Kenangan dan Tiga Bayi Kucing

Bandung, 9 Oktober 2015


Kenangan Tersayang, 


Kita sama-sama belajar dari apa yang kita ketahui dan kita tidak ketahui. Kita pernah bersama-sama mencoba mendedah apa yang kita cintai sekaligus benci tanpa terlalu tinggi menengadah. Di situlah kita berbeda. Aku bersikeras mempertahankan argumen psikolog terkenal Hatfield bahwa hubungan itu ditentukan tiga faktor kunci: waktu, kesamaan, dan keterikatan. Kau setuju dengan waktu dan keterikatan, bahwa seseorang akan jatuh cinta dan berhubungan pada waktunya, saat ia siap, bahwa seseorang akan melepaskan keterikatannya pada dirinya sendiri dan membaginya dengan orang lain. Namun kau tak setuju jika kesamaan yang dilihat dari satu individu tercermin dalam individu lainnya akan menimbulkan kesukaan bahkan kecintaan. Karena aku, berbeda dengan kau, selalu tertarik dengan hal-hal kecil. Pelajaran-pelajaran yang bisa aku peras dari sekelilingku. Cukup adalah kata favoritku dan aku tak keberatan menjadi seorang mediocre. Di sisi lain, kau memimpikan hal-hal besar. Kau beranggapan kehidupan akan bermakna dan berarti jika melakukan petualangan-petualangan besar. Perbedaan bisa melengkapi satu  sama lain. Tapi dalam hal ini, kau terus menarik aku untuk melakukan hal-hal yang menurutmu besar dan signifikan. Kau meremehkan hal yang sepele dan biasa. Kau menolak untuk jadi mediocre.

Di situ kita menyadari, perbedaan tak selalu menggenapi. Karena ada keinginan masing-masing yang muncul dari diri kita terdalam yang akhirnya mengkontradiksi satu sama lain, perbedaan yang lambat laun terasa menjadi duri dalam daging. We gradually bored each other.




Lantas, izinkan aku ceritakan satu peristiwa yang sepele dan tak penting. Yang menurutmu hanyalah buang-buang waktu dan energi belaka.


Kau pernah bilang jalanan di seputaran terminal selalu gelisah, terlebih saat dikombinasikan dengan hujan deras malam hari saat jam pulang kerja di akhir pekan. Untungnya malam itu tidak hujan deras, hanya tetesan gerimis yang kadang hinggap di kacamataku, tak membuat pandanganku menjadi blur untuk mengamati bahwa jalanan masih saja gelisah seperti yang pernah kau keluhkan. Mungkin karena Jumat malam, sebagian orang terlalu bersemangat untuk menentukan pelarian saat akhir pekan agar bebas sejenak dari rutinitas menjemukan. Aku tidak termasuk, jelas kau. Bukannya rutinitasku tidak menjemukan tapi bagiku setiap hari adalah sama. Aku tidak terbiasa dihadiahi akhir pekan sebagai upah karena telah bekerja keras lima hari sebelumnya. Kau pernah menyukaiku karena itu.

Aku melewati terminal Leuwi Panjang dan mendengar rentetan klakson rebutan panggung. Udara malam cukup dingin dan aku sengaja membiarkannya menyelinap ke balik jaketku. Sambil mengendarai motor, pikiranku sudah melayang ke semangkuk soto ayam yang hangat untuk disesap di ujung jalan sana. Bayangan itu lantas pudar saat ponsel yang kuselipkan di saku pinggir celana bergetar terus. Aku buru-buru menepi ke trotoar untuk mengecek panggilan yang masuk. Aku berhenti di trotoar yang dijadikan tempat sampah dengan bau yang menyengat. Karena penasaran, aku tidak peduli. Kau bisa menebak aku masih berharap itu engkau tapi aku tahu pasti itu tidak mungkin. Aku hanya berharap panggilan itu bukan mengenai hal-hal buruk yang baru saja terjadi. 

Aku matikan mesin motor dan cepat mengambil ponsel dari saku celana. Aku perhatikan tak ada panggilan masuk yang terlewat. Aku utak atik membuka aplikasi sana sini. Pun pesan baru tidak ada. Padahal aku sangat yakin ponselku dalam modus getar dan ada getaran cukup lama yang seharusnya menandakan panggilan masuk. Aku cepat berkesimpulan mungkin yang baru saja terjadi adalah yang disebut phantom vibration syndrome: sebuah persepsi yang muncul saat ponsel bergetar atau berdering padahal nyatanya tidak. Sering juga disebut ringxiety atau fauxcellarm. Aku yakin kau pun pernah mengalaminya. Kau sering mengecek ponselmu walau kau tahu tak ada yang peduli. Kau tak percaya ada sindrom seperti itu.

