Herfst

Entah mengapa beberapa hari ini saya selalu ingin menulis sesuatu yang melankolis. Belum ada gairah untuk menulis sesuatu yang ringan, menyenangkan, dan mood boosting. Kalaupun ada satu tetes dua tetes mood seperti itu, pasti saya kerahkan semuanya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang tidak saya sukai dan pahami karena berhubungan dengan banyak rumus dan angka. Saya selalu tidak beruntung dalam matematika dan teman-temannya. Mungkin karena otak saya sudah terbiasa menyelami kata-kata dan ilmu sosial.

Perasaan melankolis ini entah karena rindu tanah air atau rindu suasana di tanah air atau rindu orang-orang di tanah air. Yang jelas, beradaptasi dengan orang-orang dan lingkungan baru bukanlah salah satu keahlian saya. Saya lebih memilih menghabiskan waktu sendiri. Beberapa minggu ini saat ada waktu luang, saya habiskan dengan mengintip awan yang bergerak bebas dan leluasa di langit melalui jendela kamar sambil tidur telentang. Atau jika mata belum bisa lelah memandang, saya perintahkan mereka untuk membaca buku. Bukan buku kuliah tapi novel dan buku filsafat. Entahlah, perasaan ini seperti ingin benar-benar hanyut dalam irama angin Herfst yang tak tentu meniup guguran daun maple. Saya salut terhadap orang Eropa yang mampu mempertahankan produktivitasnya dalam suasana seperti ini.

Selain itu, saya juga ingin malam segera tiba. Berbincang dengan malam yang dingin, bermonolog dengan tetesan hujan yang menari-nari di luar atap rumah. Kadang kisau suaranya begitu menyayat hati dan menyeramkan. Beberapa kali Ssaya pergi ke luar untuk sekadar menyapa gigil dingin yang ditebar angin malam. Begitu dingin hingga saya tidak peduli keadaan sekitar. Benar-benar tidak peduli. Dan jika malam sudah larut, saya akan kembali masuk ke dalam kamar untuk tidur. Melupakan sejenak segala kerinduan yang terakumulasi dalam bilur-bilur air mata.


Melototin lampu hias yang bertengger intim di pohon maple. 

Jika sudah begini saya jadi ingat perkataan nenek saya bahwa setiap waktu akan datang dan silih berganti. Meski hari dan tanggal berganti, namun detik dan jam yang kita lalui akan selalu sama. Malam, siang, dan pagi hanyalah etalase waktu yang disodorkan untuk kita maknai. Jika saat ini saya adalah penyuka malam, ada kalanya saya menjadi pencinta pagi atau pecandu senja. Dan akan terus berputar. Saya menyadari bahwa hidup adalah semata siklus. Ada kebahagiaan yang silih berganti dengan kesedihan. Ada air mata yang berbuah tawa. Apapun itu, menikmatinya adalah harus. Karena jika kita enggan menikmati kesedihan, kita tidak akan tahu apa itu kebahgiaan. Nenek saya memang keren.

Jadi, untuk sementara waktu, silakan menikmati sisi melankolis saya [beberapa sahabat bertestimoni bahwa saya memang melankolis hopeless romantic sepanjang waktu]. Mungkin karena ini adalah Herfst, saya terbawa suasana kesedihan pohon maple yang kehilangan dedaunannya. Anggap saja ini sebagai bentuk toleransi antarmakhluk hidup. Tapi tenang, ada kalanya saya menulis hal yang menyenangkan. Tunggu saja! :)

*Kondisi seperti ini memang kondusif untuk menulis puisi dan prosa. Beberapa puisi akan saya post setelah ini.


Comments