Refleksi Mengambil Advanced Open Water

 

Selesai mengambil Advanced Open Water

Hidup memiliki silabus tersendiri bagi masing-masing orang untuk dipelajari. Ada kalanya satu pelajaran membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dimaknai. Namun ada pula yang bisa dimaknai dengan mudah. Ada kalanya satu pelajaran khatam dalam satu peristiwa, ada pula yang terus berulang dalam peristiwa yang berbeda-beda. Bagiku, selama aku hidup, pelajaran itu akan terus meminta untuk dimaknai baik dalam peristiwa-peristiwa besar yang menjungkirbalikkan diri maupun kesederhanaan hari-hari yang begitu saja. Pelajaran-pelajaran tersebut bermetamorfosis menjadi fragmen-fragmen kecil yang berkesinambungan yang menuntunku untuk lebih sadar dalam memetakan lakon diri sendiri di alam semesta yang gagah ini. Mungkin pelajarannya sudah usai, namun pemaknaannya baru bisa ditemukan belakangan.

Dengan meresapi dan memaknai pelajaran dalam setiap fragmen hidup, aku mulai memahami diri sendiri dan sekelilingku. Jika aku merasa damai dan bahagia setelah mempelajari sesuatu dalam hidup, itu hanyalah bonus. Namun, bukan berarti tiap aku selesai mengalami satu pelajaran hidup, aku lantas menjadi bahagia, damai, utuh yang serta merta melenyapkan kekosongan dan kesedihanku begitu saja. Tidak seperti itu. Sama halnya dengan tanaman yang terus disiram untuk berbuah; ia membutuhkan waktu dan kesabaran. Dan aku selalu meyakini dualisme dalam dunia ini adalah dua sisi dalam satu koin mata uang; baik dan buruk; suka dan duka; gelap dan terang; baik dan buruk; penuh dan kosong; bahagia dan sedih. Semua peristiwa baik yang teridentifikasi dalam dikotomi biner maupun pencilan yang tidak tersebut sama sekali layaknya mutiara yang memiliki keindahan tersendiri saat dipandang dalam sisi mana pun. Karena itu, tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Termasuk luka, duka, dan derita yang ada dalam hidup ini.

Aku bahagia dan bersyukur bisa mendokumentasikan pengalaman dan perasaan pada fragmen-fragmen kecil yang rapuh dan mudah menguap digerus ingatan yang mulai pudar dan rutinitas yang monoton. Rasa ini baru aku sadari tercermin dalam tulisan-tulisan pribadiku yang sering kali reflektif dan kontemplatif (dan mungkin juga membosankan) yang sebagiannya tertuang di buku harian digital ini. Perasaan, pikiran, dan keyakinan saling berkelindan dan menunjukkan jalan bahwa hidup ini untuk dijalani apa adanya.


Dalam menyelami pengalaman dan pemaknaan fragmen hidup, alam menjadi rumahku sesungguhnya. Ada afinitas yang tumbuh kuat dan mengakar dalam terhadap alam liar: gunung, hutan, langit, dan lautan. Khusus yang terakhir ini pengalaman di laut menyimpan kesan mendalam dalam hidupku. Waktu kecil aku pernah hampir tenggelam, tapi anehnya pengalaman ini tidak membuatku membenci atau takut terhadap air. Aku justru menyukai perasaan berada di dalam air. Jika aku rasa dan pikir, begitu banyak pengalaman-pengalaman pahit dalam hidup justru tidak lantas membuatku trauma atau membenci pada satu objek pengalaman tersebut. Pengalaman tersebut tumbuh menjadi pelajaran tersendiri, yaitu menerima pelajaran-pelajaran yang di luar kendaliku.

