Curug Cileat |
Menutup 2020 lalu aku dan teman-teman berkunjung ke salah satu curug di Subang. Saat itu beberapa temanku baru saja menyelesaikan proyek di sana dan mengusulkan untuk mengunjungi alam Subang lagi. Tawaran yang tidak bisa aku tolak mengingat pengalaman terakhir di Gunung Sunda Subang juga cukup berkesan.
Gunung Sunda bukan pengalaman pertama yang menorehkan kesan mendalam terhadap Subang. Saat kuliah dulu aku pernah tinggal selama delapan minggu sebagai kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sumbersari, Pagaden, Subang. Selain program yang aku dan teman-temanku terapkan di desa, tiap akhir pekan kami juga berkesempatan pergi ke pasar, pantai, atau pemandian air panas. Walau tidak sepenuhnya menyenangkan, tetapi kenangan tinggal di Subang menjadi kenangan yang tidak tergantikan. Salah satunya adalah alamnya yang memesona. Beberapa kejadian yang aku alami saat KKN ini menjadi pengingat diri yang sampai kini aku pegang.
Pengalaman Mendaki Gunung Sunda
Kembali ke cerita Cileat, karena alokasi waktu yang terbatas, kali ini kami mencari wisata alam yang cukup dekat. Tujuannya bukan mendaki yang memerlukan banyak perlengkapan dan kesiapan matang, melainkan hanya mengunjungi saja. Tercetuslah Curug Cileat yang tidak jauh dari pusat kota Subang dan memiliki medan yang mudah ditapaki. Seperti biasa Tokma menjadi titik kumpul aku dan teman-teman, sekaligus menjadi tempat untuk membeli logistik di perjalanan. Dari Tokma Subang butuh 35 menit untuk menuju pintu masuk Cileat disambung sekitar 30 menit lagi menuju lokasi parkir Curug Cileat yang terletak di Desa Mayang, Kecamatan Cisalak.
Bisa menggunakan Google Maps sebagai petunjuk jalan |
Hujan deras menyambut kami sepanjang perjalanan. Aku sempat tertinggal di belakang bersama seorang temanku karena menikmati derasnya hujan. Walau tertinggal di belakang rombongan, Google Maps cukup andal dan akurat. Ia mengarahkan kami ke jalan masuk menuju Cileat yang berada di kanan jalan dari Bandung. Di depan jalan masuk tersebut ada Indomaret sebelah kiri. Ini yang menjadi patokan kami. Lepas dari jalan besar kami masuk ke permukiman warga. Persawahan, kuburan, dan perumahan berjejer di kiri kanan jalan. Di bibir jalan masuk ini aku sudah bisa melihat gunung-gunung yang diselimuti kabut hujan. Gigil dingin mulai terasa di udara.
Dua puluh menit menyusuri jalan kami tiba di ujung jalan yang menyempit dan berakhir di lapangan bola. Di sinilah kami memarkir kendaraan. Biaya parkir menginap Rp15.000,00 per kendaraan, sementara jika tidak menginap hanya dikenakan Rp5000,00. Area parkir tidak terlalu luas. Cenderung sempit untuk mobil dan motor. Selain itu jalan menuju tempat parkir ini juga hanya cukup satu mobil. Jadi harus berhati-hati dan menyalakan lampu jauh atau klakson sesekali agar tidak bertabrakan.
Lima menit berjalan kaki dari tempat parkir terlihat pos masuk. Kami berhenti dulu untuk mendaftarkan rombongan. Kami dicek suhu, masker, dan disuruh cuci tangan terlebih dahulu. Normalnya tiket masuk per orang adalah Rp15.000,00. Karena kami berniat menginap, kami harus membayar Rp25.000,00 per orang. Walaupun saat aku cek karcisnya hanya tertera keterangan Rp15.000,00 sebagai biaya masuk. Kami awali haiking di Cileat dengan berdoa. Beruntung, hujan sudah mereda. Kami bergegas berjalan agak cepat supaya tidak kehujanan lagi.