Sambil mengingat phantom vibration syndrome, ku masukan ponsel kembali ke saku celana dan mulai menyalakan mesin motor. Sesaat akan beranjak pergi, aku mendengar suara meong yang saru dengan suara mesin motor. Aku buru-buru matikan mesin motorku. Ternyata memang benar suara meong. Aku agak ragu apakah aku memang benar mendengar suara meong atau itu sensasi suara halusinasi belaka? Tadi getaran. Sekarang suara. Aku mencoba mendengar dan melihat dengan saksama, menelusuri darimana sumber suara itu berasal. Trotoar cukup gelap karena tak ada lampu penerangan jalan umum. Hanya ada kilasan lampu mobil-mobil yang bekelebat melintas. Aku keluarkan lampu senter kepala yang biasa kusimpan di saku kanan tasku. Tak menyala. Ternyata baterainya habis. (Mungkin kau bertanya buat apa aku membawa lampu senter kepala ke mana-mana, tapi kau sudah tahu jawabannya). Aku keluarkan lagi ponsel dan menyalakan lampu kilat. Aku gerakan lampu kilat ponsel ke kiri dan ke kanan trotoar. Beberapa orang lewat memperhatikan aku yang jongkok sambil menutup hidung. Bau got, comberan, pesing, dan sampah campur baur jadi satu. Mereka pasti mengira aku menjatuhkan sesuatu yang berharga di tempat gelap ini karena aku memang bersusah payah mencari saat suara meong itu berhenti. You've always looked so hard for something you've lost forever. Dari suara meong yang kudengar, kalau memang benar kucing, pastilah suara bayi kucing yang elaparan dan kedinginan. Tepat saat suara meong itu terdengar lagi, aku mengarahkan lampu kilat ponsel ke sumber suara itu. Dugaanku benar karena itu adalah anak kucing. Aku bisa melihat jelas coraknya hitam dan putih. Matanya masih tertutup rapat dan tali ari-ari masih menjuntai dari pusarnya. Ia berteriak pastinya karena kelaparan dan kedinginan. Biasanya induk kucing melahirkan di tempat tertutup dan hangat agar suhu bayinya tetap terjaga. Kucing yang melahirkan di tempat kotor dan terbuka seperti ini pasti memang tidak menginginkan bayinya lantas meninggalkannya begitu saja. Kemungkinan lain, bayi kucing ini dibuang pemilik induk kucingnya. Saat aku arahkan lampu kilat ponsel ke sisi lain bayi kucing itu berada, ternyata ada dua ekor lagi. Satunya bercorak putih kuning, satunya putih coklat. 

Jika memang hanya perasaan ingin tahu yang menuntunku menemukan ketiga bayi kucing itu, harusnya aku bisa meninggalkan mereka begitu aku tahu bahwa asumsiku terbukti benar. Bahwa suara meong itu suara anak kucing yang kelaparan dan kedinginan. Tapi aku tak bisa. Bagimu pastinya ini soal sepele. Kau pasti sudah meninggalkan apa-apa yang bukan urusanmu. Memang begitu sikapmu. Tapi kau tahu aku.

Jam di ponsel membentuk angka delapan. Aku memutuskan untuk menunggu sejam. aku menunggu ada induk kucing yang kembali mencari mereka. Aku masih harap induk kucing bayi-bayi ini pergi mencari makan dan akan kembali secepatnya. Jika dalam sejam tak ada yang yang datang, aku akan membawa mereka pulang bersamaku. Aku duduk di jok motor dan silih berganti memandangi jam tangan dan bayi-bayi kucing yang bersuara semakin keras. Harapanku perlahan luntur saat satu jam mendekati genap dan tak ada kucing yang mendekat. Aku putuskan untuk membawa mereka ke rumah. Pertimbangannya adalah aku pernah memelihara kucing dan kupikir aku bisa merawat mereka setidaknya sampai bisa mencari makan sendiri. Aku keluarkan tumpukan baju yang ada di dalam tas dan menumpuknya ke dalam jaketku. Aku tutup rapat jaketku supaya tidak ada bolong bawahnya. Kemudian aku masukan ketiga kucingii itu ke dalam dekapanku. Aku nyalakan mesin motor dan bergegas pulang.