Persepsi reflektif ini muncul saat aku berada di alam. Saat aku menjalani jeda karier dan melancong di Australia tahun 2016 – 2019, renjanaku pada alam tumbuh semakin kuat. Fragmen ini tidak hanya mengajarkan afinitas saja, melainkan resiliensi dan afeksi mendalam pada alam. Ada ketenangan saat aku sendirian menelusuri taman nasional Berowra Valley di New South Wales. Ada peredam duka saat aku mengeksplorasi Ingleburn Reserve. Saat di Sydney aku menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa pantai tersembunyi seperti Vaucluse, Collins Flat Beach, Emerald Pool, dan West Head Beach untuk skinny dipping Aku kekaguman ketika aku berada di dalam air: saat kakiku tak bisa menyentuh dasar, saat kepalaku berada di bawah permukaan air, dan saat aku menyadari bahwa napasku sering aku terima begitu saja tanpa. Ada satu momen saat aku skinny dipping dan aku merasa terhubung secara magis. Percaya atau tidak, aku merasa seperti sedang berada di dalam rahim ibuku: hangat, gelap namun menenangkan dengan beberapa kilatan cahaya layaknya petir, dan aku bisa merasakan, bukan mendengar, detak jantung ibuku. Kejadian itu terasa secepat kedipan mata sampai akhirnya aku sadar aku kehabisan napas dan berusaha meraih permukaan laut. Pengalaman seperti ini menjadi adiksi yang begitu kuat. Setelahnya aku sempat mengunjungi beberapa pool spots di taman nasional Ku-ring-gai Chase. Namun, upayaku untuk mereproduksi pengalaman dan persepsi seperti sedang berada di rahim ibu itu gagal total. Saat aku mengunjungi pantai yang sama pun pengalaman tersebut tidak terulang. Hingga saat ini, aku hanya mengalaminya sekali saja.

Berefleksi pada pengalamanku memproses perasaan dan pikiran yang berkecamuk saat backpacking di Australia tersebut, aku mulai menelaah bahwa berada di air menjadi salah satu kegiatan terapeutik buatku sejak lama. Hal ini terbukti saat aku tinggal di Darwin selama kurang lebih enam bulan. Di Darwin hampir tiap hari aku bisa bercengkrama bersama matahari tenggelam di Waterfront sambil menengadah melihat langit atau menghabiskan sore untuk sekadar bercengkrama di pantai Mindil atau Casuarina. Laut telah berperan besar dalam membantuku menemukan ulang diriku sendiri (dan aku sungguh berterima kasih kepada Banda Neira atas lagu Langit dan Laut dan Re: Langit dan Laut yang turut menemani hari-hariku yang berat di Darwin). Sejak itu, aku berniat untuk mengambil kursus selam.


Penyelaman di Blue Lagoon, Nusa Penida


Pertama aku memberanikan diri untuk mengambil kursus Open Water (OW) tahun 2018. Dan akhir tahun 2022 aku memberanikan diri lagi untuk meningkatkan pemahamanku melalui kursus Advanced Open Water (AOW). Perbedaan mencolok dari keduanya, OW hanya mengizinkan seseorang menyelam maksimal hingga 18 meter di bawah permukaan laut, sementara AOW memungkinkan seseorang menyelam maksimal hingga 30 meter di bawah permukaan laut. Di kedalaman 18 meter saja banyak sekali ekosistem laut dan monolog diri yang bisa aku temui, apalagi di kedalaman 30 meter.  Salah dua syarat mengambil kursus ini adalah telah melakukan minimal 20 kali penyelaman dan memiliki lisensi open water. Sebetulnya kursus ini sudah aku rencanakan sejak pertengahan 2022 karena log penyelamanku sudah cukup yaitu 22 kali (yang sebetulnya masih terbilang sedikit terhitung sejak 2018).