Pesawahan dan Kebun |
Sawah membentang luas dengan hutan yang vegetasinya cukup terbuka menjadi pembuka trek haiking ke Curug Cileat. Karena fokus alam
yang ditawarkan Cileat adalah air terjun, dari kejauhan berjalan kaki, aku sudah mendengar
suara air mengalir. Awan yang mendung memberikan perasaan syahdu ditemani
angin yang sejuk. Haiking kali ini tidak seberat sebelumnya karena kami
berencana tidur di pondok Abah Danu yang berada tak jauh dari Curug Cileat. Jadi
memang bawaan kami tidak terlalu berat. Hanya saja kami tetap berhati-hati
karena trek yang licin dan ada beberapa bagian longsor yang membuat pijakan menjadi
tidak stabil.
Tiga puluh menit berjalan dari pos pendaftaran, kami tiba di Curug 1 yang disebut Citorok. Medan yang kami tempuh tidak terlalu berat. Hanya meliuk-liuk. Menurut warga lokal Cileat itu berarti mengulir atau memutar-mutar. Ada juga yang mengartikannya sebagai tiporejat alias jatuh. Dari Curug 1, kami berjalan 15 menit mencapai Curug 2, yang disebut Cimuncang, dan tak jauh darinya ada Curug 3 yang disebut Cimuncang Pasir. Ketiga Curug ini tidak terlalu tinggi, sekitar 20 meter saja. Aku menyempatkan untuk meminum dari ketiga curug ini dan rasanya semakin ke atas semakin menyegarkan.
Curug Cimuncang Pasir |
Dari Curug 3, kami berjalan tak begitu jauh untuk tiba di pondok Abah Danu sekitar pukul empat sore. Kami mengucap salam tapi
tidak ada yang menjawab. Hanya ada dua kucing kecil yang kelaparan. Sambil menunggu
Abah Danu, kami istirahat dulu di pondokannya. Pondokannya bersih. Ada saung terbuka cukup luas yang kami gunakan bermalam nanti. Di sebelahnya ada musala.
Sementara di seberang musala ada dua kamar mandi khusus untuk perempuan dan
laki-laki.
Tak lama kemudian Abah Danu menyapa kami yang sedang beristirahat. Kami
mengobrol dan meminta izin untuk ikut tidur di pondokannya. Udara semakin dingin menjelang
malam mulai menerpa sekeliling pondokan. Abah Danu berkata bahwa gunung yang mengitari Curug Cileat adalah Gunung Canggok yang bisa tembus ke Bukit Tunggul. Menurutnya butuh waktu 8 jam untuk sampai ke puncaknya. Belum banyak warga lokal yang mendaki gunung tersebut, apalagi pengunjung. Curug Cileat ini merupakan air terjun dari hulu Sungai Cipunagara yang kadang-kadang menjadi tempat paniisan. Sambil mendengar cerita Abah Danu aku menyesap kopi Robusta yang aku
seduh tadi. Menjelang magrib, aku berjalan sendiri ke sawah di dekat
pondokan untuk grounding sebentar.
Saat magrib tiba aku sudah kembali di pondokan. Kami salat magrib dulu, kemudian mulai memasak nasi liwet. Abah Danu memiliki dapur sederhana dengan bahan bakar kayu. Kami memasak nasi liwet, tahu dan tempe, petai, ayam goreng, ikan asin, serta membuat sambal dadakan. Kami mengajak Abah Danu untuk makan bersama kami. Setelahnya kami menyeduh teh dan kopi. Sepertinya kopi dan teh adalah minuman terenak di gunung, sementara mi instan adalah tradisi makan di gunung. Nasinya pulen dan lauknya sungguh nikmat. Jarang kami bisa menikmati makanan enak seperti ini di gunung.
Pukul sepuluh malam
kami sudah berada di kantong tidur masing-masing. Kami mengobrol tanpa arah
hingga akhirnya mata pun menutup karena lelah.
Aku terbangun pukul setengah empat pagi dan tak bisa kembali tidur. Aku
mulai membuat kopi sambil mengambil lampu kepala dan jurnalku. Sambil menunggu
subuh aku menulis apa-apa saja yang aku rasakan dan alami seharian belakangan. Ternyata ada dua temanku yang juga sudah bangun. Mereka berdua
asyik mengobrol sambil turut menyeduh kopi. Setelah subuh lewat aku kembali masuk ke
kantong tidur.