Di perjalanan aku sempat khawatir membawa mereka pulang ke rumah. Ibuku punya alergi terhadap bulu kucing dan tak suka dengan baunya. Pernah beberapa kali aku memelihara kucing dan beberapa kali itu pula ibu melepas mereka tanpa sepengetahuanku. Salah satunya adalah Lalun, kucing yang aku rawat saat aku berusia sepuluh tahun. Kebersamaan kami hanya sampai tiga bulan karena ia menghilang saat aku pergi sekolah. Padahal aku sudah memastikan mengunci pintu dapur tempat kandang Lalun berada. Saat itu Ibu berkata bahwa Lalun keluar lewat genteng rumah dan aku percaya. Beberapa tahun berlalu dan aku mulai paham.

Beruntung saat aku tiba di rumah, tidak ada siapapun. Aku keluarkan kandang kucing yang lama, aku lapisi dinding dan dasarnya dengan kain koran namun gap plastiknya terlalu besar jadi mereka pasti akan tetap kedinginan. Aku lalu menuju warung dekat rumah untuk membeli kardus dan susu SGM kemasan. Bayi kucing yang baru lahir tak bisa mencerna apapun selain ASI induknya. Banyak orang menyarankan susu SGM karena lebih gampang dicerna bayi kucing dibandingkan susu instan lainnya. Setelah melapisi dinding dan dasar kardus dengan koran dan kain agar hangat, aku buatkan susu untuk mereka bertiga. Ada untungnya aku masih menyimpan dot kecil khusus untuk anak kucing. Aku bersihkan dan mengisinya dengan susu hangat. Mereka menolak susu itu tapi aku coba paksakan setetes dua tetes untuk mereka minum. Aku teringat bahwa bayi kucing memang tak boleh kedinginan. Aku ambil lampu belajar namun ternyata tidak berfungsi. Awalnya aku mengira lampunya yang rusak tapi setelah menggantinya dengan lampu lain, aku yakin yang rusak adalah lampu belajarnya. Pukul sepuluh malam, aku bingung mencari lampu belajar ke mana. Aku berinisiatif pinjam ke kosan teman dekat kampus. Setelah menghubungi temanku itu dan ia membolehkan, aku langsung pergi mengambilnya saat itu juga. Di pintu rumah, aku berpapasan dengan Bapak yang bertanya aku akan pergi ke mana. Aku bilang mau cari angin. Untung aku sudah menyetel radio cukup keras supaya tangisan ketiga bayi kucing itu tak terlalu terdengar dari kamarku. 

Satu jam kemudian aku pulang dengan membawa lampu belajar. Buru-buru aku nyalakan dan tempatkan di atas kardus. Tidak terlalu dekat karena akan membuat mereka kepanasan. Aku basahi jari tanganku dengan air hangat dan membelai tubuh mereka satu persatu, mencoba menirukan jilatan yang biasa dilakukan anak kucing. Ibu sudah mengawasiku dari dalam kamar. Ia tidak setuju dan memintaku membuang ketiga bayi tersebut. Aku merajuk dan meminta waktu satu minggu. Walau dari mukanya aku bisa lihat ibu sangat keberatan, ia akhirnya setuju. 

Malam itu aku tak bisa tidur nyenyak karena satu jam sekali ketiga kucing itu menangis bergantian. Kadang aku hangatkan kembali botol susu untuk mereka. Kadang aku ganti koran dan kain yang basah oleh air kencing atau kotoran kucing. Setelah beberapa lama, mereka sudah terbiasa menyusu dari botol susu. 

Pukul lima subuh aku bangun dan memastikan kondisi mereka. Si Hitam tampak yang paling kuat karena sering menangis dan bergerak aktif. Sedangkan keduanya, si Kuning dan si Coklat, mereka cenderung pasif. Aku coba berikan lagi susu kepada mereka. Setetes namun sering. Si Coklat tidak merespon. Tubuhnya sudah dingin dan kaku. Satu mati. My heart broke a little.

Paginya aku pergi ke veterinarian di daerah Padjadjaran untuk memeriksa si Kuning dan si Hitam. Dokter bilang sangat sulit bagi bayi kucing terlebih newborns untuk bertahan hidup tanpa kehadiran induknya. Ia juga mengatakan umur kedua kucing tersebut baru satu hari. Cairan dan tali ari-ari masih terlihat dan tercium jelas, mata mereka masih memejam rapat, dan mereka masih belum bisa menyusu dengan benar. Jadi  kemungkinan hidupnya sangat kecil. Dokter hanya memberikan susu kucing dan racikan madu agar mereka nafsu minum susu.

Malam minggu, aku perhatikan keduanya sudah mulai tenang. Mereka sudah tidak sering menangis seperti sebelumnya. Awalnya aku pesimis mereka bisa bertahan hidup, setidaknya satu saja aku berdoa, si Kuning karena dia terlihat lebih kuat. Setelah dari dokter ada optimisme yang membanjiri perasaanku. Keduanya pasti bisa bertahan. 

