Berangkuuuut! |
Beberapa waktu lalu aku dan beberapa teman-temanku gowes santai dari
Bandung menuju Yogyakarta. Tidak seperti saat ke Pangandaran yang dilakukan
spontan dan impulsif, perjalanan kami ini sudah direncanakan beberapa minggu
sebelumnya. Mulai dari persiapan fisik, pencocokan jadwal, sampai menyetarakan pace
bersepeda. Awalnya ada sembilan orang yang berencana ikut, namun mendekati
hari keberangkatan, jumlah tersebut menciut jadi lima orang, yaitu Kodok (teman
SMA), Jawik (teman kuliah
S2), Mondo (teman Jawik), dan
Dampleng (teman Jawik). Salah satu tantangan utama saat persiapan adalah mengatur
jadwal luang bersama. Beberapa kali tanggal keberangkatan direvisi hingga ada tanggal yang bisa kami siasati bersama di antara kesibukan
masing-masing. Itu pun akhirnya hanya mengerucut pada lima orang yang bisa
menyempatkan.
Pengalaman gowes ke Pangandaran bisa dibaca di sini.
Bagiku, tiap perjalanan menjelma sebuah arena untuk meningkatkan
pemaknaan tentang kehidupan. Beberapa kali aku meyakinkan diri bahwa tiap perjalanan
semata-mata memang untuk mensyukuri nikmat sempat dan sehat yang diberikan Sang
Pencipta serta mencari rida-Nya. Artinya, tidak ada target kecepatan dalam
gowes ini atau arogansi untuk menguji kemampuan diri, melainkan mengenali perasaan
dalam tubuh dan pikiran yang tumbuh dalam diri. Memafhumi bahwa kemudahan dan kekuatan
bukan milik kita seutuhnya.
Menyetarakan persepsi dalam perjalanan komunal adalah penting. Gol utama kami adalah tiba di Yogyakarta
dengan selamat dengan menumbuhkan jejaring dan kebersamaan. Namun begitu, kami
juga berikhtiar untuk mengatur energi dan mengelola waktu dalam perjalanan.
Tidak berpacu dengan waktu, bukan berarti terlena dalam waktu itu sendiri.
Setelah berdiskusi dan berkompromi, kami sepakat untuk membagi perjalanan ke
dalam tiga etape dalam tiga hari untuk menempuh jarak sekitar 417 km.
Hari Pertama: Bandung – Banjar (127 km)
Kami memulai gowes Jumat pagi dari Cipadung. Aku dan Kodok yang tinggal di Cimahi sehari sebelumnya tiba di titik kumpul di Cipadung. Secara personal ada tiga hal yang aku persiapkan sebelum berangkat: kondisi sepeda, kewajiban profesional, dan kesehatan fisik dan mental. Untuk yang pertama, tiga hari sebelumnya, aku sudah membawa sepedaku ke bengkel. Aku juga sudah melengkapi beberapa bagian suku cadang yang penting untuk dibawa: pompa mini, ban dalam, clamp seat post, baut, dan beberapa perkakas standar lainnya. Berkaca dari pengalaman gowes ke Pangandaran, membawa suku cadang saat gowes jauh sangatlah penting. Kedua, karena hari pertama gowes bertepatan dengan hari kerja di rumah (work form home), aku sebisa mungkin menyelesaikan kewajibanku. Tadinya aku berniat membawa laptop untuk berjaga-jaga soal pekerjaan, namun untuk mengurangi beban aku memilih mengunggah dokumen-dokumen penting di Google Drive dan flashdrive. Berbeda denganku, Jawik yang juga harus membawa kabur pekerjaannya saat perjalanan memilih untuk membawa laptop. Beginilah kami menyiasati kesibukan kami karena menunggu hari libur membuat kami tidak berdaya memilih irisan tanggal luang bersama. Ketiga, kesehatan fisik dan mental. Kita adalah entitas yang mengenal diri sendiri – sejauh mana kita bisa melangkah dan sejauh mana batas kita bisa mendorong diri sendiri. Karena itu kemampuan fisik dan obat-obatan pribadi juga tidak kalah penting. Sebelum berangkat kami memastikan kesehatan masing-masing. Aku sudah divaksinasi penuh dan dalam kondisi fisik yang cukup prima. Hal yang tentu tidak diinginkan adalah perjalanan ini malah mengakibatkan kita sakit. Walau ada beberapa hal yang di luar kendali, setidaknya kita sudah berupaya meminimalisasi resiko perjalanan. Selain kesehatan fisik, ketahanan mental juga penting. I won't go into much detail about the latter because everyone has a certain level of mental fitness. I'm not entirely mentally fit, but I'm aware of my level of resiliency. Ultimately, some individuals use their free time to avoid life, while others utilize it to accept it. We all deal with life in our own unique ways.