Satu jam kemudian aku terbangun. Sudah pukul enam pagi lewat dan teman-teman satu persatu sudah bangun dan mulai menyeduh teh dan kopi. Kami mulai memasak sarapan sambil bersiap-siap ke Curug Cileat, curug yang menjadi sumber mata air terjun yang ada di Cileat ini. Hampir pukul tujuh pagi dan kami sudah bertolak ke Curug Cileat yang jaraknya hanya tiga puluh menit jalan kaki dari pondok Abah Danu. Aku sengaja berjalan paling belakang supaya bisa lebih banyak menikmati waktuku sendiri.
Berjalan di alam selalu menumbuhkan perasaan-perasaan subtil tentang
kehidupan. Aku seperti diberi ruang dan waktu khusus untuk bisa menelisik
kembali perasaan-perasaan sendiri. Pengalaman-pengalaman yang membentuk diri
dan memanduku tiba pada detik ini. Ada perasaan kecil di tengah kesakralan yang
melimpah ruah. Adalah benar tak ada daya dan upaya selain karena seizin-Nya.
Setelah berjalan 30 menit, aku dihadapkan pada kemegahan Curug Cileat. Dua air terjun yang mengalir deras menyapaku melalui bulir-bulir cipratannya. Keduanya seperti sengaja bersembunyi dari arogansi pembangunan dan hiruk pikuk perkotaan. Tinggi keduanya kira-kira mencapai seratus meter. Aku tertegun mengamati ketinggian mereka berdua. Airmataku menyatu dengan butiran-butiran yang terhempas dari air terjun itu. Aku merasa kecil dan tidak berarti. Namun di sisi lain, aku merasa hal-hal
kecil inilah yang membuat hidup ini justru indah dan berarti. Sebuah paradoks. Menjadi
berarti dengan tidak berarti. Menjadi tidak berarti dengan berarti.
Aku segera mencicipi air yang mengalir dari curug. Sangat segar. Aku menutup mata dan
berusaha menginternalisasi perasaan dan momen ini. Aku memanfaatkan
kesempatan ini untuk grounding lagi dengan berpose Natarajasana di
sebuah batu besar di depan curug.
Berpose Natarajasana |
Setelah itu kami memberanikan diri untuk berenang ke bawah curug. Beruntung saat itu tidak ada pengunjung lain selain kami. Mungkin karena kami datang saat hari kerja sehingga tidak ada pengunjung lain. Warung-warung pun masih tutup. Awalnya airnya begitu membekukan karena matahari masih tertutupi awan. Gigiku refleks bergemertak. Namun ketika aku memberanikan diri untuk berendam di bawah air terjun, rasa dingin itu perlahan memudar. Aku mengambang di kolam di bawah air terjun sambil memandangi langit yang mendung. Tetesan air menerpa mukaku. Suara alam mengamplifikasi kesunyain diri jadi lebih berarti. Setelah bermain air di bawah curug, aku menuangkan perasaan yang meluberi diri lewat tulisan di ponsel.
Puas bermain di curug kami mulai memasak mi rebus dan teh panas untuk menghangatkan diri di saung terdekat. Setelah cukup kenyang, kami berjalan kaki kembali menuju pondokan Abah Danu. Di pondok kami bersih-bersih dan bebenah bersiap pulang. Setelah menunaikan salat zuhur, kami pamit ke Abah Danu. Kami memberikan sedikit rezeki kami untuk kebaikan Abah Danu. Tentunya Abah Danu sempat menolak, tapi kami juga memaksa.
Menjelang Pulang |
Di parkiran kami mulai berpencar pulang. Di perjalanan pulang aku
menyempatkan membeli beberapa Nenas Subang dan susu KPBS Lembang sebagai
oleh-oleh untuk orang rumah. Selepas dari Lembang hujan besar kembali menghadang. Dari
kejauhan aku bisa melihat gunung-gunung yang gagah berkabut putih mengelilingi Bandung.
Before I realized, I felt an indescribable comfort that broke my tears in silence between the pitter-patter raindrops and the gust of wind that came along. I felt so alive.
Comments
Post a Comment