sunda ini tidak terlalu tinggi dan dari awal kami bertiga memang merasa hangat di dalam tenda. Kejadian yang sangat langka. Biasanya kami kedinginan. Jadi kemungkinan disorientasi, halusinasi, dan hipotermia tercoret dari opsi rasionalisasi.

Akhirnya karena letih, pikiranku mulai berkelana. Aku mulai membayangkan keluargaku, orang tuaku, teman-temanku, sampai mereka yang sudah meninggal. Aku juga berpikir tentang hal-hal yang terlewat dalam keseharian. Apa saja yang sudah aku lakukan dalam hidup. Juga merenung tentang kehidupan dan kematian. Cerita-cerita yang silih berganti. Orang-orang yang hadir dan pergi. Mungkin saking letihnya, perlahan-lahan aku mulai masuk ke alam bawah sadar.


Babak III

Di saat aku hendak tertidur, tiba-tiba matakku terbelalak lagi. Oh God what now?

Kali intimidasi dari pendobrak semakin kasar. Saking kagetnya aku sampai bangun dan duduk sila sambil terengah-engah. Kali ini aku merasa ada yang mengawasiku dari dekat. Bukan lagi di luar tenda, tapi di dalam tenda. Akhirnya aku tahu, sosok ini yang melihatku dengan intens adalah ia yang mendobrak masuk. Aku coba meraih napasku lagi dengan berusaha tenang. Aku lihat jam tangan sudah pukul 03.00 WIB.

Subuh sebentar lagi. Aku harus bisa bertahan. Tenang.

Karena posisiku sudah duduk. Otomatis aku bisa melihat sekelilingku. Angin ribut semakin kencang. Tenda bergoyang semakin hebat. Bayangan berkelebat semakin semarak. Aku merasa di luar sangat ramai. Sampai aku melihat bayangan dan mendengar orang berjalan mondar mandir di depan pintu tenda kami. Aku mencoba berpikir positif. Mungkin orang-orang di tenda sebelah sedang membuat kopi atau minuman panas.

Mulutku spontan bertanya dalam bahasa Sunda, “Kalian di luar ya? Lagi bikin kopi? Api unggun?”

Tak berapa lama teman-teman di tenda sebelah menjawab, “Enggak. Di dalam tenda aja dingin. Apalagi di luar tenda.”

Jadi, mereka bertiga sedari tadi di dalam tenda. Kedinginan.

Kalau ini sinetron, mukaku sudah kena zoom in zoom out karena kebingungan. Saat sedang kebingungan, aku merasa silau karena cahaya di belakangku. Refleks, aku menengok ke belakang (I really loathe my reflect and my subconscious curiosity). Aku melihat cahaya putih yang berpendar di luar tenda.

Di situlah aku memutuskan untuk membangunkan Tedi yang tidur di sebelahku. Ku kira ia tertidur, tahunya dari tadi ia juga tidak bisa tidur.

Ia berkata, “Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Coba kita nyalain murottal aja di ponsel sambil nunggu subuh.”

Tedi berucap tanpa memalingkan muka kepadaku atau bergerak sedikitpun. Akhirnya aku mengambil ponsel milik Tedi. Sambil mendengarkan murottal, kami juga mengobrol tentang apa yang kami dengar. Angin ribut perlahan-lahan mulai reda. Kami mulai mengobrol ngalor ngidul hingga akhirnya tertidur sekejap. Pukul 04.20 WIB kami terbangun karena alarm salat subuh. Kami pun siap-siap salat subuh dan menyaksikan matahari terbit.

Mengintip Fajar dari Dalam Tenda

Epilog

Aku mengambil kamera dan beranjak keluar tenda. Aku duduk di bibir tebing sambil menyaksikan matahari yang terbit malu-malu dari balik gumpalan awan tebal. Entah mengapa, kejadian semalam sejenak terlupakan oleh kemegahan alam ini. Semburat fajar yang menyinari awan-awan yang bergerak beriringan ditiup angin membuatku menitikkan air mata. Aku baru sadar bahwa bisa menyadari kehadiran matahari yang terbit dan tenggelam sesuai waktunya adalah nikmat yang sering aku lupakan. Dan bagiku butuh sebuah pengalaman hadir di Gunung Sunda untuk mensyukuri nikmat ini. Aku mengucap istigfar berulang kali.