Aku tidur agak nyenyak dibandingkan malam kemarin. Namun begitu aku tetap memeriksa si Kuning dan si Hitam. Aku tetap memberikan perlakukan sama seperti sebelumnya. Pukul delapan pagi, aku coba jemur mereka di halaman rumah agar mereka tidak kedinginan. Saat memindahkan mereka, aku melihat si Hitam tidak bergerak. Dadanya tidak turun naik seperti saat kemarin-kemarin. Bukankah dia yang aku jagokan? Bukankah dia yang paling aktif? kenapa berubah kaku? Aku coba pijat-pijat tubuhnya dengan air hangat tapi sia-sia. Yang kedua juga telah mati. 

Aku memandangi si Kuning yang tinggal sendirian. Jujur, aku putus asa. Perasaan itu tak mengurangi perhatianku pada si Kuning. Lucu bukan, ternyata hidup itu bukan semata yang paling kuat bertahan, Kau tidak suka elemen kejutan pada hidup. Siang itu aku harus masuk kerja. Aku minta adikku untuk memperhatikan si Kuning. Aku menginstruksikan dengan detil apa saja yang harus dia lakukan. Menjelang maghrib aku pulang dan memandang si Kuning masih hidup. Aku bersyukur.

Malamnya aku tidak bisa tidur karena takut si Kuning juga mati. Aku tambahkan kain dan koran dan mendekatkan lampu belajar ke dekatnya agar dia merasa lebih hangat. Fajar menyingsing dan aku memandangi kardus yang ada di kamarku. Si Kuning, seperti saudara-saudaranya, membujur kaku. Ketiganya telah mati.


Si Coklat, Si Hitam, dan Si Kuning

Orang-orang berkata itu hanya kucing, persoalan sepele, relakan. Keluargaku biasa saja. Mereka sudah sering melihatku kehilangan kucing. Tapi kenapa aku tak bisa sebiasa mereka. Aku memang merelakan tapi bagiku mereka bukan persoalan sepele. Merelakan bukan berarti menyepelekan. 

Aku mulai bertanya, apa mungkin jika aku biarkan mereka di tempat asalnya peluang hidup mereka bakal jadi lebih besar? Apa induk mereka sebenarnya datang kembali mencari bayi-bayinya? Apa jika aku tidak membawa mereka pulang, mereka akan tetap mati dalam dua hari? Mungkin saja. Aku tidak bisa membuktikannya karena mereka sudah menjadi korban tindakan sok heroik yang aku lakukan. Menjijikan. Aku merasa naif dan bodoh memiliki secuil pemikiran bisa menyelamatkan mereka. Apa artinya bertahan hidup jika hidup dan mati sudah ditentukan.

Mereka bilang seberapa keras kita berjuang akan menentukan seberapa besar hasil yang kita gapai. Aku sudah mencoba berusaha dengan keras, dan ternyata itu tak cukup untuk membuat tiga bayi kucing hidup. Aku sadar ini bukan pertama kalinya aku membangun lagi rasa percaya dan optimisme yang dulu akrab denganku namun gagal berulang kali. 

Kau bilang aku sering berusaha terlalu keras untuk sesuatu yang kecil bahkan tak ada artinya. Kau tak pernah mengerti bahwa makna adalah relatif dan subjektif. Hal yang bermakna bagiku hanyalah bermakna bagiku. Tapi hal yang bermakna bagi kau haruslah bermakna bagi orang lain. Kita terjerembab dengan arogansi kita masing-masing. Kaulah yang menunjukan betapa banyak orang yang sering jengkel dengan keingintahuanku yang tak tahu tempat. Mereka sering mengataiku ribet. Kau mengataiku memiliki intellectual curiosity berlebih. Kau, mengutip Murakami, berkata "If you want to know something, you have to be willing to pay the price." Dan aku sadar setelah mengalami kejadian ini bahwa keingintahuanku berujung hati yang lagi-lagi terluka. Kau tak menyangkal bahwa hal tersebut adalah yang membuatku aku. Akupun tak menyangkal saat saking kesalnya, kau pun mengataiku ribet, sama dengan mereka. Jika ada satu hal yang aku kagumi sekaligus benci darimu adalah bahwa petuahmu selalu benar. Jika ada satu hal yang aku benci tanpa sedikitpun aku kagumi dari diriku sendiri adalah i always need to ask questions and seek answers even if it perishes me.

Jadi maafkan jika aku masih tertarik dengan hal-hal sepele dan tak penting. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari  pengamatanku sehari-hari yang perlu aku cari jawabannya. 

Semoga kau bahagia di manapun kau berada.


Salam.

Comments