Ceritaku mengambil kursus OW bisa dibaca di sini: Antara Tenggelam dan Menyelam (akarliar.com)

Aku sudah mencari tahu biaya dan durasi mengambil kursus AOW ini. Persoalannya, aku mengambil kursus ini pada waktu yang kurang tepat. Pertama, akhir tahun sedang musim hujan. Bali dan sekitarnya sedang dilanda hujan deras dan badai. Kedua, saat itu sedang libur Natal dan Tahun Baru. Banyak diving centre yang tutup. Namun, aku membulatkan keputusanku untuk pergi mengingat aku hanya punya waktu luang saat libur Natal dan Tahun Baru tersebut. Setelah membulatkan tekad dan mencari tahu, aku menjatuhkan pilihanku mengambil kursus selam di Nusa Penida melalui Octopus Dive Center yang masih buka saat tanggal merah tersebut. Biaya kursusnya sekitar lima juta rupiah dan waktunya tiga hari. Informasinya bisa dicek di sini: The dive buddy you can trust! | Octopus Dive (octopusdivepenida.com). Instrukturku saat itu bernama Bli Juli dan pemiliknya berasal dari Bandung. Pelayanannya memuaskan dan mereka semua ramah.

Aku dan Bli Juli

Saat itu hanya ada satu orang yang melakukan kursus denganku. Satu orang Indonesia yang sedang mengambil OW dan temannya yang menemaninya menyelam serta aku yang mengambil AOW. Kami tidak banyak berbincang kecuali tentang cuaca yang begitu buruk. Mereka bilang aku terlalu excited sampai berdiri dengan tenang di kapal bagian depan saat badai. Beberapa kali kami harus menahan diri menunggu laut sedikit tenang agar bisa turun ke laut. Hal ini membuat kami mundur satu hari. Meski badai, hal tersebut tidak mengurangi keindahan laut. Aku juga perlu memahami bahwa laut memiliki jiwanya sendiri. Ia akan berkecamuk mengikuti cuaca. Jadi, aku melepas semua ekspektasiku di laut. Aku ingin belajar memahami laut karena itu ekspektasi yang aku miliki untuk bertemu Manta dan Mola-mola aku sisihkan dulu. Empat hari di Nusa Penida memberikanku banyak pemaknaan tentang laut. Dulu aku selalu menemukan laut yang tenang dan damai, kini aku menyaksikan laut yang gusar. Nusa Penida pun tiap hari diguyur hujan. Beruntung, semuanya berjalan lancar. Termasuk tesnya. 

Log Dive AOW


Dalam kursus AOW, aku bisa memilih 3 kemampuan spesifik mulai dari Fish Identification, Night Dive, Digital Underwater Imaging, dan banyak lagi. Aku memilih Fish Identification, Peak Performance Buoyancy, dan Drift Dive. Oh ya, di Nusa Penida ini arusnya lumayan kuat. Aku pun sering diingatkan untuk berhati-hati. Drift Dive ini menurutku pelajaran paling berharga. Saat melakukan penyelaman aku berpapasan dengan Manta walau dari kejauhan. Dan dengan badai yang tiap hari meniup lautan, visibilitas di bawah air pun menjadi terbatas. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, aku tetap bersyukur bisa menyelesaikan AOW dengan lancar. Pada dasarnya tujuan untuk menyelam adalah kembali ke permukaan dengan selamat. 

Badai telah Berlalu 

Dalam beberapa kali penyelaman AOW aku menyadari beberapa hal. Ada banyak fragmen masa lalu yang muncul saat badai terjadi. Ada juga refleksi tentang aku dan Sang Pencipta. Ada juga kebersyukuran hidup yang begitu pekat: tentang keluargaku, tentang teman-teman dekatku, dan mereka yang aku kasihi. Aku merasa hidup walau di tengah badai dan laut yang sedang gusar. Aku belajar menerima apa adanya. Semoga aku masih berjodoh dengan alam ke depannya: menyelam lebih dalam, mendaki lebih tinggi, dan berjalan lebih jauh. Semoga kamu pun, ya. Semoga juga aku masih bisa memaknai dan berefleksi tentang peristiwa dan fragmen dalam hidup ini.

Semoga.

 

 

 

Comments