Soulmate perjalanan |
Saat hari keberangkatan, aku bangun pukul 05.00 WIB. Setelah bersiap-siap dan
sarapan secangkir teh manis hangat, menjelang pukul 07.00 WIB, aku keluar dengan sepeda dan melihat rombongan sudah siap di jalan. Beberapa dari mereka bertukar salam dengan
orang tua, pasangan, anak, dan keluarga. Momen seperti ini sangat sulit
didapatkan saat hari-hari biasa.
Kami memulai perjalanan Etape 1 dengan doa bersama. Kemudian, satu persatu
mengayuh sepeda menuruni jalanan Cipadung menuju Cileunyi dan Rancaekek. Jalanan
Cileunyi dan Rancaekek saat Jumat pagi masih sepi sehingga memudahkan kami
untuk memacu pedal. Kurang lebih sejam kemudian, kami berhenti di Masjid Nagreg
untuk istirahat dan salat duha terlebih dahulu. Kami lanjut mengayuh sepeda
melewati Limbangan. Barisan tetap rapat karena belum ada tanjakan yang cukup
menguras keringat. Matahari pagi pun masih lunak menjilati kulit kami.
Baru setelah melewati Malangbong, tanjakan mengular mulai menghadang. Kami terbagi dengan jarak lumayan jauh dengan pace kayuh masing-masing. Kodok di paling depan, diikuti Dampleng, Aku, Jawik, dan Mondo. Menjelang tanjakan Gentong, aku berhenti di warung kecil. Sudah ada Kodok yang sedang beristirahat sambil mengusap keringatnya. Aku segera membeli minuman ringan dingin dan sedikit camilan. Tak lama kemudian Dampleng tiba di warung. Tukang bakso tahu melintas di depan kami. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Teh manis dalam perutku sudah menguap lama. Aku memanggil tukang bakso tahu dan memesan dua piring sambil menunggu Mondo dan Jawik. Dampleng dan Kodok bergabung menikmati bakso tahu. Harganya cukup murah, yaitu hanya seribu rupiah per item. Rasanya pun mantap. Khas sekali bakso tahu Garut. Saat sedang menyantap bakso tahu, Mondo dan Jawik tiba lain di warung kecil dan bergabung untuk memakan bakso tahu. Beres mengisi perut, kami lanjut gowes untuk mengejar Jumatan di Masjid Agung Ciawi, Tasikmalaya. Jam tangan menunjukan pukul 10.25 WIB, menurut estimasiku, kami akan tiba pukul 12.00 WIB.
Tanjakan Gentong lumayan panjang. Karena sudah pernah bersepeda melewati jalur ini, tubuhku refleks mengingat pengalaman mental dan otot saat menjajal tanjakan Gentong ini. Lama-kelamaan kayuhanku semakin cepat. Terlebih saat melewati turunan Lingkar Gentong. Aku melewati masjid yang suka dikunjungi Nenekku saat pulang kampung. Aku juga melewati jalan masuk menuju kampung halamanku, Panjalu. Ada nostalgia yang merebak. Aku menarik napas dan tersenyum sambil mempercepat kayuhan sepeda.
Menjelang pukul 12.00 WIB aku tiba di masjid Agung Ciawi. Awalnya aku
berniat untuk langsung mengunci sepedaku dan bergegas masuk masjid. Namun, aku
putuskan untuk menunggu teman-temanku yang tiba tidak lama kemudian. Karena
sudah telat untuk Jumatan, kami putuskan untuk menunaikan salat zuhur saja. Setelah
salat, kami istirahat sebentar di masjid. Aku harus mengikuti rapat daring side-project
yang sedang aku kerjakan sehingga aku meminta izin teman-teman untuk menunggu
kurang lebih 30 menit. Beruntung mereka mau mengerti. Selesai urusan pekerjaan,
kami bersiap-siap mengisi bensin perut. Beberapa rumah makan dan kantin di
sekitar masjid tutup karena PPKM sehingga kami harus bergeser lagi dari Alun-alun Ciawi.