Mensyukuri Fajar di Gunung Sunda

Setelah matahari muncul sepenuhnya, kami mulai menyiapkan sarapan. Setelah itu kami bersiap-siap pulang. Perjalanan pulang hanya memakan waktu empat jam dengan jalur yang sedikit berbeda. Tiba di warung Ibu kami istirahat sejenak sebelumnya akhirnya berpisah pulang.

Seminggu setelah itu aku, Dimas, dan Tedi bertemu untuk menceritakan pengalaman dari sudut pandang masing-masing:

  1. Menurut Tedi kondisi Anugerah sedang tidak fit secara fisik dan psikis. Karena itu ada yang memang tertarik dengan Anugerah sejak pertama kali datang ke Gunung Sunda. Selain itu Tedi bercerita bahwa malam itu di Tenda ia sudah merasakan hal yang ganjil. Ia merasa ada banyak sosok yang ada di dalam tenda kami. Mereka juga ingin masuk ke kamar Tedi. Bahkan kamarnya sempat sudah ada yang menempati sebagian.
  2. Ingat tugu batu yang ada di puncak? Aku pikir itu tugu yang menandakan puncak ketinggian. Ternyata bukan. Itu adalah tugu yang untuk mengenang pendaki yang pernah meninggal di sana karena terkena petir (semoga Allah menerima mereka di sisi-Nya). Aku sudah mengecek ulang beritanya dan ternyata betul. Beberapa tahun yang lalu ada pendaki yang sedang berlatih navigasi di sana dan mereka terkena petir. Beberapa dari mereka terlempar dari tenda mereka sampai meninggal. Dan aku tidur bersebelahan dnegan tugu itu.
  3. Ingat saat Abah Anom tiba di puncak dan ia langsung menjauhi tugu dan bivak dedaunan? Ia berkata saat ia tiba di puncak pertama kali bersama kami, ia melihat sesosok pria sedang duduk di atas bivak dedaunan tersebut.
  4. Video yang aku rekam di puncak menangkap suara. Saat itu aku dan Dimas menyadari tidak ada suara burung atau apapun. Dan ketika kecepatan video itu diturunkan yang terdengar adalah seperti rintihin orang menangis.
  5. Saat Anugerah terjatuh, aku seperti melihat ada tangan yang menarik Anugerah. Mungkin ini halusinasiku saja.
  6. Dimas tidak mengalami apapun yang meresahkan kecuali saat kami hendak pulang. Saat kami hendak pulang Dimasi berjalan paling belakang. Ia bertugas untuk memadamkan api yang kami gunakan untuk memasak. Tedi, Abah Anom, Cecep, dan Anugerah sudah berjalan di depan. Sementara aku menunggu Dimas mematikan api. Posisinya Dimas masih ada di area puncak, sementara aku sudah beberapa meter di bawah. Dimas berteriak supaya aku menunggunya sehingga aku berhenti berjalan. Dimas bercerita saat ia memadamkan api, ia tidak berani menatap bivak dedaunan. Ia merasa sedang diawasi oleh seseorang.

Tugu Peringatan dan Bivak di Puncak 

 

Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran sesungguhnya.

 

Hikmah dari pengalamanku ini, aku percaya bahwa setiap kejadian di langit dan di bumi dan di seluruh alam semesta, termasuk kejadian yang aku alami, sudah tertulis di kitab Lauh Mahfuzh. Semua terjadi atas seizin Allah SWT. Sejak lama aku memang percaya pada yang gaib yang hadir berdampingan dengan manusia. Selama tidak menganggu satu sama lain, menurutku koeksistensi bisa terjaga. Kejadian ini juga sebagai pengingat bagiku untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, bahwa Ia adalah satu-satunya yang patut kita sembah dan satu-satunya yang kita patut minta pertolongan.

Semoga pengalaman ini bisa membawa manfaat.

Tabik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Comments