Tengah hari di Ciawi |
Tidak jauh dari masjid ada rumah makan yang masih buka, yaitu
rumah makan Suka Senang. Dari namanya saja aku sudah punya firasat bagus. Kami
putuskan untuk mengisi perut di sana. Rumah makan tersebut cukup luas, namun
sepi pengunjung. Beberapa menu makanan dan minuman sedang kosong. Aku langsung
saja memesan nasi dengan dua potong ayam goreng plus lalapan dan sambal dadak
yang ternyata sangat enak dengan harga yang terjangkau. Aku sempat menambah sambal
dadaknya beberapa kali. Sambil menunggu makanan turun dari tenggorokan, kami
berdiskusi tempat bermalam nanti. Kami memutuskan untuk bermalam di perbatasan
Ciamis – Banjar. Aku segera memesan kamar di RedDoorz Cisaga di jalan perbatasan
Ciamis – Banjar sebagai tempat bermalam hari ini.
Menjelang sore, kami segera mengayuh sepeda karena hujan mulai turun
malu-malu. Dari kejauhan langit sudah gelap, padahal masih pukul 14.30 WIB. Kami
belum mengenakan jas hujan karena hujan masih bida ditoleransi. Tidak lama
kemudian hujan turun dengan brutal. Kami menepi ke pinggir jalan untuk
mengenakan jas hujan. Aku membungkus diri dan tas di sepeda dengan jas hujan.
Sebelumnya aku sudah membungkus dalam tasku dengan dry bag, berharap air
tidak masuk ke dalam tas.
Dari Ciawi hingga perbatasan Ciamis hujan mengucur tanpa henti. Aku yang
mengenakan kacamata cukup kewalahan karena air hujan membasahi kacamata. Melepas
kacamata saat hujan sangat beresiko bagiku yang punya minus cukup besar.
Beberapa kali ada beberapa mobil dari arah berlawanan yang melaju mengambil
jalur gowes kami, genangan air menyembur ke badanku karena aku telat
menghindar. Belum lagi ada jalanan rusak dan bolong yang luput dari
pandanganku. Aku meminta Dampleng supaya berada di paling depan sehingga aku
bisa menyimak lampu sepedanya tanpa harus terdistraksi air hujan.
Jalanan menuju pintu masuk Kabupaten Ciamis relatif datar sehingga kami
bisa menikmati hujan tanpa harus bersusah payah mengayuh sepeda. Menjelang tiba
di alun-alun Ciamis, hujan mereda. Kami beristirahat saat magrib berkumandang. Kami
rehat sejenak sambil melepas jas hujan sambil mengobrol perjalanan di tengah
hujan brutal yang baru saja kami lalui. Selesainya, tanpa menghamburkan waktu,
kami bergegas mengayuh sepeda agar tidak terlalur larut tiba di Cisaga.
Dari Alun-alun Ciamis kami menyusuri jalan Nasional Ciamis – Banjar. Tidak
banyak penerangan jalan umum yang menghiasi kiri-kanan jalan. Lampu yang kami
gunakan pun sangat terbatas. Namun aku sangat menikmati membelah malam dengan
sepeda seperti ini. Langit gelap dan jalanan sepi diiringi suara
binatang-binatang malam. Lampu kendaraan bermotor sesekali lewat dan menerangi
jalanan.
Tiba-tiba berhenti saat melihat seorang pesepeda yang sedang menuntun
sepedanya. Kodok dengan rasa iba dan baik hatinya, berinisiatif menghampiri
pesepeda tersebut. Ia kira pesepeda itu butuh bantuan. Ternyata pesepada itu malah
meminta sedikit uang sebagai bekalnya bersepeda dari Sidoarjo. Kodok pun memberinya
dan ia pun diberikan kertas kenang-kenangan dari sepeda itu sebagai ganti
kebaikan hatinya. Syukurlah tidak terjadi apa-apa. Yang kami khawatirkan saat
gowes malam adalah adanya begal atau tindakan kriminal di jalanan sepi dan
gelap.
Sekitar 10 kilometer sebelum RedDoorz Cisaga, hujan kembali turun. Kami
mengayuh sepeda dengan lebih giat sebelum hujan menjadi deras. Namun, kami
terpaksa berhenti di salah satu warung makan karena apa yang kami khawatirkan
berubah nyata. Hujan turun semakin deras dan jas hujan kami sudah tidak mampu
menahan air lagi. Kami berhenti di warung makan di seberang pom bensin. Aku
memesan kopi panas dan sepiring nasi rames. Saat itu Kodok memberikan kertas
kenang-kenangan dari pesepeda yang ia temui. Saat aku baca, isinya seperti hmmm...sulit
mengutarakannya, agak unik, berbau mistis. But it’s harmless I assume.
Orang-orang mulai memenuhi warung makan. Aku mengobrol dengan beberapa
orang. Mereka penasaran kami bersepeda dari mana. Kami bercerita kami dari
Bandung menuju Yogyakarta. Sebagian dari mereka ada yang bekerja di pom bensin
seberang warung. Ada juga yang bekerja di pasar
belakang warung. Mereka bercerita sambil berkelakar. Aku menyukai
obrolan dengan mereka. Sederhana. Jujur. Mungkin apa adanya. Menganggap hujan
dan bekerja di malam hari adalah bagian biasa dari kehidupan yang mereka terima
seperti layaknya secangkir kopi ABC panas dan sebatang Djarum Cokelat yang
menemani malam. Tidak terasa hujan sudah reda. Aku mengecek peta Google Map dan
ternyata penginapan sudah berjarak 70 meter. Aku pamit pergi kepada orang-orang
yang masih nongkrong di warung.
Hotel yang kami tempati cukup ramai. Banyak mobil-mobil yang diparkir rapi
di halaman hotel. Beberapa mengangkut sepeda juga. Di RedDoorz Cisaga ini pemesanan
kamar harus dilakukan via aplikasi. Harga kamar per malamnya adalah Rp200.00,00.
Kami memesan dua kamar. Awalnya sepeda tidak bisa dibawa masuk ke dalam
penginapan, namun setelah berbicara dengan manajer penginapan, akhirnya sepeda
kami bisa diparkir di aula yang lama tidak terpakai.
Sebelumnya kami berpikir untuk tidur di masjid atau alun-alun kota, namun
berkaca dari pengalaman tidur di masjid saat gowes ke Pangandaran, kualitas
tidur menjadi turun sehingga berakibat pada stamina gowes pagi harinya. Tubuh
dan pikiran juga butuh istirahat yang pantas karena sudah mau diajak
berkompromi melakukan perjalanan ini. Terlebih lagi malam ini hujan.
Sekali-kali mandi air panas dan tidur di kasur empuk. Keduanya jelas satu
bentuk kebersyukuran di tengah perjalanan ini.
Hotel RedDoorz Cisaga |
Terlebih bagi Dampleng. Dampleng adalah salah satu pesepeda kuat yang aku
kenal. Bagaimana tidak, melakukan gowes
400 km, ia mengendarai sepeda gunung dengan tas punggung tanpa celana padding.
Tentu saja badannya sakit. Pengalamanku mengenakan tas selempang kecil selama
120 km saja membuat punggung pegal, apalagi membawa tas punggung. Walaupun
tubuhnya kesakitan, ia menolak menyerah. Ia meredakan sakitnya dengan beberapa butir
penahan nyeri. Mondo dan Jawik mencari obat untuk Dampleng. Tepat di beberapa
bangunan di sebelah hotel ada apotek kecil. Jadi keputusan kami bermalam di
penginapan di tengah hujan saat gowes jauh ini cukup bijak.
Setelah mandi, salat, dan beres-beres, aku dan Kodok mencari camilan ke
toko swalayan di sebelah hotel. Kami juga membawakan beberapa minuman dan
camilan untuk Jawik, Dampleng, dan Mondo yang tidur di kamar seberang. Sebelum
tidur aku selalu menghadiahi diri sendiri dengan cokelat dan minuman ringan
dingin setelah perjalanan panjang. Sebelum tidur, aku menulis beberapa catatan
penting hari ini untuk aku tulis ulang seperti blog ini. Menjelang tengah malam,
aku mengajak tubuh dan pikiranku untuk beristirahat. Besok jarak yang kami
tempuh akan lebih jauh.
Comments
Post a Comment